Akar Sejarah Literasi di Dunia
![]() |
Pejuang literasi dalam keruntuhannya yang sok idealis Gambar : gorbysaputra.com |
Sejarah literasi: Menampar hipokrisi, membangkitkan perlawanan sejati.
Sejarah literasi dimulai jauh sebelum era digital, dengan titik balik besar yang terjadi pada abad ke-15 saat Johannes Gutenberg menemukan mesin cetak. Revolusi cetak ini tidak hanya mengubah cara penyebaran pengetahuan, tetapi juga membuka akses informasi bagi masyarakat luas.
Buku, yang sebelumnya merupakan komoditas mewah, kini mulai tersedia untuk kalangan yang lebih banyak. Proses ini memicu pertukaran ide yang revolusioner dan melahirkan era pencerahan yang menantang otoritas yang telah lama berkuasa.
Namun, di balik kemajuan tersebut, literasi juga telah lama dimanfaatkan sebagai alat kontrol. Kekuatan yang menyebar melalui buku dan tulisan tidak hanya membebaskan, tetapi juga dapat dibengkokkan untuk menegakkan dominasi, seperti yang terjadi di Eropa ketika gereja dan negara menggunakan literasi untuk mempertahankan hierarki sosial.
Di sinilah letak paradoks literasi—sebuah kekuatan yang pada satu sisi dapat memicu revolusi pemikiran, namun di sisi lain, rentan untuk diselewengkan demi kepentingan kekuasaan.
Literasi di Era Penjajahan: Kendali dan Kebangkitan
Di Nusantara, masa penjajahan membawa dua realitas yang saling bertolak belakang. Pemerintah kolonial Belanda dengan sengaja menggunakan pendidikan dan penyebaran literasi untuk menanamkan nilai-nilai yang memperkuat sistem kekuasaan mereka.
Kurikulum yang disusun, buku-buku yang diedarkan, hingga metode pengajaran, semua diarahkan untuk mempertahankan struktur hierarki yang menguntungkan penjajah. Pendidikan pun menjadi alat untuk mengekang kebebasan berpikir rakyat.
Namun, dalam keterbatasan akses tersebut, muncul pula semangat perlawanan intelektual. Tokoh-tokoh pribumi mulai menyadari bahwa literasi bisa menjadi senjata untuk melawan penindasan. Dengan modal keterbatasan, mereka mulai menulis dan menyebarkan ide-ide yang kemudian menginspirasi pergerakan kemerdekaan.
Ki Hajar Dewantara, dengan Taman Siswa-nya, dan Raden Ajeng Kartini melalui surat-surat serta tulisan yang menyuarakan kesetaraan dan keadilan, adalah contoh nyata bagaimana literasi berkembang menjadi simbol perlawanan terhadap kolonialisme.
Pemerintah dan Kebijakan: Antara Idealisme dan Realitas Sejarah
Setelah meraih kemerdekaan, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mengaktualisasikan semangat perjuangan melalui kebijakan publik. Literasi dan pengembangan perpustakaan diidealkan sebagai fondasi peradaban bangsa, namun realitas implementasinya sering terhambat oleh birokrasi, keterbatasan sumber daya, dan dinamika politik yang kompleks.
Kebijakan yang diambil, meskipun idealis di atas kertas, sering kali tidak mampu menyentuh akar masalah ketidaksetaraan dalam akses pengetahuan dan informasi.
Pemerintah pun terkadang terjebak antara keinginan untuk menunjukkan kemajuan dan kenyataan bahwa pembenahan sistem pendidikan dan literasi membutuhkan usaha kolaboratif dari berbagai elemen masyarakat.
Sejarah mengajarkan bahwa perjuangan untuk mencapai literasi sejati tidak cukup hanya dengan mengeluarkan anggaran, melainkan juga dengan menciptakan ekosistem yang mendorong pemikiran kritis dan keterlibatan aktif dari seluruh lapisan masyarakat.
Dari Perjuangan ke Era Digital: Bahaya Komersialisasi Identitas
Memasuki era digital, transformasi literasi terlihat jelas dengan kemudahan akses informasi dan pertumbuhan platform media sosial. Di satu sisi, teknologi memungkinkan lebih banyak orang untuk belajar dan berbagi pengetahuan.
Namun, di sisi lain, muncul ancaman baru berupa komersialisasi identitas. Buku dan literasi yang pernah menjadi lambang perjuangan kini sering dijadikan komoditas untuk meraih popularitas semu.
Dalam dunia maya, popularitas dan “like” telah menjadi mata uang baru yang mengubah cara pandang terhadap nilai keilmuan. Banyak pihak menggunakan kisah perjuangan dan penderitaan sebagai alat pemasaran, tanpa benar-benar mengemban esensi perlawanan dan pembebasan melalui pengetahuan. Hal ini tidak hanya mereduksi makna perjuangan, tetapi juga mengikis integritas gerakan literasi yang telah ditempa oleh sejarah panjang perlawanan terhadap penindasan.
Membongkar Hipokrisi dalam Gerakan Literasi: Kepalsuan di Balik Popularitas Semu
Kini, sudah saatnya kita menampar realitas pahit yang menggerogoti gerakan literasi. Di tengah hiruk-pikuk digital, terdapat segelintir individu yang mengaku telah “berdiri tegak” sebagai pahlawan literasi, namun pada kenyataannya mereka hanya sibuk menjual konten dan mengais simpati dengan cerita-cerita hidup susah yang dipoles sedemikian rupa.
Mereka kerap kali mendambakan kunjungan serta donasi berupa buku, alat tulis, bahkan uang, seolah-olah validasi eksternal itu yang akan mengukuhkan status idealismenya.
Sungguh memprihatinkan melihat bagaimana mereka lebih memilih untuk dipuja dalam forum-forum literasi—baik yang diadakan oleh pemerintah daerah, pusat, maupun komunitas—daripada membangun relasi yang saling mendukung.
Sosok-sosok ini, yang dengan lantang mengklaim memiliki gagasan revolusioner di media sosial, ternyata jauh dari kenyataan. Alih-alih berkolaborasi dan berinovasi, mereka lebih fokus mengumpulkan popularitas semu, seperti boneka yang hanya bergerak mengikuti irama trending topik tanpa pernah benar-benar menyentuh inti permasalahan.
Seperti yang pernah diungkapkan oleh Albert Camus, "Kejujuran dalam pikiran dan perbuatan adalah landasan dari setiap perubahan yang berarti." Jika perjuangan literasi selama ini adalah medan pertempuran untuk menanamkan keberanian dan integritas, maka fenomena popularitas semu ini adalah bayangan kelam yang harus segera diluruskan.
Gerakan literasi bukanlah panggung sandiwara untuk memamerkan penderitaan dan mendapatkan donasi, melainkan sebuah upaya kolektif untuk menumbuhkan kesadaran kritis dan memperjuangkan keadilan sosial melalui pengetahuan.
Refleksi Sejarah: Pelajaran untuk Masa Kini
Melihat kembali perjalanan literasi—dari era cetak pertama yang membebaskan, melalui masa penjajahan yang mengekang, hingga ke era digital yang penuh jebakan komersial—kita dihadapkan pada pelajaran penting.
Gerakan literasi yang autentik bukanlah tentang siapa yang paling banyak dipuji di media sosial atau siapa yang berhasil menarik simpati donatur.
Perjuangan sejati adalah tentang keberanian untuk menyampaikan kebenaran, keterbukaan dalam berbagi ilmu, dan komitmen untuk membangun masyarakat yang cerdas serta kritis.
Sejarah mengajarkan bahwa setiap keberhasilan dalam dunia literasi merupakan buah dari kerja keras, integritas, dan kolaborasi.
Maka, alih-alih terjebak dalam pencitraan semu yang mengedepankan ego dan popularitas, mari kita mengembalikan esensi perjuangan: pembebasan melalui pengetahuan, keberanian untuk berpikir kritis, dan keinginan untuk mengedepankan kebenaran tanpa pamrih.
FAQ Sejarah Literasi dan Relevansinya di Zaman Modern
1. Apa signifikansi penemuan mesin cetak oleh Gutenberg dalam sejarah literasi?
- Penemuan mesin cetak memungkinkan penyebaran buku secara massal, sehingga membuka akses pengetahuan bagi masyarakat luas dan memicu revolusi pemikiran yang mengubah struktur sosial dan politik Eropa.
2. Bagaimana literasi digunakan sebagai alat perlawanan selama masa penjajahan di Indonesia?
- Meskipun awalnya pendidikan dan literasi dimanfaatkan untuk mengokohkan kekuasaan penjajah, para tokoh pergerakan seperti Ki Hajar Dewantara dan Raden Ajeng Kartini menggunakan tulisan sebagai senjata untuk membangkitkan kesadaran nasional dan menantang penindasan.
3. Mengapa komersialisasi identitas di era digital berbahaya bagi gerakan literasi?
Ketika literasi dijadikan komoditas untuk meraih popularitas semu, esensi perjuangan—yakni pembebasan melalui pengetahuan dan kritik sosial—ternoda oleh pencitraan yang dangkal dan kepentingan pribadi, mengaburkan tujuan utama gerakan literasi.
4. Apa pelajaran utama yang dapat dipetik dari sejarah perjuangan literasi?
Sejarah mengajarkan bahwa keberhasilan literasi terletak pada keberanian untuk menyuarakan kebenaran, integritas dalam berbagi ilmu, dan kolaborasi yang tulus antar elemen masyarakat, bukan pada pencitraan dan popularitas semu.
Perjalanan literasi, dari zaman mesin cetak hingga era digital, merupakan cermin kompleksitas perjuangan manusia dalam meraih kebebasan berpikir dan akses pengetahuan. Kita diajak untuk tidak terjebak dalam pencitraan atau popularitas semu yang hanya menguntungkan ego pribadi. Gerakan literasi harus tetap berlandaskan pada kejujuran, keberanian, dan kolaborasi nyata—bukan sekadar pertunjukan di dunia maya.
Mari kita jadikan sejarah sebagai cermin untuk terus mengingat bahwa perjuangan literasi adalah upaya kolektif untuk membangun masyarakat yang kritis, adil, dan berpikiran terbuka.
Sudah saatnya kita menampar hipokrisi, menolak sandiwara popularitas, dan kembali fokus pada esensi sejati: pembebasan melalui pengetahuan dan keadilan sosial.
Posting Komentar untuk "Akar Sejarah Literasi di Dunia"