Di Balik Hijau-Hitam: 78 Tahun Hipokrisi, Korupsi, dan Pengkhianatan atas Nama Perjuangan
78 Tahun HMI Untuk Kedaulatan Bangsa Gambar : gorbysaputra.com |
Dari Lorong Waktu yang Berbisik
Di antara dinding retak yang dihiasi slogan Yakusa (Yakin Usaha Sampai), labirin bernama HMI menyimpan ribuan topeng. Topeng-topeng itu—berwajah intelektual, politikus, dan aktivis—tergantung di lorong-lorong yang dibangun dari batu-batu kata suci. Tapi di balik topeng, ada suara yang tercekik: "Kami datang untuk belajar membela rakyat, tapi mengapa ajaranmu berbau karpet gedung DPR?"
Labirin ini, yang dulu dinyalakan Lafran Pane pada 1947, kini dipenuhi cermin retak. Di dalamnya, para penari bergerak dalam tarian absurd: tangan terkembang memegang Al-Qur’an, tapi kaki menginjak-injak petisi buruh yang tercecer.
Teater Kekuasaan di Menara Gading
Kampus-kampus menjadi panggung sandiwara di mana kuliah hanyalah prolog. Aktor utamanya adalah para kader HMI yang lebih bangga memakai jaket hijau-hitam ketimbang toga wisuda. Di sini, SK (Surat Keputusan) lebih berharga daripada skripsi.
Ritual Copy-Paste:
Makalah-makalah mereka adalah kolase kata-kata Foucault dan Marx yang dipotong dari internet, dijahit dengan benang plagiarisme. "Mengapa repot-repot bertanya di kelas, jika pertanyaanmu bisa dijual jadi jargon kampanye?" — sindir seorang dosen yang suaranya tenggelam dalam riuh rapat komisariat.
Kursi Kekuasaan:
BEM, Senat, dan Dewan Mahasiswa direbut dengan strategi Machiavellian, sambil berteriak: "Kader terbaik untuk kampus terbaik!" Padahal, yang terbaik itu hanya gelar SC (Senior Course) yang kosong makna.
"Mereka menyembah simbol sabit, tapi lupa sabit itu dulu untuk memotong belenggu kolonial, bukan untuk memangkas suara kritis!"
Kampung Halaman, Sumur yang Mengering
Di kampung, sumur-sumur menganggur. Tangan-tangan yang dulu berjanji membangun irigasi, sibuk mengurusi rapat pleno di kota.
Lingkungan? Itu Urusan Karang Taruna:
"Kami sedang menyelamatkan bangsa, bukan sampah di kali!" — beralas mereka sambil memamerkan pin HMI di jaket almamater. Tapi di Instagram, mereka posting foto bakti sosial—captionnya: "Peduli lingkungan, demi masa depan!"
Pemilu Kampus vs Realita Kampung:
Saat pemilu tiba, mereka datang berbondong: bagi-bagi sembako dan janji "akan membangun jalan!" Tapi jalan itu hanya ada di poster, sementara jalan kampung tetap berlubang, diisi air mata petani yang terinjak kebijakan alumni.
"Mereka menyembah bumi di slogan, tapi mengubur tanggung jawab di bawah beton."
Liturgi Hijau-Hitam dan Mantra Yakusa
Di sekretariat HMI, ada altar tempat mereka menyembah Tuhan Bernama Sabit. Ritualnya adalah pengulangan mantra Yakusa:
- Yakin: Pada jabatan, bukan pada nilai.
- Usaha: Menjilat senior, bukan belajar.
- Sampai: Ke kursi kekuasaan, bukan ke kebenaran.
Di dinding, tergantung ayat QS. Al-Mujadalah: 11: "Allah akan meninggikan orang-orang yang berilmu." Tapi yang ditinggikan di sini adalah angka kepengurusan di CV, bukan ilmu yang membebaskan.
"Mereka hafal teori Marx, tapi lupa bahwa buruh yang mereka injak adalah proletar yang Marx bicarakan!"
Pabrik Gelar dan Master of Yakusa
Di ruang bawah tanah kampus, berdirilah pabrik gelar—asapnya mengepul dari mesin fotokopi yang mencetak skripsi aspal (asli tapi palsu).
Beasiswa sebagai Jembatan Tahta:
- "Daftar HMI, dapat KIP!" Tapi KIP itu hanya tiket masuk ke pesta kekuasaan, bukan tiket untuk belajar.
Jenjang Latihan Kader: Video Game Kosong:
- LK 1, LK 2 , LK 3, SC —semua hanya untuk gelar "Master of Yakusa" yang tak berguna di luar tembok sekretariat.
"Agama adalah candu, tapi gelar aspal ini adalah mayat hidup!"
Tarian Para Penari yang Kehilangan Irama
Di panggung bernama demokrasi, mereka menari:
- Tari Saman Kekuasaan: Tangan terkembang, tapi jari-jarinya menggenggam suara rakyat untuk ditukar kursi.
- Tari Piring Korupsi: Piring-piring emas berisi dana bansos dijatuhkan, lalu diinjak-injak sepatu kulit import.
- Tari Api Palsu: Api revolusi dijual sebagai lilin receh di tenda-tenda kampanye.
"Ini agama baru: ritus tanpa makna, solidaritas yang terjual ke oligarki."
Apakah Masih Ada Air di Sumur Zamzam Ini?
Di ujung labirin, ada sumur tua. Dulunya, airnya jernih—untuk memandikan janji. Kini, sumur itu kering, hanya menyisakan gentong-gentong yang diukir nama jabatan.
- Suara Buruh: "Kami dipecat karena kebijakan alumni-mu!"
- Suara Hutan: "Kau bicara tauhid, tapi izin tambang alumni-mu meracuni sungai kami!"
- Suara Generasi Muda: "Kau ajari kami kritis, tapi ketika kami kritik HMI, kau sebut kami durhaka!"
"Hukum mati ketika elite hanya melihatnya sebagai pisau untuk memotong kue kekuasaan."
Dan dari langit, ayat itu bergema: QS. Al-Ashr: 1-3:
"Demi masa. Sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali yang beriman, berbuat kebajikan, dan saling menasihati dalam kebenaran..."
Sebuah Pertanyaan untuk 78 Tahun
Apakah labirin ini masih bisa disebut "perjuangan"? Atau hanya kuburan megah bagi nilai-nilai yang dikhianati?
"Kritik adalah cinta yang tak selesai." Maka, kepada kader yang tersisa: Jadilah angin yang menerbangkan debu labirin ini. Nyalakan api itu lagi—bukan di ruang AC berlambang partai, tapi di hati rakyat yang terasing.
"Kami tidak butuh gelarmu, kami butuh keadilan!"
– Suara dari jalanan yang tak pernah diundang ke seminar HMI.
Posting Komentar untuk "Di Balik Hijau-Hitam: 78 Tahun Hipokrisi, Korupsi, dan Pengkhianatan atas Nama Perjuangan"