"'Jalan Menuju Surga': Epos Islami dalam Epos Rusia"
Hadji Murad |
Melintasi abad yang mengalir dengan kejayaan dan kehancuran, terekamlah perjalanan panjang negeri Rusia yang mengalun dalam irama Islami. Dari kekuasaan 'Golden Horde' di masa kuno hingga saat ini, Islam telah menautkan benang merah dengan sejarah Rusia. Dengan izin waktu dan kisah, tak pelak bahwa tema-tema Islami melingkupi rentang kesusastraan Rusia seperti kain tipis yang menutupi sebuah alam semesta lirih.
"Kemudian kucungkil wajahku... menuju deretan menara-masjid yang menjulang gagah, terjulur tegak menusuk ke langit biru. Warna-warni, dari biru samudra hingga ungu magis, hingga abu-abu yang merenung. Dan aku merasa getaran azan bergemuruh dalam jiwaku."
Perkataan ini bukan semata-mata sekadar rangkaian kata, melainkan harmoni puisi Tatiana Mazepina yang merekam perjalanannya dari jantung Rusia ke lautan Mesir, dalam kisah epik yang melambung tinggi berjudul "Traveling to Paradise" (Melintasi Menuju Surga). Dia adalah seorang yang terpilih, memenangkan gelar Penulis Muda Terbaik Rusia pada tahun 2010, dan dalam kata-kata puitisnya, kita merasakan lautan makna yang merembes dari keindahan bait-bait. Tak hanya sebuah cerita perjalanan, tetapi sebuah perjumpaan rohaniah, seakan menyentuh lapisan paling dalam dari kemanusiaan yang berupaya memahami esensi agung di balik pengembaraan.
Namun, sajian Islami tak hanya terhampar dalam kisah-kisah perjalanan. Ia mekar dalam puisi-puisi naratif dari zaman ke zaman, seperti kuncup bunga yang bersemayam di taman kesusastraan. Sudut pandang Rusia yang menjelma dalam bentuk puisi panjang Alexander Pushkin, "The Fountain of Bakhchisarai" (Air Mancur Bakhchisarai), adalah sebuah contoh. Dalam riwayat tahun 1820-an, Pushkin merangkai kisah tentang ksatria Khan yang misterius dan harem nan menawan di dalam istana Bakchisarai di Krimea. Tetapi, dalam palung batin puisi ini, gagasan Islami membentuk semesta baru, seperti kicauan burung-burung yang merdu di subuh hari:
"Diberkati para fakir yang, dengan kegembiraan, melihat Mekah di bawah cahaya yang luntur..."
Tepi timur Rusia, di lereng-lereng Kaukasus, muncul kisah Lermontov yang membawa angin segar dari negeri-negeri Turkistan. "Ashik-Kerib" mengisahkan cinta dan keseharian seorang penyanyi miskin yang bernama Ashik-Kerib. Ia adalah roh pengembara yang membelah langit dan menembus hati, terinspirasi oleh pesona putri seorang pedagang Georgia. Lermontov, dalam tinta dan goresan pena, melukiskan pemandangan pegunungan Kaukasus seakan-akan ia mengamati tahtanya sendiri. Dan dalam cermin dongeng ini, gambaran turki terbentang seperti karpet yang memeluk peradaban masa lalu.
Ibarat aliran air yang terus mengalir, para novelis Rusia abad ke-19 tak dapat menghindar dari angin Islami yang berhembus di tiap sudut kesusastraan. Fyodor Dostoevsky, sang penyair pikiran-pikiran yang menggelegar, tak hanya mengarungi lautan kata, tetapi juga berlayar dalam samudra makna agung. Dari balik jeruji penjara di Omsk, ia menapaki pintu-pintu kebenaran dengan Alquran di tangannya. Epilepsi, seperti badai yang menghantam tanah, merambah ke dalam novel-novel filsafatnya. Shatov, tokoh berjiwa merkurius dalam "Demons" (Iblis), mengadu puisi duka dengan tarian kesurupan:
"Ingatlah kisah teko Nabi Muhammad yang tak pernah menumpahkan sekalipun tetes air saat melintasi surga dengan seekor kuda?"
Tak hanya Dostoevsky, Lev Tolstoy, sang pandita yang merayakan keberagaman jiwa manusia, melangkahkan langkahnya dalam dialog yang penuh cahaya. Dalam suratnya kepada Yasnaya Polyana pada tahun 1884, ia dengan ringkas mengungkapkan kecintaannya pada segala bentuk iman, menyebut dirinya 'pengikut Nabi Muhammad'. Dan dengan nada getir, ia menambahkan:
"Pemerintah mencitrakan saya sebagai musuh revolusi. Gereja Ortodoks memahami saya sebagai sekutu setan."
Namun, seperti bayangan yang muncul di cakrawala, pencerahan datang dari antara kegelapan. Haji Murat, tokoh epik yang diabadikan oleh pena Tolstoy, mengembara di tengah-tengah hutan Kaukasus, membawa angin segar dari padang pasir dan doa yang melintasi samudra waktu. Jika kita merentangkan pandangan, kita akan melihatnya menunggang kuda putih, menjelajahi rentang tanah di antara ladang dan menara masjid. Kuda dan senjata, bukan sekadar lambang keberanian, melainkan doa yang ditembakkan ke langit:
"Ketika azan masih bergema di kejauhan, ia mengucapkan salam sejahtera. Asalamualaikum."
Namun kisah ini tak berhenti di sini. Haji Murat, komandan Chechnya yang berjiwa pemberontak, membawa kita dalam perjalanan di mana Islam bukan sekadar dogma, melainkan roh yang mengalir dalam aliran darah dan sejarah. Richard Pevear, penerjemah setia yang merangkai kisah-kisah dari satu dunia ke dunia lain, mengungkapkan dalam kata-kata cemerlangnya bahwa Haji Murat adalah 'pahlawan baru bagi Tolstoy', seorang yang tidak hanya berani tetapi juga manusiawi. Ia bukan sekadar sosok di atas kertas, melainkan sesosok roh yang mekar dalam langit-langit imajinasi.
"Ia menjalankan ritual agamanya dengan hati-hati, seperti air mengalir dalam palung-palung waktu. Ia adalah seorang yang berkongsi budaya dan cinta dengan warga sekitarnya."
Kilauan novel-novel era Soviet memantulkan sinar-sinar lain, tetapi jejak Islami masihlah terbaca dalam kisah-kisah rakyat Asia Tengah yang tak pernah pudar. Di atas rel kereta api yang melintasi padang gurun Kazakhstan, seorang pekerja kereta api berusaha menguburkan teman lamanya menurut adat Islam dalam novel Chinghiz Aitmatov berjudul "The Railway" (Rel Kereta Api). Dalam epos ini, Islami tak sekadar doktrin, tetapi naluri manusia yang melebur dengan keseharian.
Seakan-akan dari mimpi-mimpi sufi, kisah Andrei Platonov, "Soul" (Jiwa), menyibak tirai antara dunia kita dengan dunia yang lebih halus. Sepanjang halaman-halaman ciptaannya, legenda sufi berdansa di atas medan makna, seperti bintang-bintang yang berserakan di langit malam. Lapisan-lapisan dunia kita terbelah, dan mitos-mitos sufi muncul dalam sorot cahaya kata-kata. Dalam gurun yang dilukisnya, kita dapat mendengar jejak langkah para petualang pada abad ke-10, yang menapakkan kaki di tanah Asia Tengah.
Dan di tengah-tengah pusaran zaman, terciptalah harmoni baru yang merangkul keberagaman kepercayaan. Di dalam karya-karya yang masih hangat, penulis-penulis baru memeluk keimanan dan pengalaman manusia sebagai sebuah mahakarya yang tercipta dalam hamparan makna. Dalam salah satu novel, Hamid Ismailov memetik bait-bait puiti Sufi yang mengalir dalam detak-detak zaman:
"Hari ini aku adalah seorang Rusia, esok bisa jadi aku adalah seorang Sirkasia... Lusa aku berdiri sebagai seorang muslim, dan hari berikutnya mungkin aku meragukan agama."
Tinta-tinta ini bukan semata-mata cetakan kata, melainkan pintu gerbang ke pemahaman yang lebih dalam tentang jiwa manusia yang berkelana di tengah-tengah dunia yang tak berujung. Ini adalah pintu gerbang yang membawa kita pada perjalanan yang tak terduga dalam aliran kesusastraan Islami Rusia.
Begitu pula, dalam perjalanan emosi Tatiana Mazepina, ritual keagamaan menjadi jembatan yang menghubungkan jarak jauh antara hati manusia. Di dalam gereja kuno di tanah Suriah, ia mendapati keajaiban bahwa kata 'Allah' bukanlah sekadar kata asing. Dan dalam pelukan keluarga Turki, ia merasakan getaran sejarah yang terpahat dalam sebuah botol berisi 'rambut nabi'. Rambut yang membawa berkah, membawa cinta, seperti tangkai bunga yang mengalirkan aroma dalam angin.
Tatkala kita merenung dalam air mata bumi yang terkumpul dalam botol keramat itu, kita menyadari bahwa ia adalah lebih dari sekadar rambut. Ia adalah lambaian cinta yang membawa kita pada perjalanan penuh gairah dalam alam semesta Islami Rusia.
Posting Komentar untuk ""'Jalan Menuju Surga': Epos Islami dalam Epos Rusia" "