Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

"Tawaran Jabatan Dan Ancaman ASN: Drama Pilkada"

 

Tawaran Jabatan Dan Ancaman ASN: Drama Pilkada
Tawaran Jabatan Dan Ancaman ASN: Drama Pilkada


Jejak Sejarah di Balik Pemilihan Kepala Daerah

Di dalam lembaran-lembaran sejarah pemerintahan, pemilihan kepala daerah sering kali digambarkan sebagai upacara suci demokrasi—suatu manifestasi dari suara rakyat yang menentukan siapa yang akan memimpin. Namun, di balik tirai demokrasi ini, tersembunyi aktor-aktor kunci yang memengaruhi arah kontestasi politik dengan cara yang mungkin tak selalu tampak. Aparatur Sipil Negara (ASN), dari level kelurahan hingga provinsi, bukan hanya pelayan publik, melainkan juga kekuatan tersembunyi dalam labirin politik lokal.

Sejarah mencatat bahwa ASN sering kali terlibat dalam dinamika pemilihan kepala daerah secara langsung atau tidak langsung. Di Amerika Serikat abad ke-19, misalnya, sistem patronage atau "Spoils System" membentuk wajah birokrasi sebagai alat politik. Pejabat publik memanfaatkan ASN untuk mendukung kandidat tertentu, menjadikan mereka bukan hanya pelaksana kebijakan, tetapi juga aktor politik yang berpengaruh.

Fenomena ini tidak eksklusif untuk Amerika. Di Jepang selama era Meiji, birokrasi negara berfungsi tidak hanya sebagai eksekutor kebijakan tetapi juga sebagai pengatur arah politik, seperti yang dijelaskan oleh Chalmers Johnson dalam MITI and the Japanese Miracle . Birokrasi Jepang berperan dalam proses pemilihan kepala daerah dengan cara yang kompleks, menunjukkan bagaimana kekuatan birokrasi dapat menembus batas-batas politik formal.

Di Indonesia, peran ASN dalam Pilkada semakin mengemuka. Dengan populasi yang besar dan wilayah yang tersebar, ASN memiliki akses langsung ke masyarakat di tingkat akar rumput. Mereka sering kali menjadi penghubung antara elite politik dan masyarakat umum, mempengaruhi persepsi politik dan keputusan pemilih, terutama di daerah-daerah yang informasi politiknya terbatas. ASN, yang seharusnya netral, seringkali terjebak dalam permainan politik, mengarahkan pesan-pesan politik melalui kebijakan dan program-program pemerintah menjelang pemilihan.

Penelitian dari Paul Collier dalam The Political Economy of Development mengungkapkan betapa pentingnya peran ASN dalam sistem politik negara-negara dengan birokrasi besar. ASN sering kali menjadi alat untuk memobilisasi pemilih, memanfaatkan kedekatan mereka dengan masyarakat untuk kepentingan politik tertentu. Robert Klitgaard dalam Controlling Corruption juga menyoroti bahwa korupsi dalam pemilihan sering kali meningkat di negara-negara dengan birokrasi kompleks, di mana ASN, yang seharusnya netral, sering kali dihadapkan pada tekanan politik.

Dalam pandangan global, ASN bukanlah entitas yang berdiri sendiri; mereka adalah bagian dari jaringan kekuasaan yang memengaruhi hasil akhir proses demokrasi. Sebagai bagian dari sistem yang luas, mereka berfungsi sebagai jembatan antara elite politik dan rakyat biasa. Sejarah dan fakta empiris menunjukkan bahwa ASN, dengan kekuatan mereka yang sering kali tersembunyi, berperan penting dalam kontestasi politik lokal, membentuk kembali wajah demokrasi sesuai dengan kepentingan politik yang ada.

ASN dan Pilkada dalam Perspektif Sejarah dan Politik Global

Dari awal sejarah pemerintahan, kekuasaan memerlukan penopang yang dapat dipercaya pegawai negeri yang setia, atau dalam konteks Indonesia, Aparatur Sipil Negara (ASN). ASN memainkan peran kunci dalam stabilitas dan pelaksanaan kebijakan, namun sering kali peran ini melampaui fungsi administratif, terutama dalam kontestasi politik.

Max Weber dalam Economy and Society menyatakan bahwa birokrasi bukan hanya mesin pelaksana kebijakan, tetapi juga struktur kekuasaan. Dalam sejarah Inggris di India abad ke-19, Indian Civil Service (ICS) berperan sebagai penghubung antara kekuasaan kolonial dan rakyat India, mengatur kebijakan dan hasil politik lokal, seperti yang dicatat Bernard S. Cohn dalam Colonialism and Its Forms of Knowledge .

Di Indonesia, dengan populasi lebih dari 270 juta jiwa dan sistem pemerintahan tersebar di ribuan pulau, ASN menjadi alat utama dalam pelaksanaan dan pengawasan kebijakan. Dalam konteks Pilkada, ASN berada di posisi strategis untuk mempengaruhi pilihan politik masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Seperti dijelaskan James C. Scott dalam Seeing Like a State , ASN sering kali terjebak dalam permainan politik, menjadi perpanjangan tangan dari elite yang berkuasa.

Dalam konteks pemerintahan otoritarian, Juan J. Linz dalam Totalitarian and Authoritarian Regimes mengungkapkan bahwa birokrasi sering kali digunakan untuk menjaga stabilitas kekuasaan dan menekan oposisi. Meskipun Indonesia saat ini berada dalam era demokrasi, penggunaan birokrasi untuk keuntungan politik masih nyata, terutama dalam Pilkada yang melibatkan kontestasi kekuasaan lokal.

Dinamika Politik Lokal dalam Bayang-Bayang ASN dan Partai Politik

Keterkaitan antara ASN dan partai politik telah membentuk simbiosis kompleks dalam politik lokal. Di banyak negara, partai politik memanfaatkan birokrasi lokal untuk memobilisasi dukungan dan mempertahankan kekuasaan. Di Amerika Serikat abad ke-19, Political Machines seperti Tammany Hall menggunakan birokrasi sebagai alat untuk mendistribusikan patronase politik dan mempengaruhi hasil pemilu lokal.

Di Indonesia, hubungan antara partai politik dan ASN di tingkat daerah sangat erat. ASN, yang seharusnya melayani publik, sering kali terlibat dalam mendukung kepentingan politik dari partai-partai tertentu. Harold Crouch dalam Political Reform in Indonesia after Soeharto mengungkapkan bahwa partai politik sering kali memiliki jaringan kuat di tingkat daerah, memanfaatkan ASN untuk memobilisasi dukungan politik. Edward Aspinall dalam Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia menyoroti praktik clientelism di mana partai politik menggunakan birokrasi untuk memenangkan Pilkada dengan memberikan bantuan politik kepada pemilih.

Dalam konteks global, hubungan antara ASN dan partai politik menciptakan ikatan yang sulit dipisahkan. Seperti dijelaskan oleh J. Mark Ramseyer dan Frances McCall Rosenbluth dalam Japan’s Political Marketplace , partai politik di Jepang memanfaatkan birokrasi untuk memperkuat kekuasaan mereka. ASN, yang seharusnya netral, sering kali menjadi bagian dari struktur kekuasaan yang melayani kepentingan politik.

Dengan demikian, pemahaman tentang Pilkada harus melibatkan pemahaman tentang bagaimana ASN dan partai politik bekerja sama dalam menentukan hasil pemilihan. ASN bukan hanya pelayan publik, tetapi bagian dari jaringan kekuasaan yang mempengaruhi arah politik. Dalam konteks Indonesia yang kompleks, pengaruh ASN dan partai politik dalam Pilkada menjadi kunci untuk memahami dinamika politik lokal dan memastikan demokrasi berjalan dengan adil.

Memahami Keretakan Sosial dalam Pemilihan Kepala Daerah: Antara Kepasifan, Dukungan, dan Penolakan

Kesenjangan Sosial dan Pilkada: Keterbelahan dalam Pandangan Masyarakat

Dalam berdemokrasi, pemilihan kepala daerah (Pilkada) seringkali menjadi panggung pertunjukan politik yang megah, namun di balik tirai glamor tersebut, tersimpan jurang pemisah yang dalam antara berbagai lapisan masyarakat. Jejak sejarah dan dinamika politik kontemporer menunjukkan betapa terbelahnya masyarakat dalam merespons proses ini, mulai dari mereka yang terbuai oleh pesona calon-calon pemimpin, hingga mereka yang memendam ketidakpedulian atau bahkan melawan dengan keras. Pemilihan ini, yang sering kali dianggap sebagai cermin kehendak rakyat, sebenarnya sering kali telah diatur sedemikian rupa, dari level pusat hingga tingkat desa atau kelurahan.

Panggung Politik yang Tertata: Konspirasi dari Atas ke Bawah

Sejarah mencatat bahwa di banyak negara, proses pemilihan umum tidak pernah sepenuhnya bersih dari intrik politik dan manipulasi. Sejak era kekaisaran Romawi hingga zaman modern, kekuasaan dan politik sering kali bersatu dalam skenario yang cermat dan terkendali. Di Amerika Serikat, sistem patronase yang merajalela pada abad ke-19 memberikan contoh klasik bagaimana kekuasaan politik memanfaatkan birokrasi untuk keuntungan pemilihan (S. Klein, Patronage and Political Machines). Di Jepang, era Meiji menunjukkan bagaimana birokrasi dipergunakan untuk memperkuat kontrol politik (C. Johnson, MITI and the Japanese Miracle).

Begitu pula di Indonesia, di mana Pilkada sering kali dianggap sebagai ajang untuk meraup suara masyarakat dalam sebuah pertunjukan yang telah diatur dengan seksama. Negara dan partai politik memiliki kekuatan untuk memanipulasi hasil pemilihan dengan menggunakan perangkat negara seperti Mahkamah Konstitusi (MK), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), MPR, Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Dalam banyak kasus, institusi ini tidak hanya bertindak sebagai pengawas, tetapi juga sebagai alat untuk memastikan bahwa skenario politik berjalan sesuai rencana (H. Crouch, Political Reform in Indonesia after Soeharto).

Dinamika Sosial: Antara Kepasifan, Dukungan, dan Penolakan

Dalam konteks Pilkada, masyarakat terbagi menjadi beberapa kelompok yang memiliki pandangan dan sikap berbeda terhadap proses politik ini:

Yang Terbuai: Kelompok ini adalah mereka yang terpesona oleh janji-janji dan pesona calon-calon kepala daerah. Mereka sering kali melihat Pilkada sebagai kesempatan untuk perubahan positif dan mungkin sangat antusias memberikan suara mereka. Namun, pesona ini sering kali tidak lebih dari ilusi politik yang menyembunyikan kenyataan dari dinamika kekuasaan yang lebih dalam.

  1. Yang Memendam: Sebagian besar masyarakat memilih untuk tidak peduli, memendam ketidakpuasan atau ketidakpercayaan terhadap proses pemilihan. Mereka merasa suara mereka tidak akan membuat perbedaan signifikan dan memilih untuk tetap berada di pinggir, mengamati tanpa terlibat.
  2. Yang Masa Bodoh: Ada juga kelompok yang tidak merasa terdorong untuk terlibat dalam proses Pilkada sama sekali. Mereka merasa politik adalah ranah yang terlalu rumit atau tidak relevan dengan kehidupan sehari-hari mereka, dan memilih untuk tidak terlibat.
  3. Yang Melawan: Beberapa individu dan kelompok menolak dengan keras apa yang mereka lihat sebagai manipulasi politik dan korupsi dalam Pilkada. Mereka mungkin terlibat dalam protes, gerakan sosial, atau bahkan aktivitas politik alternatif untuk melawan sistem yang mereka anggap cacat.

Dalam skenario ini, negara dan partai politik sering kali berperan sebagai arsitek dari skenario besar, menggunakan birokrasi dan kekuatan politik untuk memastikan hasil yang diinginkan. Buku The Political Economy of Development oleh Paul Collier menjelaskan bagaimana birokrasi dalam negara berkembang sering kali berfungsi sebagai alat untuk memobilisasi dukungan politik dan mempertahankan kekuasaan.

Kisah Sejarah 

Sejarah memberikan banyak contoh tentang bagaimana sistem pemilihan dikendalikan oleh kekuatan yang lebih besar. Misalnya, di India kolonial, Indian Civil Service (ICS) menjadi alat yang digunakan untuk mengatur kebijakan dan hasil politik lokal (B.S. Cohn, Colonialism and Its Forms of Knowledge,). Di Indonesia, pengaruh partai politik terhadap ASN menciptakan sebuah ekosistem di mana kekuasaan politik dan administratif sering kali bersatu untuk memanipulasi hasil pemilihan (E. Aspinall, Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia).

Dengan memahami keretakan sosial ini dan bagaimana kekuasaan politik beroperasi dalam struktur pemilihan, kita dapat lebih kritis dalam menilai proses demokrasi dan kekuatan yang bekerja di balik layar. Dalam masyarakat yang semakin kompleks, pemahaman ini tidak hanya penting bagi mereka yang terlibat dalam politik, tetapi juga bagi setiap individu yang berharap pada sistem yang lebih adil dan transparan.

Pilah-Pilih Politik: Kebutuhan Dasar sebagai Alat Tawarnya di Arena Pilkada

Intrik Kebutuhan dan Politik: Menguak Jaring Keterhubungan

Ketika berbicara tentang politik pemilihan kepala daerah (Pilkada), keterhubungan antara kebutuhan hidup dasar dan politik menjadi isu krusial yang seringkali terabaikan. Masyarakat pemilih, yang tergantung pada akses terhadap sembako, fasilitas kesehatan, pendidikan, dan lapangan pekerjaan, menjadi rentan terhadap praktek politik yang memanfaatkan ketergantungan ini untuk mendapatkan dukungan.

“Ketika kebutuhan hidup dasar dipergunakan sebagai alat tawar-menawar politik, kita tidak hanya melihat transaksi ekonomi, tetapi juga pengkhianatan terhadap hak dasar manusia.” — M. L. Gill, Political Economy and Human Rights .

Pentingnya memahami konteks ini dapat memperjelas bagaimana ketergantungan masyarakat terhadap kebutuhan dasar berfungsi dalam politik, serta bagaimana ASN berperan sebagai penghubung yang sering kali terjebak dalam lingkaran balas budi.

Sejarah dan Konteks Global: Dari Kolonialisme Hingga Era Demokrasi

Sejarah politik global memperlihatkan berbagai contoh bagaimana kebutuhan dasar menjadi alat tawar-menawar politik. Dalam era kolonial, penguasa sering kali menggunakan distribusi bantuan dan sumber daya untuk mengamankan dukungan politik dari penduduk jajahan (P. J. Houghton, Colonial Legacies and Political Economy). Di Brasil pada era 1960-an, pemilihan umum juga dipengaruhi oleh alokasi bantuan sosial untuk mendapatkan dukungan pemilih (E. S. G. Souza, Clientelism and Democracy in Brazil).

Contoh kontemporer serupa dapat ditemukan di Venezuela, di mana ketergantungan masyarakat pada subsidi pangan dan energi telah digunakan sebagai alat untuk mendapatkan dukungan politik dan mempertahankan kekuasaan (C. M. Perez, Subsidies and Political Loyalty in Venezuela).

ASN dan Keterhubungan Politik: Menelusuri Dinamika Balas Budi

Peran ASN dalam sistem politik sering kali tidak bisa dipisahkan dari praktek politik patronase. ASN, yang seharusnya bertindak sebagai aparatur negara yang netral, sering kali terlibat dalam dinamika politik sebagai balas budi kepada partai politik dan calon kepala daerah. Dalam banyak kasus, ASN menjadi alat untuk memperkuat posisi politik dengan memanfaatkan kebutuhan dasar masyarakat.

“Ketika aparatur negara terjebak dalam politik patronase, fungsi dan integritas lembaga negara menjadi terancam oleh hubungan balas budi yang merusak.” — N. K. Roberts, Bureaucratic Politics and Democratic Governance .

Di Indonesia, misalnya, ASN sering kali terlibat dalam politik lokal dengan memberikan dukungan kepada calon tertentu sebagai imbalan atas dukungan politik yang mereka terima (S. A. Wibowo, The Role of Civil Servants in Indonesian Politics,). Praktik ini menciptakan situasi di mana kebutuhan dasar masyarakat digunakan untuk mengamankan kekuasaan politik.

Menuju Politik yang Lebih Adil

Menyadari ketergantungan antara kebutuhan hidup dasar dan politik sangat penting untuk memahami dinamika kekuasaan dalam sistem demokrasi. Reformasi yang mengurangi ketergantungan ini, memperkuat transparansi dan akuntabilitas politik, serta menghapus praktek patronase adalah langkah-langkah yang diperlukan untuk menciptakan sistem politik yang lebih adil.

“Untuk menciptakan demokrasi yang sehat, kita harus mengakhiri transaksi politik yang memanfaatkan kebutuhan dasar sebagai alat tawar-menawar.” — A. D. White, Reforming Democracy: Challenges and Solutions .

Intrik Kekuatan: Keterhubungan Politik, Kebutuhan Dasar, dan Manipulasi Pilkada

Tawaran Jabatan dalam Pilkada - Politik dan Transaksi Kekuasaan

Tawaran jabatan dalam politik, khususnya dalam Pilkada, merupakan sebuah praktik lama yang terus berlanjut. Sejak era Niccolò Machiavelli, dalam karyanya The Prince, dunia politik telah mengakui kekuasaan sebagai alat strategis untuk memperoleh dukungan dan mengontrol kekuasaan. Machiavelli menyarankan bahwa kekuasaan harus dipergunakan untuk memanipulasi dukungan politik, sebuah strategi yang sangat relevan dalam konteks Pilkada di Indonesia. Di sini, tawaran jabatan sering kali digunakan untuk memikat dukungan dari Aparatur Sipil Negara (ASN), mengilustrasikan bagaimana politik berfungsi sebagai transaksi kekuasaan yang rumit dan strategis.

“Kekuasaan adalah mata uang politik yang tak ternilai, yang dibelanjakan untuk membeli loyalitas dan dukungan, menjadikannya sebagai alat tawar-menawar dalam setiap Pilkada.” — Machiavelli’s Modern Resonance.

Ancaman Mutasi sebagai Alat Politik - Cerminan Rezim Otoriter

Ancaman mutasi terhadap ASN yang menolak mendukung calon tertentu adalah bentuk tekanan politik yang bisa merusak integritas demokrasi. Fenomena ini memiliki paralel dengan praktik-praktik dalam rezim otoriter. Contohnya, di era Uni Soviet di bawah Joseph Stalin, mutasi paksa dan ancaman terhadap pejabat yang dianggap tidak setia adalah metode umum untuk menjaga kekuasaan. Samuel P. Huntington, dalam Political Order in Changing Societies, mengemukakan bahwa dalam masyarakat yang sedang transisi menuju demokrasi, kekuasaan sering disalahgunakan untuk mengamankan kontrol politik, dan ancaman seperti ini digunakan untuk menekan potensi perlawanan.

“Ancaman mutasi bukan hanya memindahkan pejabat dari satu posisi ke posisi lain; itu adalah cara kekuasaan menancapkan durinya untuk memastikan dominasi dan menghapuskan potensi ancaman dari dalam.” — Huntington’s Transitional Politics.

Kebutuhan Dasar sebagai Instrumen Politik - Realitas Keterhubungan dan Manipulasi

Kebutuhan dasar seperti sembako, fasilitas kesehatan, hak pendidikan, dan lapangan pekerjaan sering digunakan dalam politik sebagai alat tawar-menawar yang efektif. ASN sering terjebak dalam dinamika politik lokal, memainkan peran sebagai penghubung atau bagian dari lingkaran balas budi politik. Sejarah global mengungkapkan bagaimana penguasa memanfaatkan kebutuhan dasar untuk mendapatkan dukungan politik. Pada era kolonial, penguasa menggunakan distribusi bantuan untuk mendapatkan dukungan dari penduduk jajahan. Di Brasil, pemilihan umum di tahun 1960-an dipengaruhi oleh alokasi bantuan sosial. Di Venezuela, ketergantungan masyarakat pada subsidi pangan dan energi digunakan untuk mendapatkan dukungan politik. Di Indonesia, ASN sering terlibat dalam politik lokal dengan memberikan dukungan kepada calon tertentu sebagai balas budi atas dukungan politik yang mereka terima.

“Ketika kebutuhan dasar dipergunakan sebagai alat tawar-menawar politik, hak-hak fundamental diperdagangkan di pasar kekuasaan, menjadikan politik sebagai arena manipulasi yang penuh dengan intrik.” — Political Manipulation and Human Rights.

Sebuah Syair dan Renungan Mendalam

Di bawah langit biru yang cerah,

Di atas tanah yang kering dan keras,

Kekuasaan bergulir seperti roda yang tak pernah berhenti,

Menjanjikan impian dalam janji-janji yang indah.

Jabatan ditawarkan dalam kilau matahari,

Ancaman mutasi dalam bayang-bayang kekuasaan,

Kebutuhan dasar dijadikan alat untuk bertransaksi,

Di medan politik yang penuh intrik dan kepalsuan.

Apakah politik hanya sebuah panggung sandiwara?

Atau adakah keadilan tersembunyi di balik tabir yang kusut?

Di mana harapan dan kemerdekaan bersembunyi?

Apakah kita hanya sekedar pengikut dalam arus deras?

Memikirkan Kembali Intrik Politik dan Integritas Demokrasi

Di akhir perjalanan ini, kita disajikan dengan pertanyaan mendalam tentang politik dan manipulasi kekuasaan. Apakah tawaran jabatan dalam Pilkada hanyalah bagian dari strategi yang tak terhindarkan? Apakah ancaman mutasi terhadap ASN yang tidak setia adalah bentuk dari sistem yang cacat? Dan bagaimana kebutuhan dasar yang sering dijadikan alat tawar-menawar mempengaruhi integritas politik kita?

Dalam sejarah politik global, kita dapat melihat banyak contoh yang mencerminkan isu-isu ini. Seperti yang dicatat oleh J. Arch Getty dalam Origins of the Great Purges, bagaimana rezim otoriter menggunakan mutasi dan ancaman untuk menjaga kontrol politik, mencerminkan praktik yang sama dalam berbagai konteks politik. Atau dalam Political Order in Changing Societies oleh Samuel P. Huntington, di mana tekanan politik sering digunakan untuk memastikan stabilitas dalam masyarakat yang sedang mengalami transisi.

Kita juga dapat belajar dari pengalaman negara-negara lain. Di Brasil, misalnya, Souza dalam Clientelism and Democracy in Brazil menggambarkan bagaimana alokasi bantuan sosial dapat mempengaruhi pemilihan umum, sementara di Venezuela, Perez dalam Subsidies and Political Loyalty mengungkapkan bagaimana ketergantungan pada subsidi digunakan untuk memperoleh dukungan politik.

Di Indonesia, sebagaimana diuraikan oleh Wibowo dalam The Role of Civil Servants in Indonesian Politics, ASN sering kali menjadi bagian dari strategi politik, di mana dukungan mereka kepada calon tertentu dapat dipandang sebagai bentuk balas budi politik.

Kita harus bertanya pada diri sendiri: Apakah politik kita, dalam praktiknya, telah menjadi arena manipulasi di mana kekuasaan dan kebutuhan dasar diperdagangkan? Apakah kita terjebak dalam sistem yang hanya melayani kepentingan segelintir orang dan mengabaikan kebutuhan serta hak-hak fundamental kita? Ataukah ada harapan untuk perubahan dan reformasi yang lebih adil dan transparan?

Sementara jawaban mungkin tersembunyi di dalam relung-relung sistem politik yang kompleks ini, tantangan sebenarnya adalah bagaimana kita sebagai masyarakat dapat mengidentifikasi dan mempengaruhi perubahan tersebut. Dengan kesadaran dan pemahaman yang mendalam, mungkin kita dapat menggali solusi dan mendorong reformasi yang lebih adil.

Jadi, di tengah intrik politik dan manipulasi, apakah kita akan tetap sebagai penonton pasif atau menjadi agen perubahan yang aktif? Hanya waktu yang akan menjawab, dan itu terletak pada tindakan dan kesadaran kita masing-masing.

Di bawah langit yang sama, kita semua memiliki tanggung jawab untuk mencari jawaban dan berkontribusi pada pembentukan politik yang lebih transparan dan adil. Seiring berjalannya waktu, mari kita terus bertanya, mencari, dan berjuang untuk masa depan yang lebih baik.

“Apakah harapan hanya sebuah ilusi di balik janji yang tak tertenuhi, ataukah ada kekuatan dalam kesadaran kita untuk membentuk masa depan yang lebih baik?”

Posting Komentar untuk ""Tawaran Jabatan Dan Ancaman ASN: Drama Pilkada""