Repetisi Sejarah Itu Bernama Pamer Harta Kekayaan
Repetisi
Sejarah: Pamer Harta Kekayaan Sebagai Bukti Kekuasaan
“Sejauh untuk kepentingan mode, kegilaan terhadap pakaian mewah dalam berbagai kunjungan, resepsi, acara makan, piknik, dan pesta berada di luar imajinasi. Bahkan katalog-katalog layanan pos biasa memperlihatkan perkembangan sangat luar biasa. Ini bukan lagi Hindia 10-15 tahun lalu! Pemakaian selendang bulu, misalnya: perempuan- perempuan di sini memakai selendang bulu burung unta berwarna putih, abu-abu, dan hitam. Topi untuk para perempuan jelas-jelas disarankan. Siapapun tidak lagi berjalan tanpa tutupkepala seperti pada masa lalu. Pada resepsi dan pesta-pesta, para pria tampil dengan jas, para perempuan dengan gaun malam yang tipis dan halus, tidak ada lagi blus dan rok”
Sejak zaman kuno, manusia selalu menganggap harta kekayaan sebagai simbol kekuasaan dan keberhasilan. Sejarah mencatat banyak contoh pamer harta kekayaan yang dilakukan oleh raja-raja, bangsawan, dan pejabat tinggi untuk menunjukkan kedudukan dan prestise mereka di tengah-tengah masyarakat. Repetisi sejarah ini ternyata masih berlangsung hingga saat ini, di mana kebiasaan pamer harta kekayaan masih terus dilakukan oleh sebagian orang.
FAQ
Q: Apa dampak positif dari memamerkan kekayaan?
A: Memamerkan
kekayaan dapat memberikan kepuasan dan rasa percaya diri sementara pada orang
yang melakukannya. Namun, dampak positif ini bersifat sementara dan dapat
berdampak negatif pada lingkungan, sosial, dan psikologis.
Q: Apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi kecenderungan untuk memamerkan
kekayaan?
A: Mengurangi
budaya konsumerisme, edukasi mengenai nilai-nilai yang sebenarnya berharga, dan
menumbuhkan kesadaran akan konsekuensi negatif dari pamer harta kekayaan adalah
beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi kecenderungan untuk
memamerkan kekayaan.
Q: Mengapa repetisi pamer harta kekayaan menjadi masalah?
A: Repetisi
pamer harta kekayaan menjadi masalah karena dapat menimbulkan ketidaksetaraan
sosial, dampak negatif pada kesehatan mental seseorang, dan kerusakan lingkungan.
Hal ini dapat berdampak buruk pada kestabilan sosial dan kesejahteraan manusia
secara keseluruhan.
“Menjadi
pesolek adalah modal simbolik agar kita dapat bertahan terhadap masuknya modernitas”
(David Chaney)
Faktor-Faktor yang Mendorong Repetisi Pamer Harta Kekayaan
Ada banyak faktor yang mendorong kebiasaan untuk memamerkan kekayaan,
antara lain
Faktor-Faktor yang Mendorong Repetisi Pamer Harta Kekayaan
1. Budaya
Konsumerisme Budaya konsumerisme mempromosikan kepemilikan barang-barang
material sebagai tanda keberhasilan. Masyarakat yang terjebak dalam budaya
konsumerisme cenderung membeli barang-barang mewah untuk menunjukkan status
sosial mereka. Mereka merasa bahwa memiliki barang-barang mewah adalah tanda
keberhasilan dalam hidup.
2. Tekanan
Sosial Tekanan sosial juga merupakan faktor yang mendorong repetisi pamer harta
kekayaan. Orang sering merasa perlu untuk memamerkan kekayaan mereka agar
diterima oleh lingkungan sosial mereka. Hal ini dapat terjadi dalam lingkungan
kerja, keluarga, atau bahkan lingkungan sekitar.
3. Ketidakamanan
Diri Beberapa orang merasa bahwa memiliki barang-barang mewah dapat
meningkatkan rasa percaya diri mereka. Mereka menganggap bahwa memiliki
barang-barang tersebut dapat membuat mereka lebih menarik atau dihormati oleh
orang lain.
Apa dampak negatif dari pamer harta kekayaan?
Salah satu
dampak negatif dari pamer harta kekayaan adalah meningkatnya tekanan sosial
untuk memiliki barang-barang yang sama atau lebih mewah. Hal ini dapat mengarah
pada perilaku konsumtif yang tidak sehat dan meningkatnya hutang konsumen.
Dampak Negatif dari Pamer Harta Kekayaan
Salah satu dampak negatif dari pamer harta kekayaan adalah meningkatnya tekanan sosial untuk memiliki barang-barang yang sama atau lebih mewah. Orang yang terus-menerus melihat postingan tentang barang-barang mewah di media sosial, mungkin akan merasa kurang puas dengan apa yang mereka miliki saat ini. Mereka dapat merasa inferior dan merasa perlu untuk membeli barang yang lebih mahal agar dapat diakui oleh orang lain. Hal ini dapat mengarah pada perilaku konsumtif yang tidak sehat dan meningkatnya hutang konsumen.
Dampak Sosial Pamer harta kekayaan dapat menimbulkan ketidaksetaraan sosial. Orang yang kurang mampu cenderung merasa inferior dan tidak dihargai karena tidak memiliki barang-barang mewah seperti orang lain. Hal ini dapat memicu ketidakpuasan sosial dan kemarahan, yang dapat berdampak buruk pada kestabilan sosial.
Dampak Psikologis Pamer harta kekayaan juga dapat berdampak negatif pada kesehatan mental seseorang. Orang yang terobsesi dengan kepemilikan barang-barang mewah cenderung merasa tidak puas dengan apa yang mereka miliki. Mereka dapat menjadi lebih cemas dan stres, yang dapat berdampak pada kesehatan mental dan fisik mereka.
Dampak Lingkungan Kebiasaan untuk membeli barang-barang mewah juga dapat berdampak buruk pada lingkungan. Proses produksi barang-barang mewah memerlukan bahan-bahan dan sumber daya alam yang terbatas. Selain itu, limbah dan polusi dari produksi barang-barang tersebut dapat merusak lingkungan.
Pamer Harta Kekayaan dalam Era Digital
Dalam era digital seperti sekarang ini, pamer harta kekayaan dapat dilakukan dengan mudah melalui media sosial. Orang-orang seringkali memposting foto-foto barang mewah yang mereka miliki, mulai dari mobil, jam tangan, hingga perhiasan. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan pengakuan dan pujian dari teman-teman mereka di media sosial. Namun, di balik kegiatan pamer harta kekayaan ini, ada dampak negatif yang mungkin tidak disadari oleh banyak orang.
”Pakaian
merupakan penampilan lahiriah yang paling jelas membedakan penduduk
dari yang lainnya,
atau sebaliknya, menyamakan diri dengan kelompok lainnya”
Mengatasi Dampak Negatif dari Pamer Harta Kekayaan
Untuk mengatasi dampak negatif dari pamer harta kekayaan, penting bagi setiap individu untuk memahami nilai sejati dari kekayaan dan kebahagiaan. Kekayaan sejati tidak hanya terletak pada barang-barang mewah yang dimiliki, tetapi juga pada hubungan sosial yang baik, kesehatan, dan kedamaian batin. Sebagai pengguna media sosial, kita dapat memilih untuk mengikuti akun-akun yang menginspirasi dan memberikan nilai positif, daripada mengikuti akun-akun yang hanya fokus pada pamer harta kekayaan.
Bagaimana cara mengatasi dampak negatif dari pamer harta kekayaan?
Untuk mengatasi dampak negatif dari pamer harta kekayaan, penting bagi
setiap individu untuk memahami nilai sejati dari kekayaan dan kebahagiaan.
Kekayaan sejati tidak hanya terletak pada barang-barang mewah yang dimiliki,
tetapi juga pada hubungan sosial yang baik, kesehatan, dan kedamaian batin.
Sebagai pengguna media sosial, kita dapat memilih untuk mengikuti akun-akun
yang menginspirasi dan memberikan nilai positif, daripada mengikuti akun-akun
yang hanya fokus pada pamer harta kekayaan.
Mode
menempatkan perempuan, kepada siapa dan tentang siapa mode itu berbicara, ke dalam keadaan
yang tidak berdosa,
di mana segalanya ditujukan untuk yang terbaik,
di semua tempat
yang menawarkan kemungkinan terbaik; inilah hukum euforia mode.
Repetisi sejarah tentang pamer harta kekayaan terus berlangsung hingga saat ini. Kebiasaan pamer harta kekayaan di media sosial dapat menimbulkan dampak negatif, seperti meningkatnya tekanan sosial dan perilaku konsumtif yang tidak sehat. Untuk mengatasi dampak negatif dari pamer harta kekayaan, penting bagi setiap individu untuk memahami nilai sejati dari kekayaan dan kebahagiaan. Selain itu, pendidikan yang baik juga dapat membantu mengatasi repetisi sejarah ini dengan meningkatkan kesadaran akan nilai-nilai yang lebih penting daripada kekayaan semata.
Pamer Harta Kekayaan adalah menyuburkan Warisan Kolonial
Terdapat
banyak kisah sejarah mengenai kehidupan sosial di Batavia (kini Jakarta) pada
masa kolonial Belanda yang berkaitan dengan pamer harta kekayaan dan kemewahan.
Salah satu kisah yang relevan dengan pembahasan ini adalah tentang kebiasaan
pesta di kalangan elite Belanda pada awal abad ke-19.
Pesta-pesta
seperti ini menjadi simbol kekuatan dan kekayaan Belanda di Batavia pada masa
itu. Namun, di balik kemegahan dan keindahan pesta tersebut, terdapat realitas
pahit dari perekonomian yang tergantung pada eksploitasi rakyat pribumi.
Pesta-pesta tersebut juga memperlihatkan ketidakadilan sosial yang mendasar
dalam masyarakat kolonial Belanda di Indonesia.
Kisah kehidupan sosial di Batavia pada masa kolonial Belanda menjadi bukti bahwa pamer harta kekayaan dan kemewahan merupakan fenomena yang tidak terbatas pada satu waktu dan tempat saja. Hal ini terus berlangsung hingga masa kini, baik di Indonesia maupun di seluruh dunia. Namun, sebagai masyarakat yang lebih maju dan sadar akan ketidakadilan, kita perlu belajar dari kesalahan masa lalu dan mengupayakan untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan merata bagi semua orang.
berikut ini adalah beberapa kutipan dari catatan sejarah yang menunjukkan praktik pamer harta kekayaan pada masa kolonial di Indonesia:
Catatan dari koran De Locomotief pada 27 Maret 1901 yang mengkritik
perilaku para elit di Hindia Belanda yang gemar memamerkan kekayaan mereka di
pesta-pesta besar:
"Namun demikian, tampaknya kita masih jauh dari keinginan untuk hidup sederhana dan tidak menghambur-hamburkan uang kita. Sebaliknya, kecenderungan kita justru lebih pada menjaga kemewahan, pesta pora, dan kehidupan sosial yang mahal."
Catatan dari sejarawan Marleen Felius dalam bukunya "Javanese
Villagers: Social Relations in Rural Modjokuto" yang menceritakan
bagaimana para tuan tanah Belanda sering memamerkan kekayaan mereka dengan
mengadakan pesta besar dan memberikan hadiah-hadiah mewah kepada para tamu
undangan:
"Pesta-pesta besar diadakan untuk menunjukkan status sosial dan kekayaan para tuan tanah. Mereka mengundang orang-orang penting, pejabat kolonial, dan tokoh-tokoh masyarakat setempat. Para tamu dihibur dengan musik, tari, dan drama, dan diberikan hadiah-hadiah seperti pakaian mewah, perhiasan, atau binatang peliharaan yang langka."
Catatan dari buku "Bali and Lombok" karya F.J. Ormeling yang
menggambarkan bagaimana pada masa penjajahan Belanda, para petinggi dan pejabat
Belanda sering membangun rumah-rumah mewah dan mengadakan pesta besar yang
menampilkan kekayaan mereka:
"Pada awal abad ke-20, para pejabat Belanda di Bali dan Lombok sering membangun rumah-rumah mewah dengan gaya arsitektur Eropa dan mengadakan pesta besar untuk menunjukkan status sosial dan kekayaan mereka. Mereka sering memamerkan koleksi seni dan barang-barang antik dari seluruh dunia, dan mempekerjakan seniman dan pengrajin setempat untuk membuat pakaian mewah dan dekorasi pesta yang indah."
Dari kutipan-kutipan di atas, dapat dilihat bahwa praktik pamer kekayaan memang telah ada sejak masa kolonial di Indonesia dan menjadi bagian dari kehidupan sosial para elit pada masa itu.
Ada satu gubernur Hindia Belanda yang sangat memperhatikan isu pamer harta kekayaan dan menerapkan hukuman bagi pejabat yang terbukti melakukan praktik tersebut. Gubernur tersebut adalah J.P. Coen yang menjabat pada tahun 1619-1627.
Atas tindakannya yang dianggap berlebihan dalam membangun rumah dan berfoya-foya, J.P. Coen memerintahkan agar rumah tersebut dibongkar dan kepala kantor tersebut dipecat dari jabatannya. Keputusan tersebut merupakan tindakan yang sangat tegas dan memperlihatkan betapa seriusnya J.P. Coen dalam menegakkan aturan tentang pamer harta kekayaan di Batavia.
Meskipun terjadi pada masa yang sangat lama yang lalu, kisah ini memberikan gambaran tentang pentingnya menjaga etika dalam kehidupan sosial dan politik, terutama bagi pejabat publik yang bertanggung jawab atas kekayaan negara.
Hukuman Bagi Pejabat
Hindia Belanda yang Diterima atas perilaku Istri Pamer Harta Kekayaan
Terdapat beberapa catatan sejarah mengenai istri-istri pejabat Hindia Belanda yang suka pamer harta kekayaan dan pesta mewah, sehingga memicu tindakan dari gubernur pada masa itu. Salah satu contohnya adalah kasus dari istri Residen Sidoarjo pada tahun 1853 yang bernama mevrouw W. Drossaers. Mevrouw Drossaers dikenal suka memamerkan kekayaan dan sering mengadakan pesta mewah di rumahnya. Hal ini menimbulkan rasa iri dari istri-istri pejabat lainnya dan menimbulkan masalah sosial di masyarakat.
Selain itu, perilaku pamer harta kekayaan dan mengadakan pesta mewah juga memiliki dampak negatif terhadap keuangan VOC pada masa itu. Hal ini terjadi karena pengeluaran yang berlebihan untuk memenuhi keinginan istri-istri pejabat dan membantu menyebabkan terjadinya kebangkrutan pendapatan VOC pada akhir abad ke-18.
Data sejarah mengenai hal ini dapat ditemukan dalam berbagai dokumen arsip seperti laporan gubernur jenderal dan catatan-catatan sejarah pada masa itu.
Setelah membahas mengenai pamer harta kekayaan dan perilaku sosialita pada masa kolonial Hindia Belanda, dapat disimpulkan bahwa fenomena ini masih relevan dengan kondisi sosial saat ini, terutama dengan adanya perkembangan teknologi dan sosial media.
Perilaku pamer harta ini telah menimbulkan banyak kontroversi pada masa lalu. Bahkan, terdapat catatan sejarah bahwa beberapa gubernur Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan untuk membatasi perilaku pamer harta ini demi menjaga stabilitas ekonomi.
Namun, dengan
adanya sosial media, fenomena pamer harta semakin menyebar dan semakin mudah
ditemui. Banyak orang yang tergoda untuk memamerkan kekayaan mereka di media
sosial dengan harapan mendapat pengakuan atau popularitas. Perilaku ini dapat
menimbulkan dampak negatif seperti timbulnya rasa iri dan tidak sehat dalam
masyarakat.
penting untuk menyadari bahwa perilaku pamer harta bukanlah sesuatu yang positif. Kita perlu belajar untuk memahami nilai-nilai yang lebih penting seperti kesederhanaan, rasa syukur, dan kemandirian.
Dengan menyadari pentingnya menghargai nilai-nilai yang lebih penting daripada materi, diharapkan masyarakat Indonesia dapat menjadi lebih bijak dan bertanggung jawab dalam mengelola kekayaan yang dimiliki, sehingga dapat membangun Indonesia yang lebih baik dan berkelanjutan.
Begitu banyak sumber sejarah yang bisa di
jadikan pelajaran akan pembahasan ini seperti diantaranya;
Buku
Abeyasekere, Susan. 1989. Jakarta A History: Revised Edition, Singapore: Oxford University Press
Arief, M. Sarief.
2009. Politik Film di Hindia Belanda, Jakarta: Komunitas Bambu.
Adlin, Alfathri (ed). 2006. Resistensi Gaya Hidup: Teori dan Realitas. Bandung: Jalasutra.
Ataladjar, Thomas B. 2003. Toko Merah: Saksi Kejayaan Batavia Lama di Tepian Muara Sungai Ciliwung, Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta.
Bachriadi, Dianto.1995. Ketergantungan Petani dan Penetrasi Kapital. Bandung: Akatiga.
Biran, Misbach Yusa. 2009. Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa, Jakarta: Komunitas Bambu.
Bondan, Molly. 2008. Spanning A Revolution: Kisah Mohamad Bondan, Eks- Digulis, dan PNI. Jakarta: Yayasan Obor.
Booth, Anne, William Joseph O’ Malley, Anne Weidemann (ed), 1988, Sejarah Ekonomi Indonesia, Jakarta: LP3ES.
Booth, Pieter. 1998, The Indonesian Economy During the Nineteenth and Twentieth Centuries: A History of Missed Opportunities London: Macmillan Press.
Brousson, HCC Clockener. 2007. Batavia Awal Abad 20. Jakarta: Masup.
Chaney, David. 2005. Lifestyles; Sebuah Pengantar Komperhensif. Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra.
Craik, Jenifer. 1994. The Face of Fashion. Cultural Studies in Fashion. London/ New York: Routledge.
De Graeff, (Somensteller). 1945. Van Vriend tot Vijand de Betrekkingen Tuschen Nederlandsch Indie en Japan. Amsterdam: Elsevier.
Dick, Howard W. 1987. The Interisland Shipping Industry in Indonesia: An Analysis of Competition and Regulation. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
Djojohadikusumo, Soemitro. 1989. Kredit Rakyat di Masa Depresi, Jakarta: LP3ES.
Elias, N. dan J.L. Scotson. 1965. The Established and the Outsiders a Sociological Enquiry into Community Problems. London: Cass.
Encyclopedia Americana. 1964. New York: Americana Corporation.
Geertz, Clifford. Tanpa Tarikh. The Social History of an Indonesian Town.
Massachusetts:
MIT Press. Fruin. 1929. Volkscredietwezen.
Furnivall, J.S. 1944, Netherlands India: A Study of Plural Economy, Cambridge: New York
1935. State Pawnshops in Neteherlands India. Rangoon: Burma Book Club.
Hujatnikajennong, Agung dkk, Alfathiri Adlin (ed). 2006. Resistensi Gaya Hidup: Teori dan Realitas. Bandung: Jalasutra.
Hanna, Willard A. Hikayat Jakarta, Jakarta: Yayasan Obor, 1988.
Heuken, Adolf, Grace Pamungkas (Ed). 2001. Menteng: Kota Taman Pertama di Indonesia, Jakarta: Yayasan Cipta Loka Karya, hlm. 34.
Hidayat, Bambang. 2004. Mosaik Pemikiran: Sejarah dan Sains untuk Masa Depan. Bandung: Kiblat.
Posting Komentar untuk "Repetisi Sejarah Itu Bernama Pamer Harta Kekayaan"