Bagaimana Pendidikan Liberalilasi Bisa ada di Perguruan Tinggi?
Pembahasan kali ini dapat dikatakan sebagai upaya untuk memahami mengapa pada 12 Desember 2013 Mahasiswa berkumpul di gedung Mahkamah Konstitusi (MK),dan itu berkaitan dengan MK menggelar sidangnya dalam pembacaan putusan uji materiil atas UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang memang diajukan oleh dua elemen Mahasiswa Universitas Andalas.yang kemudian sidang itu adalah puncak yang berlangsung dari awal tahun 2013.
Sebagaimana kita ketahui yang
menjabat sebagai Ketua MK, Hamdan Zoelva,dan setelah dibacakan putusan tersebut
ternyata gugatan ini ditolak dan UU 12/2012 serta dinyatakan tidak bertentangan
dengan UU 1945. Sebagai titik laju atas itu semua membuat gusar para aktivis
dan menyatakan sikap bahwasnya MK tidak konsisten karena telah melicinkan
instrumen hukum sebagai cara substansial mereka dorong sendiri saat mementahkan
UU BHP pada tahun 2010.
Berangkat dari itu, tetap
bercokol satu gugatan yang memang berhubungan UU Pendidikan Tinggi belum
diputuskan oleh MK-gugatan-yang dilakukan oleh Komite Nasional Pendidikan
(KNP), Tetapan (gugatan) itulah akan memastikan nasib UU tersebut kedepannya.
Lempar Batu
sembunyi Tangan Dengan Maksud Kepatuhan
Mungkin akan lebih tepat dikenal
Neoliberal Govermentality,untuk itu mari kita ulas beberapa bagian pertama
ditolaknya gugatan atas Undang-undang Pendidikan Tinggi oleh Mahkamah
Konstitusi memang menjadi kemunduruan untuk jalan penolakan wacana liberalisasi
pendidikan yang sudah berjalan lebih sepanjang satu dekade silam. Sehabis luang
atau sempat mengecap sedikit keberhasilan atas dibatalkannya Undang-undang
Badan Hukum Pendidikan pada tahun 2010,mode liberaliasi saat ini menjejakan ronde
baru serta berkaitan terhadap Undang-undang Pendidikan Tinggi.
Perlu diketahui mengapa Undang-undang Pendidikan Tinggi sangat memadai untuk ditolak? Ada beberapa hal diantaranya 1) penerobosan Kapitalisme global, dan memang sangat tercermin terhadap kooptasi wacana-wacana neoliberal mengenai pendidikan tinggi pada pasal-pasal primer perihal keterkaitan institusi pendidikan dengan dunia usaha,lalu alih bentuk PTN ke Badan Hukum,otonomi (non akademik), sampai internasional
2) secara posisi PTN seumpama Badan Hukum ’Badan Hukum’
nan menunjukan otonomi
non-akademik serta kebebasan PTN yang memiliki status ini untuk menentukan
‘tarif’ sendiri. Hal ini dipertegas oleh PP 58/2013 yang memberi dasar
operasional bagi penentuan PTN Badan Hukum.
3) diskursus yang melepaskan
‘negara’ dari tanggung jawabnya untuk membiayai pendidikan. Dengan format badan
hukum, disertai oleh klausul-klausul ‘kabur’ tentang peran negara, ‘negara’
tidak lagi punya tanggung jawab besar untuk memastikan biaya kuliah tidak mahal
–semua sudah diatur dengan dalih ‘indeks kemahalan wilayah’.
Dapatlah kita pahami dari ketiga alasan tersebut sudah menyiratkan satu tujuan/hal : UU Pendidikan Tinggi, pada dasarnya, adalah satu paket dengan skema liberalisasi pendidikan yang berlangsung secara global. Apa yang terjadi di Indonesia, melalui UU Pendidikan Tinggi dan perangkat ‘badan hukum pendidikan’, terjadi juga di beberapa negara ‘dunia ketiga’, seperti Uganda, Thailand, atau India.
Jika memahami lebih dalam kita akan mampu melihat dengan jeli corak ’liberalisasi’ teramat khas: sehingga institusi pendidikan menjadi otonom, kemudian ditanamkan logika kompetisi, maka akan mereduksi peran negara akan pembiayaan pendidikan. Walhasil otonomi adalah urat nadi atau jantung dari liberalisasi secara hakikat akan mengalihkan kekuasaan ’negara’ pada kekuasaan ’pasar’.
Sudah tentu akan menjadi sangat menarik dengan begitu bahwasanya otonomi akan membuat kampus menjadi tidak ’independen’ yang tadinya tarik-menarik kekuasaan politik-yang memang dipahami keliru oleh tujuh rektor PT BHMN-malahan menjadi mengalihkan genetika kekuasaan dari satu kanal ke kanal lainnya.
Dari uraian diatas akan muncul
pertanyaan, bagaimana diskursus tentang liberalisasi pendidikan ini diturunkan
dalam praktik kebijakan di Indonesia? Di sini, konsep ‘governmentality’ yang
dibawa oleh Foucault (1991) menjadi penting untuk digunakan. Foucault melihat
bahwa ‘government’ (pemerintahan) sejatinya tidak dilihat hanya sebagai
institusi politico-birokratik yang mengatur masyarakat, tetapi perlu dilihat
dalam dimensinya sebagai ‘cara mengoperasikan kekuasaan.’
Berkebalikan dengan pandangan klasik yang melihat kekuasaan pada
institusi-institusi politik, Foucault melihat kekuasaan menyebar dan mewujud
dalam kehidupan sehari-hari melalui ‘government.’ Ia mencontohkan, misalnya,
‘ekonomi,’ sebagai salah satu bentuk governmentality melalui
penciptaan kemakmuran.
Governmentality, sebagaimana modus-modus kekuasaan lain, beroperasi
melalui apa yang disebut oleh Foucault sebagai ‘technologies
of the self,’ atau apa yang kemudian dikenal sebagai biopolitics. Untuk memastikan
‘pemerintahan’ berjalan’ dengan baik, subyek menggunakan teknologi-teknologi
yang memungkinkan kekuasaan terinternalisasi dalam aktivitas sehari-hari dan
ter-normalisasi dalam kehidupan masyarakat, tanpa ia menyadari bahwa ia sedang
diperintah (governed).
Liberalisasi pendidikan bisa dilihat dalam logika ini. Wacana tentang
liberalisasi pendidikan menggunakan berbagai modus kekuasaan yang secara
efektif, walau bertahap, mampu menanamkan wacana liberalisasi tersebut dalam
praktik pemerintahan sekaligus mendisiplinkan para penentangnya.
Modus-modus liberalisasi ini terangkai dalam jalinan erat kekuasaan antara
Bank Dunia, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, kampus-kampus besar,
akademisi, dan aktor-aktor lain. Jejaring ini menunjukkan bahwa pola kekuasaan
dalam neoliberalisme itu tersebar, dan itu meniscayakan adanya depolitisasi
‘negara’ dan re-politisasi atas institusi-institusi lain.
Kok bisa
sebegitunya ?
Untuk mendapatkan
jawabannya perlu memahami bagaimana skema liberalisasi ditanamkan di Indonesia?
terciptanya
sistem seperti akreditasi menyebabkan terjadinya iklim persaingan antar
perguruan tinggi. Lembaga-lembaga pemberi peringkat dan termasuk pemerintah
menetapkan indikator-indikator bagi perguruan tinggi untuk memperoleh
peringkat, gelar, dan akreditasi itu.
Secara umum indikator-indikator yang
ditetapkan memiliki kesamaan seperti jumlah riset yang terpublikasi
internasional, jumlah sitasi,dll. Untuk menunjang kegiatan tersebut, perguruan
tinggi harus menyediakan sarana prasaran sehingga membutuhkan banyak biaya.
Untuk mencari biaya tersebut, perguruan tinggi biasanya paling besar membebankan kepada
para mahasiswa.
Dana yang terkumpul oleh perguruan tinggi diprioritaskan untuk pembangunan (baik itu fisik maupun non-fisik). Pembangunan ditujukan untuk menunjang pencapaian indikator perolehan peringkat, akreditasi, hingga gelar. Pencapaian indikator-indikator itu akan meningkatkan reputasi suatu perguruan tinggi. Reputasi ini akan berguna untuk menarik minat calon mahasiswa, investasi, lembaga donor, dan lainnya. Semakin baik reputasinya, semakin banyak yang berminat.
Hukum pasar pun berlaku di sini. Banyak permintaan, akan
tetapi ketersediaan terbatas. Para calon mahasiswa saling memperebutkan kursi.
Perguruan tinggi yang meningkat posisi tawarnya, menjadi percaya diri untuk
menaikkan tarif uang kuliah entah dengan menaikkan UKT maupun meninggikan Uang
Pangkal. Dana yang terkumpul menjadi semakin banyak. Pembangunan menjadi
semakin gencar. Reputasi semakin melangit. Reputasi itu digunakan untuk
menaikkan posisi tawar di pasar, lalu untuk menaikkan tarif uang kuliah, lalu
pembangunan lagi, menaikkan reputasi lagi, dan seterusnya.
Mau lebih
menukik tajam lagi agar enak memahaminya? liberalisasi
pendidikan ditanamkan melalui institusi teknokratik di tingkat kementerian,
yang kemudian mendorongnya menjadi kebijakan publik. Bank Dunia, sebagai
institusi yang sangat getol mewacanakan
liberalisasi pendidikan tinggi, menggunakan Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi sebagai sarana utama.
Modus yang digunakan oleh Bank Dunia adalah ‘pinjaman proyek’ (Bappenas,
2013). Dalam laporan Bappenas, per 31 Desember 2012, 43% dari keseluruhan
pinjaman proyek dikelola oleh Kementerian Pendidikan Tinggi. Bank Dunia meminjamkan dana untuk
melakukan ‘reformasi pendidikan tinggi’ kepada pemerintah, melalui beberapa
proyek seperti Development of
Undergraduate Education (DUE), Higher
Education for Relevance and Efficiency (HERE), dan Managing Higher Education for Relevance and
Efficiency (IMHERE).
Hal menarik dapat ditemukan pada laporan pelaksanaan proyek HERE dan DUE. Di 2 laporan tersebut,
per 2012 (proyek ini berlangsung bertahap, 1995-2002 dan 2005-2012) tertera
bahwa Bank Dunia memberikan dukungan terhadap pembentukan Dewan Pendidikan
Tinggi (Board of Higher Education) di
Direktorat Jendera Pendidikan Tinggi, yang bertugas untuk menyusun
kebijakan-kebijakan teknis Pendidikan Tinggi.
Posisi Dewan Pendidikan Tinggi ini menarik. Laporan Bank Dunia menyebut
bahwa lembaga ini bertugas memberikan saran-saran kepada Direktorat yang
kemudian diteruskan menjadi perubahan kebijakan untuk memenuhi ‘paradigma baru’
pendidikan (World Bank, 2003: 7). Di samping itu, Dewan Pendidikan Tinggi ini juga
melakukan supervise atas pelaksanaan rencana strategis jangka panjang kebijakan
pendidikan tinggi di Indonesia, yang pembuatannya juga disponsori oleh proyek
Bank Dunia (World Bank, 2003).
Bank Dunia terlibat baik
dalam pembentukan maupun capacity building dari
Dewan ini. Di laporan proyek DUE, mereka mendukung lembaga ini
dengan jumlah dana yang cukup besar, total $6,4 juta. Dewan Pendidikan Tinggi
inilah yang kemudian terlibat dalam perumusan UU Pendidikan Tinggi, dan
terlibat dalam sosialisasi di mana-mana.
Perumusan UU Pendidikan Tinggi (sebelumnya UU BHP) juga tidak lepas dari
dukungan Bank Dunia. Melalui proyek HERE, Bank
Dunia mendukung ‘reformasi perundang-undangan tentang pendidikan tinggi’
melalui skema pinjaman lunak mereka. Laporan pelaksanaan proyek HERE terang-terangan menyebut bahwa UU
baru tentang pendidikan tinggi ini adalah buah dari kesepakatan dan
harus dipenuhi oleh pemerintah.
Awalnya, pelaksanaan dari proyek ini adalah UU Badan Hukum Pendidikan.
Namun, gerakan masyarakat sipil dan mahasiswa melalui Judicial
Review di Mahkamah Konstitusi menghambat pelaksanaan ini. Tak lama
kemudian, tahun 2012, muncul UU baru yang membawa liberalisasi ini berjalan
secara lebih soft. Hal menarik
lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa proyek ini berakhir tahun 2012,
sehingga menyebabkan pemerintah harus cepat-cepat mengesahkan UU ini sebagai
bentuk kepatuhan terhadap Bank Dunia (World Bank, 2013).
Dua laporan proyek ini mencerminkan dua hal: (1) proyek liberalisasi
pendidikan sejatinya tidak dilakukan melalui jalur ‘politis’ semata (via DPR
dan Kementerian) tetapi juga melalui jalur teknokratis; (2) hal ini menyiratkan
satu fakta penting: teknokrasi tidak bebas nilai dan kepentingan. Teknokrasi
menjadi pilar penting bagi lembaga-lembaga keuangan seperti Bank Dunia untuk
menanamkan diskursus dalam kebijakan publik di Indonesia.
Posting Komentar untuk "Bagaimana Pendidikan Liberalilasi Bisa ada di Perguruan Tinggi?"