Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

"Belajar dari Kliping: Dari Penjaga Arsip Sejarah Hingga Merawat Ingatan Bangsa"

 

Oei Hiem Hwie Dan Gus Muh : Perjuangan Dua Tokoh Dalam Merawat Arsip Sejarah Melalui Kliping Gambar : gorbysaputra.com
Oei Hiem Hwie Dan Gus Muh : Perjuangan Dua Tokoh Dalam Merawat Arsip Sejarah Melalui Kliping
Gambar : gorbysaputra.com

Belajar dari Kliping: Dari Penjaga Arsip Sejarah Hingga Merawat Ingatan Bangsa

Mari kita mulai dengan kejujuran—topik ini memang tidak mudah untuk disorot ke publik. Arsip dan sejarah? Tidak semua orang tertarik pada dunia yang penuh dengan lembaran kertas, dokumen tua, dan rekaman masa lalu. Namun, bagi mereka yang benar-benar memahami, arsip adalah penjaga ingatan kolektif kita, dan tanpa mereka, sejarah kita bisa menguap begitu saja.

Melalui tulisan ini, saya ingin berbagi sedikit tentang betapa pentingnya dunia arsip, pengarsipan, dan dokumentasi sejarah. Mungkin ini bisa menjadi pintu kecil untuk mengajak lebih banyak orang menghargai peran para penjaga ingatan, sosok-sosok yang sering bekerja dalam diam tapi memiliki pengaruh besar.


Pak Oei Him Hwie gambar : gorbysaputra.com
Pak Oei Him Hwie
gambar : gorbysaputra.com

Sang Penjaga Ingatan: Oei Hiem Hwie

Sebelum kita menyelami lebih jauh, izinkan saya memperkenalkan salah satu sosok penting dalam dunia arsip di Indonesia: Oei Hiem Hwie. Pria kelahiran Malang, Jawa Timur, 24 November 1935, ini adalah seorang penjaga sejarah yang gigih, yang tanpa lelah mengumpulkan dokumen, buku, dan koran dari berbagai zaman. Mungkin namanya tidak setenar para tokoh politik atau pahlawan, tapi percayalah, jasanya dalam menjaga ingatan bangsa ini sangatlah besar.

Oei Hiem Hwie dikenal sebagai salah satu penjaga arsip terpenting di Indonesia. Di masa-masa penuh gejolak politik, terutama era Sukarno dengan NASAKOM-nya, Pak Oei berani merawat dan mengumpulkan berbagai dokumen penting. 

Koleksinya tak main-main: 

dari koran-koran tua, buku-buku langka dalam bahasa Belanda, Inggris, dan Mandarin, hingga tulisan-tulisan fenomenal Pramoedya Ananta Toer. Ya, Pram! Si pengarang legendaris dengan karya tetralogi Pulau Buru-nya itu.

Satu hal yang menarik, Pak Oei mengenal Pramoedya bukan sebagai seorang penggemar biasa, melainkan sebagai wartawan yang secara tidak langsung menjadi editor Pram saat sama-sama "terkurung" di Pulau Buru. Meskipun mereka tak pernah bertemu langsung di sana, hubungan mereka terjalin erat melalui tulisan-tulisan yang diselundupkan dari unit kerja yang berbeda.


Koran Terompet Masyarakat Foto : gorbysaputra.com
Koran Terompet Masyarakat
Foto : gorbysaputra.com

Pak Oei Hiem Hwie, seorang wartawan muda berusia 32 tahun di harian Terompet Masyarakat, tidak memandang ideologi sebagai halangan untuk mengumpulkan dokumen. Bagi dia, semua arsip adalah penting, terlepas dari latar belakang politiknya. Inilah yang membuatnya begitu istimewa—dia tidak pernah membatasi pengarsipannya hanya pada satu pandangan saja. Bahkan, koran-koran komunis yang sempat diburu pada masa itu, ia bundel dengan rapi.


Buku Memoar Oei Hiem Hwie Dari Pulau Buru Sampai Medayu Agung foto : gorbysaputra.com
Buku Memoar Oei Hiem Hwie Dari Pulau Buru Sampai Medayu Agung
foto : gorbysaputra.com

Bayangkan, di tengah represi dan ketakutan, Pak Oei tetap teguh mempertahankan apa yang ia yakini sebagai bagian dari ingatan kolektif bangsa. Ada sebuah kisah ketika seorang bule dari Australia ingin membeli seluruh arsip yang dimiliki Pak Oei untuk mendirikan semacam lembaga ilmu pengetahuan di sana. Tapi Pak Oei menolak meski tawarannya sangat fantastis. Baginya, harga itu tak sebanding dengan pentingnya menjaga sejarah Indonesia.

Gus Muh dan Warung Arsip: Merawat Kenangan Lewat Kliping

Kini, mari kita beralih ke sosok lain yang tak kalah inspiratif: Muhidin M Dahlan, atau yang akrab disapa Gus Muh. Kalau Pak Oei adalah penjaga arsip besar, Gus Muh adalah penjaga arsip yang mengubah hobi kliping menjadi sebuah gerakan budaya. Bayangkan, dari tumpukan koran dan majalah yang ia kliping, lahirlah Warung Arsip, sebuah inisiatif yang sangat unik dalam dunia literasi Indonesia.

Bagi Gus Muh, arsip bukan sekadar koleksi mati. Arsip adalah kehidupan itu sendiri, penuh dengan cerita, emosi, dan sejarah yang terus berdenyut. Salah satu kutipan dari Pramoedya yang selalu ia pegang erat berbunyi, "Jika saja anak-anak diajarkan mengkliping sejak SD, niscaya mereka tak akan mudah dibohongi oleh kekuasaan apa pun." Kata-kata ini menjadi semacam mantra bagi Gus Muh. Ia yakin bahwa kliping adalah alat untuk menjaga pikiran kritis tetap hidup.

Dalam prosesnya, Gus Muh tak hanya mengumpulkan arsip, ia juga menganalisisnya. Ia sangat peka terhadap situasi zaman, menangkap setiap momen penting dan menyimpannya dalam bentuk dokumentasi yang rapi. Dari hobi kliping itulah, lahir karya-karya besar seperti GANEFO: Olimpiade Kiri di Indonesia. Buku ini tak hanya menjadi dokumentasi sejarah, tapi juga semacam catatan penting yang merangkai momen-momen berharga yang mungkin luput dari perhatian banyak orang.


Buku Ganefo Olimpiade Kiri Di Indonesia foto : gorbysaputra.com
Buku Ganefo Olimpiade Kiri Di Indonesia
foto : gorbysaputra.com

Menghubungkan Dua Dunia: Pak Oei dan Gus Muh

Apa yang menarik dari dua sosok ini? Jika Pak Oei adalah pengarsip besar yang merawat artefak sejarah seperti tulisan Pramoedya, Gus Muh adalah editornya. Keduanya terhubung oleh satu benang merah: kesadaran bahwa sejarah harus dijaga dan dipelajari, bukan hanya untuk diketahui tapi untuk mencegah kita dari lupa.

Menariknya lagi, meskipun mereka berasal dari latar belakang yang berbeda, semangat mereka dalam merawat sejarah sangatlah selaras. Pak Oei dengan pengarsipan koran-koran tua dan buku-buku langka, sementara Gus Muh dengan kliping-kliping yang ia ubah menjadi karya-karya literatur berpengaruh. Keduanya adalah bukti bahwa sejarah tidak akan pernah mati selama masih ada orang yang peduli untuk merawatnya.

Arsip Adalah Ingatan

Baik itu Oei Hiem Hwie maupun Muhidin M Dahlan, mereka adalah penjaga ingatan bangsa ini. Arsip yang mereka rawat, baik dalam bentuk dokumen fisik maupun kliping sederhana, adalah fondasi dari sejarah kita. Tanpa arsip, kita mungkin hanya akan berjalan dalam kegelapan, kehilangan arah, dan terjebak dalam lingkaran kebodohan sejarah.

Jadi, jika Anda belum pernah mencoba mengkliping atau merasa tak punya minat pada arsip, mungkin sudah saatnya berpikir ulang. Karena di balik setiap potongan kertas yang tampak usang itu, tersimpan ingatan dan pelajaran yang tak ternilai harganya.

Posting Komentar untuk ""Belajar dari Kliping: Dari Penjaga Arsip Sejarah Hingga Merawat Ingatan Bangsa""