"Buku yang Terlupakan: Ketika Literasi Hanya Jadi Topeng, Bukan Jiwa"
![]() |
Ilustrasi Panggung Pencitraan Literasi Gambar : gorbysaputra.com |
"Membangun Menara Babel, tapi Lupa Bahasanya"
Sejarah mengajarkan kita bahwa peradaban besar lahir dari kegilaan membaca, bukan sekadar mengumpulkan. Perpustakaan Alexandria, misalnya, bukan hanya gudang papirus—ia adalah jantung ilmu pengetahuan di mana para filsuf seperti Euclid dan Archimedes meneliti, berdebat, dan mencipta. Tapi lihatlah ironi modern: banyak “pembangun perpustakaan” hari ini yang seperti Raja Nabukadnezar, membangun menara buku tinggi-tinggi, tapi tak paham satu huruf pun di dalamnya. Mereka lupa, buku tanpa pembaca adalah seperti kuburan yang megah—sunyi dan mati.
“Membaca adalah percakapan dengan orang-orang terhebat di abad-abad lalu.” – René Descartes
Fakta sejarah yang memilukan: Pada abad pertengahan, para biarawan di scriptorium menghabiskan hidupnya menyalin naskah tanpa pernah memahami isinya. Hasilnya? Kesalahan terjemahan yang mengubah makna kitab suci, memicu konflik berabad-abad. Ini adalah peringatan: tanpa membaca, kita hanya tukang fotokopi yang buta.
"Literasi sebagai Komoditi: Menjual Air di Tengah Banjir"
Di era kapitalisme digital, literasi sering dikemas sebagai produk romantis. Lihatlah gerakan “book haul” di media sosial: pamer tumpukan buku dengan sampul estetik, tapi isinya tak pernah dibuka. Fenomena ini bukan baru. Pada abad 18, penerbit Eropa mencetak ribuan buku murah (chapbooks) berisi cerita sensasional untuk dijual ke kelas pekerja—bukan untuk mencerdaskan, tapi meraup keuntungan.
“Buku adalah cermin: kau hanya melihat di dalamnya apa yang sudah ada di dirimu.” – Carlos Ruiz Zafón
Ironinya, banyak komunitas “peduli literasi” hari ini terjebak dalam pola serupa: menggalang donasi buku untuk desa terpencil, tapi tak memastikan apakah ada yang membacanya. Mereka menjual rasa iba sebagai komoditi, sementara buku-buku itu berdebu di gudang, menjadi simbol kepedulian yang kosong.
"Vanitas Intelektual: Sombong di Balik Sampul Buku"
Psikolog Jerman, Erich Fromm, dalam The Art of Loving, menulis bahwa manusia modern sering mengganti memiliki dengan menjadi. Di dunia literasi, ini terlihat jelas: mengoleksi buku tanpa membaca adalah bentuk vanitas intelektual—sombong akan kepemilikan, bukan pengetahuan. Filsuf Arthur Schopenhauer menyindir, “Orang yang membaca terlalu banyak akan kehilangan kemampuan untuk berpikir.” Tapi bagaimana jika mereka tak membaca sama sekali?
Lihatlah kasus penulis abad 19, Thomas Chatterton, yang bunuh diri karena tekanan menjadi “pahlawan sastra” palsu. Atau di era digital, para konten kreator yang mengutip Nietzsche dari situs kutipan acak, tanpa pernah membuka Thus Spoke Zarathustra. Mereka menjual ilusi kedalaman, seperti pedagang yang menjual kotak kemewahan—kosong isinya.
"Membaca sebagai Pemberontakan: Menghidupkan Kembali Jiwa Buku"
Pramoedya Ananta Toer, dalam Rumah Kaca, menulis: “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.” Tapi menulis tanpa membaca? Itu seperti berteriak di padang gurun—tak ada gema, tak ada makna.
Gerakan literasi sejati dimulai dari membuka halaman pertama. Ingatkah Anda dengan samizdat di Uni Soviet? Para dissident menyalin buku-buku terlarang secara manual dan menyebarkannya diam-diam. Mereka mempertaruhkan nyawa bukan untuk koleksi, tapi untuk ide yang harus dibaca. Di sini, membaca adalah perlawanan.
“Buku adalah senjata. Perpustakaan adalah arena perlawanan.” – Ray Bradbury
Bayangkan seorang tukang kebun yang mengoleksi biji-biji langka, tapi tak pernah menanamnya. Ia bangga akan koleksinya, tapi tanahnya tetap gersang. Anda adalah tukang kebun itu. Buku-buku yang tak dibaca adalah biji yang mati. Literasi tanpa membaca adalah kebun yang gagal berbunga.
FAQ: Pertanyaan yang Menggugat
“Saya sudah menyumbang 1.000 buku ke desa. Apa itu tidak cukup?”
- Tanyakan pada diri Anda: Berapa banyak anak desa yang akhirnya mencintai membaca karena buku itu? Jangan jadi patung filantropi yang dingin.
“Mengapa saya harus membaca, jika saya sudah sibuk mengurus perpustakaan?”
- Perpustakaan tanpa pembaca adalah seperti teater tanpa penonton—ia hanya panggung hantu.
“Bukankah membangun komunitas sudah berkontribusi?”
- Komunitas tanpa diskusi buku adalah klub sosial—bukan gerakan literasi.
Sebuah Surat Cinta untuk Buku yang Terluka
Buku bukan benda mati. Mereka berdarah, bernafas, dan berteriak setiap kali Anda mengabaikannya. Di era digital yang penuh distraksi, membaca adalah tindakan revolusioner. Seperti kata Virginia Woolf, “Buku adalah cermin jiwa; jika monyet yang melihatnya, jangan harap refleksinya adalah rasul.”
Berhentilah menjadi kurator kuburan buku. Jadilah pembaca—manusia yang menghidupkan kata, mengubah halaman menjadi napas, dan literasi menjadi jiwa.
“Kau bilang mencintai laut, tapi tak pernah menyelam. Kau bilang mencintai buku, tapi tak pernah membacanya. Lalu apa bedanya kau dengan patung?”
—Sebuah refleksi dari zaman yang lupa diri.
Posting Komentar untuk ""Buku yang Terlupakan: Ketika Literasi Hanya Jadi Topeng, Bukan Jiwa""