Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Buku, Literasi, dan Perpustakaan: Refleksi Pedih atas Kesombongan Intelektual yang Membuahkan Kebodohan Baru

 

Ilustrasi Kesombongan Penggerak Buku, Literasi Gambar : gorbysaputra.com
Ilustrasi Kesombongan Penggerak Buku, Literasi
Gambar : gorbysaputra.com

Mitos Besar di Dunia Perbukuan

Ada kesalahan fatal yang terus direproduksi dalam dunia buku, literasi, dan perpustakaan: seolah-olah memiliki buku berarti memahami isinya, membangun komunitas berarti telah mencerdaskan masyarakat, mencetak buku berarti telah berkontribusi bagi dunia intelektual. Ini adalah kebohongan besar yang harus segera disadari.

Banyak yang mengumpulkan buku, membeli ratusan eksemplar, memenuhi dinding dengan rak yang tampak megah, tetapi nihil dalam membaca. Mereka membangun komunitas buku, menggelar diskusi, menjadi selebritas literasi, tetapi sekadar mengulang-ulang jargon tanpa pemahaman yang dalam. Ada pula yang mencetak buku tetapi tak pernah membaca buku lain, seolah telah cukup hanya dengan menulis, merasa menjadi pahlawan tanpa peduli apakah yang ditulisnya bernilai atau tidak.

Semua ini adalah paradoks yang menyedihkan. Buku seharusnya mengajarkan rendah hati, bukan melahirkan kesombongan intelektual. Literasi bukan sekadar aksesoris, tetapi praktik yang harus dijalani dengan penuh kesadaran.

Sejarah dan Budaya Membaca yang Hilang

"Membaca adalah berpikir dengan kepala orang lain." – Arthur Schopenhauer

Sejarah mencatat, peradaban besar lahir dari kebiasaan membaca dan menulis yang serius. Yunani kuno memiliki perpustakaan besar di Alexandria, yang menjadi pusat intelektual dunia. Islam mencapai puncak kejayaannya ketika para sarjana seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Al-Kindi tidak hanya membaca, tetapi juga menulis dan merefleksikan pemikiran mereka.

Namun, di era modern, kita lebih banyak menjadikan buku sebagai pajangan, bukan sumber kebijaksanaan. Budaya membaca perlahan menghilang, digantikan dengan budaya ‘memiliki’ buku sebagai simbol status intelektual belaka.

Literasi yang Diperdagangkan dan Eksploitasi Rasa Iba

"Jangan hanya membaca buku yang membuatmu nyaman. Baca juga yang menantang pikiranmu." – Haruki Murakami

Ada fenomena baru di dunia literasi: menjual rasa iba. Gerakan literasi yang tampak altruistik, tetapi pada dasarnya hanya mencari pengakuan dan keuntungan. Seolah membangun komunitas baca, tetapi tujuannya bukan untuk membangun kesadaran literasi, melainkan sekadar ajang eksistensi. Literasi bukan lagi soal menajamkan pikiran, tetapi menjadi industri pencitraan.

Komunitas-komunitas ini sering kali hanya menjadi mesin promosi personal atau alat untuk mendulang dana. Mereka berbicara tentang pentingnya membaca, tetapi tidak pernah membaca serius. Mereka membangun perpustakaan, tetapi isinya hanya tumpukan buku tanpa jiwa.

Membaca dan Menulis: Dua Sisi Mata Uang yang Tak Terpisahkan

"Menulis tanpa membaca adalah kesombongan, membaca tanpa menulis adalah ketidaksempurnaan." – Umberto Eco

Menulis tanpa membaca adalah bencana. Banyak orang merasa cukup hanya dengan menulis, tanpa mau memperkaya dirinya dengan membaca. Akibatnya, lahirlah tulisan-tulisan dangkal yang tidak membawa pencerahan, sekadar pengulangan ide-ide lama tanpa pemikiran yang lebih dalam.

Membaca dan menulis adalah proses yang saling melengkapi. Menulis tanpa membaca melahirkan tulisan tanpa substansi, sedangkan membaca tanpa menulis membuat seseorang kehilangan kesempatan untuk berpikir secara kritis dan menyusun argumen.

Buku, Literasi, Perpustakaan—Kebodohan Baru atau Kesadaran Baru?

Literasi bukan sekadar aktivitas. Ia adalah jalan hidup. Buku bukan sekadar koleksi, tetapi jendela dunia. Perpustakaan bukan sekadar gudang, tetapi ruang refleksi.

Jika hanya mengumpulkan buku tanpa membacanya, jika hanya membangun komunitas tanpa memahami isinya, jika hanya mencetak buku tanpa menajamkan pemikiran, maka yang lahir bukanlah kebangkitan intelektual, melainkan kebodohan baru yang dibalut dalam kesombongan.

FAQ: 

1. Apa salahnya mengoleksi buku meski tidak sempat membaca semuanya?

  • Buku yang tidak dibaca hanyalah tumpukan kertas. Koleksi buku tanpa pembacaan adalah fetishisme intelektual—sekadar simbol tanpa substansi.

2. Saya sudah membangun komunitas baca, mengapa masih dikritik?

  • Membangun komunitas baca bukan tujuan akhir. Apa yang dibaca? Apa yang dibahas? Jika hanya mengulang-ulang slogan literasi tanpa pemahaman, itu hanyalah ritual kosong.

3. Saya sudah menulis buku, apakah saya harus terus membaca?

  • Menulis tanpa membaca adalah kesombongan. Seorang penulis sejati adalah pembaca yang tak pernah puas. Jika berhenti membaca, maka tulisanmu akan mati.

4. Saya merasa cukup dengan perpustakaan pribadi saya. Apakah itu salah?

  • Perpustakaan pribadi bukan sekadar tempat menyimpan buku, tetapi ruang untuk merenung dan bertumbuh. Jika hanya untuk pajangan, itu hanyalah monumen kesombongan.

5. Apakah gerakan literasi bisa menjadi bisnis?

  • Bisa, tetapi jangan sampai literasi hanya menjadi komoditas. Jika hanya menjual simpati tanpa substansi, itu bukan literasi, melainkan eksploitasi.

Sudah waktunya berhenti menjadi budak buku tanpa jiwa. Sudah saatnya kita membaca, menulis, dan berpikir dengan kesadaran penuh. Literasi bukan hanya tentang mengoleksi, membangun, atau mencetak. Ia adalah perjalanan intelektual yang harus dijalani dengan rendah hati, penuh pemahaman, dan kesungguhan.

Buku harus dibaca. Literasi harus dipraktikkan. Perpustakaan harus menjadi rumah bagi refleksi. Jika tidak, kita hanya sedang membangun kebodohan baru dengan cara yang lebih elegan. Apakah kita ingin menjadi bagian dari kebangkitan literasi, atau hanya pion dalam perdagangannya?

Posting Komentar untuk "Buku, Literasi, dan Perpustakaan: Refleksi Pedih atas Kesombongan Intelektual yang Membuahkan Kebodohan Baru"