Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menggugat Dalih Agama dalam Pengkaderan Politik Mahasiswa

 

Ilustrasi Menggugat Dalih Agama dalam Pengkaderan Politik Mahasiswa Gambar : gorbysaputra.com
Ilustrasi Menggugat Dalih Agama dalam Pengkaderan Politik Mahasiswa
Gambar : gorbysaputra.com

Menggugat Dalih Agama dalam Pengkaderan Politik Mahasiswa

Dalam era modern yang ditandai oleh pergolakan pemikiran dan dinamika sosial-politik, retorika keagamaan dalam ranah aktivisme kampus kerap digunakan sebagai alat untuk menyamarkan ambisi politik praktis dan kepentingan material. 

Analisis kritis terhadap fenomena ini tidak hanya penting secara normatif, tetapi juga perlu diperkaya dengan landasan teoretis dari filsafat, sosiologi, psikologi, antropologi, hukum, sejarah, kriminologi, sastra, dan tata negara. Pemikiran para filsuf dan cendekiawan dari Barat, Timur, serta perspektif Islam memberikan kerangka analisis yang mendalam untuk mengungkap paradoks antara idealisme dan realitas di lapangan.

Mengurai Retorika Agama dalam Lanskap Aktivisme Kampus

Aktivisme kampus yang mengusung narasi religius sering kali mengedepankan simbolisme masa lalu dan retorika heroik yang mengaburkan urgensi tindakan nyata.

Sebagaimana Max Weber dalam The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1905) menjelaskan, kepercayaan agama dapat berfungsi sebagai alat legitimasi kekuasaan. Di sisi lain, Émile Durkheim dalam studi tentang ritus dan solidaritas sosial (1912) menyoroti bagaimana simbol dan ritual keagamaan menciptakan kohesi sosial, meskipun kadang disalahgunakan untuk kepentingan elit politik.

Landasan Filosofis dan Teori Kekuasaan

Pemikiran Michel Foucault dalam Discipline and Punish (1975) memberikan gambaran tentang bagaimana kekuasaan bekerja melalui mekanisme diskursus dan pengawasan. Dalam konteks pengkaderan, retorika keagamaan tidak hanya menciptakan identitas kolektif, tetapi juga berfungsi sebagai alat untuk mempertahankan dan mereproduksi struktur kekuasaan yang tidak demokratis.

Sementara itu, Jürgen Habermas melalui konsep tindakan komunikatifnya mengajak kita untuk melihat bahwa dialog rasional seharusnya menjadi landasan dalam membangun masyarakat yang adil—bukan sekadar retorika yang berakhir pada praktik politik praktis.

Romantisme Masa Lalu dan Eksploitasi Simbol

Penggunaan simbol, warna, dan mitos kejayaan masa lalu sebagai alat mobilisasi bukanlah hal baru.

Dalam perspektif antropologis, Clifford Geertz (1973) mengemukakan bahwa budaya merupakan sistem makna yang terus berubah, sehingga pemaknaan ulang terhadap simbol-simbol sejarah harus dilakukan secara kritis agar tidak menjadi alat pengekangan.

Dari sisi sastra, Mikhail Bakhtin mengajarkan bahwa narasi heroik selalu mengandung dialog antara kekuatan dominan dan oposisi, sehingga idealisasi masa lalu dapat mengaburkan kenyataan sosial yang lebih kompleks dan dinamis.

Dimensi Psikologis: Simbol dan Arketipe

Dalam ranah psikologi, Carl Jung menyatakan bahwa simbol-simbol memiliki kekuatan arketipal yang mendalam. Namun, ketika simbol tersebut digunakan untuk mempertahankan status quo dan mengaburkan kebutuhan perubahan struktural, simbol itu berubah fungsi menjadi alat manipulasi psikologis yang mengakar dalam kolektif masyarakat.

Sosialisme Religius: Antara Visi Keadilan dan Realitas Politik Kapitalis

Integrasi antara nilai-nilai keagamaan dengan prinsip sosialisme seharusnya membuka jalan bagi keadilan sosial. Namun, realitas menunjukkan adanya ironi mendalam.

Pemikiran Karl Marx mengkritik penggunaan ideologi sebagai alat penindasan, sementara Ibn Khaldun dalam Muqaddimah mengamati siklus kebangkitan dan kejatuhan kekuasaan yang sering kali dipengaruhi oleh penggunaan simbol agama secara instrumental.

Dalam perspektif hukum dan kriminologi, teori-teori mengenai penyalahgunaan kekuasaan—seperti yang diuraikan oleh Cesare Beccaria dalam reformasi sistem peradilan—menunjukkan bagaimana idealisme yang disalahgunakan dapat mengakibatkan korupsi dan penindasan terhadap masyarakat kecil.

Paradoks Kepemimpinan dalam Balutan Jubah Religius

Pemimpin yang mengenakan atribut religius sering kali diidealkan sebagai sosok suci dan visioner. Namun, melalui lensa kritik sastra dan historis, seperti yang diungkapkan oleh Edward Said mengenai representasi dan narasi, citra tersebut kerap menyembunyikan ambisi politik kapitalis yang merugikan masyarakat.

Lebih jauh lagi, pemikir Islam seperti Al-Farabi dan Al-Ghazali menekankan pentingnya keadilan serta keseimbangan antara dunia spiritual dan material—nilai yang sering terpinggirkan oleh aktivis yang hanya mengandalkan simbolisme tanpa aksi nyata.

Aksi Nyata di Desa: Tantangan untuk Mewujudkan Keadilan Sosial

Transformasi sosial sejati harus terwujud melalui aksi nyata, terutama di tingkat desa dan komunitas.

Ibn Khaldun menekankan bahwa kekuatan suatu peradaban terletak pada kemampuannya mengintegrasikan teori dengan praktik—suatu prinsip yang relevan dalam menanggapi ketidakselarasan antara retorika kampus dan implementasi kebijakan di lapangan.

Dalam perspektif pembangunan hukum dan ekonomi, partisipasi aktif masyarakat dan pemberdayaan melalui pendidikan, kesehatan, serta ekonomi adalah langkah strategis untuk menciptakan masyarakat yang inklusif dan berkeadilan.

Menerjemahkan Ideologi Menjadi Praktek Nyata

Sosialisme religius yang ideal seharusnya menyatu dengan aksi konkret di masyarakat. Seperti yang diuraikan oleh Amartya Sen mengenai pembangunan sebagai perluasan kebebasan, perubahan struktural harus mengutamakan partisipasi dan akuntabilitas dalam setiap kebijakan publik.

Pendekatan interdisipliner—menggabungkan teori dari sosiologi, antropologi, psikologi, dan hukum—menjadi kunci untuk merumuskan strategi yang mampu mengubah narasi retoris menjadi tindakan nyata yang berdampak pada kesejahteraan masyarakat desa.

Kritik Terhadap Organisasi Mahasiswa Berbasis Agama

Organisasi mahasiswa yang mengusung basis keagamaan sering kali terjebak dalam pola pengkaderan yang berorientasi pada simbolisme daripada aksi nyata.

Dalam kajian kriminologi dan hukum, penyalahgunaan ideologi sebagai alat perekrutan sering disamakan dengan praktik-praktik korupsi sistematis, di mana idealisme digunakan untuk menutupi kepentingan politik praktis yang semu.

Melalui lensa sosiologi, Pierre Bourdieu menjelaskan konsep modal simbolik yang kerap dimanfaatkan untuk mempertahankan kekuasaan elit, sehingga menuntut adanya reformasi internal yang menempatkan keadilan dan transparansi sebagai prinsip utama.

Membangun Ulang Kesadaran Politik

Pembaharuan dalam gerakan mahasiswa harus diawali dengan pembongkaran retorika yang telah mengakar dan digantikan dengan dialog rasional serta praktik konkret.

Pemikiran para cendekiawan seperti Hannah Arendt menekankan pentingnya partisipasi aktif dalam ruang publik sebagai landasan demokrasi yang sehat. Generasi muda hendaknya menginternalisasi nilai keadilan sosial melalui aksi nyata yang menembus batas retorika romantis dan simbolik.

Apa, Siapa, Kenapa, Bagaimana, dan Untuk Apa

Untuk memahami munculnya ekosistem aktivis berkedok religius secara mendalam, kita perlu menjawab beberapa pertanyaan kunci:

Apa?

Fenomena:

Aktivis berkedok religius adalah individu atau kelompok yang menggunakan narasi keagamaan—dilengkapi dengan simbolisme sejarah dan retorika heroik—untuk mengukuhkan posisi dan melegitimasi proses pengkaderan dalam organisasi.

Pembenaran Logika:

Retorika ini menyamar sebagai perjuangan berdasarkan nilai suci dan kitab agama, namun di baliknya tersimpan ambisi material dan politik praktis.

Siapa?

Aktor Utama:

  • Calon Anggota: Mahasiswa yang menghadapi tantangan ekonomi, seperti dalih "hidup susah" atau "bayar kuliah susah," dan mencari jaringan yang menjanjikan karier mapan di pemerintahan atau dunia politik.
  • Senior dan Mentor: Tokoh-tokoh senior yang mengendalikan proses pengkaderan melalui materi ideopolstratak, manajemen aksi, advokasi, serta modul “sekolah hukum” dan “sekolah kepemimpinan,” yang pada akhirnya mengarahkan agenda politik praktis mereka.
  • Struktur Organisasi: Sistem yang hierarkis dan ketat, yang memanfaatkan retorika religius untuk mempertahankan kekuasaan dan menekan kritik.

Kenapa?

Motivasi dan Alasan:

  • Kebutuhan Ekonomi: Banyak mahasiswa tergiur karena kondisi ekonomi sulit, sehingga dalih "hidup susah" dan "bayar kuliah susah" menjadi alasan utama untuk bergabung.
  • Ambisi Karier: Janji-janji untuk mendapatkan posisi strategis—seperti bekerja di pemerintahan atau menjabat sebagai pejabat—menjadi daya tarik tersendiri.
  • Legitimasi Ideologis: Retorika dan penggunaan kitab suci memberikan pembenaran moral atas aksi mereka, meskipun pada praktiknya lebih mengutamakan keuntungan politik dan material.

Bagaimana?

Mekanisme dan Proses:

  • Struktur Hierarkis: Proses pengkaderan dilakukan melalui pelatihan intensif yang mengajarkan materi ideopolstratak, manajemen aksi, advokasi, dan modul “sekolah hukum/kepemimpinan.”
  • Pengendalian Narasi dan Simbol: Melalui disiplin internal, ritual, dan simbol-simbol keagamaan, setiap anggota diarahkan untuk menginternalisasi nilai-nilai yang telah ditetapkan oleh senior.
  • Penafsiran Nilai Agama: Senior dan mentor sering kali menafsirkan ajaran agama sesuai dengan agenda politik praktis mereka, sehingga mengubah tujuan idealisme menjadi instrumen kontrol dan perekrutan.

Untuk Apa?

Tujuan yang Diklaim dan Realitas Akhir:

  • Tujuan Resmi: Organisasi mengklaim bahwa melalui pengkaderan, akan dilahirkan pemimpin yang berintegritas untuk mewujudkan keadilan sosial serta pendidikan kepemimpinan yang unggul.
  • Realitas: Di balik retorika idealis tersebut, praktik pengkaderan sering berujung pada penyalahgunaan kekuasaan, sistem feodal modern, dan korupsi, di mana kepentingan elit mendominasi dan mengaburkan nilai-nilai keadilan.

Refleksi dan Renungan Menuju Transformasi Sosial yang Otentik

  • Menggugat dalih keagamaan dalam pengkaderan politik bukan sekadar kritik normatif, melainkan merupakan seruan untuk transformasi. Berdasarkan prinsip-prinsip etika dan keadilan yang diungkapkan oleh pemikir seperti Immanuel Kant dan Ibn Taymiyyah, perubahan sejati harus mencerminkan konsistensi antara nilai-nilai spiritual dan aksi sosial. Hanya dengan mengintegrasikan teori dan praktik—dengan dukungan dari berbagai disiplin ilmu—kita dapat membangun masyarakat yang benar-benar berkeadilan dan demokratis.

FAQ Seputar Pengkaderan Politik dan Aktivisme Kampus

Apa yang dimaksud dengan pengkaderan politik dalam konteks organisasi mahasiswa berbasis agama?

  • Pengkaderan politik merupakan proses pembentukan kader melalui narasi ideologis yang disamarkan dalam retorika keagamaan. Pendekatan ini mengadopsi unsur simbolisme (Geertz, 1973; Jung, 1964) untuk menciptakan identitas kolektif yang pada kenyataannya sering menguntungkan elit politik.

Mengapa retorika romantisme sejarah menjadi problematik dalam gerakan aktivis kampus?

  • Retorika romantisme sejarah cenderung membesar-besarkan masa lalu sebagai simbol kejayaan tanpa menyentuh permasalahan struktural saat ini. Seperti yang diungkapkan oleh Bakhtin (1981), narasi heroik harus ditinjau kembali agar tidak mengaburkan kebutuhan nyata untuk perubahan sosial yang inklusif.

Bagaimana cara mengatasi kesenjangan antara narasi ideologis dan implementasi kebijakan di lapangan?

  • Keselarasan antara teori dan praktik memerlukan reformasi internal dan kolaborasi dengan berbagai elemen masyarakat. Pendekatan interdisipliner—mengintegrasikan perspektif hukum (Beccaria, 1764), sosiologi (Durkheim, 1912), dan ekonomi (Sen, 1999)—merupakan kunci untuk memastikan setiap kebijakan dapat mengubah kondisi nyata.

Apa peran sosialisme religius dalam dinamika politik kampus saat ini?

  • Sosialisme religius seharusnya menjembatani nilai keagamaan dengan keadilan sosial. Namun, jika disalahgunakan, hal tersebut justru menghasilkan kepemimpinan yang condong ke politik praktis dan kapitalis, sebagaimana kritik Marx (1867) terhadap ideologi yang menyamarkan ketidakadilan, serta perspektif Ibn Khaldun mengenai siklus kekuasaan.

Mengapa penting untuk menerapkan aksi nyata di desa dalam gerakan politik mahasiswa?

  • Aksi nyata di desa merupakan indikator transformasi sosial yang otentik. Seperti yang ditekankan oleh Ibn Khaldun dan Sen, keberhasilan suatu pergerakan diukur dari kemampuannya untuk menghubungkan teori dengan realitas dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat di tingkat akar rumput.

Dari telaah interdisipliner ini, kita dapat memahami bahwa di balik retorika keagamaan yang megah terdapat mekanisme logika pembenaran yang kompleks—yang meliputi aspek apa, siapa, kenapa, bagaimana, dan untuk apa.

Fenomena pengkaderan politik dalam organisasi mahasiswa berbasis agama, meskipun disamarkan dengan simbolisme dan retorika idealis, pada praktiknya sering kali berujung pada penyalahgunaan kekuasaan, feodalisme modern, dan korupsi. Kesadaran kritis terhadap realitas inilah yang harus menjadi landasan untuk mendorong perubahan nyata, di mana nilai keadilan dan kemanusiaan tidak lagi sekadar retorika, melainkan terwujud dalam aksi sosial yang konkrit.

Referensi :

  • Bakhtin, M. (1981). The Dialogic Imagination.
  • Beccaria, C. (1764). On Crimes and Punishments.
  • Durkheim, E. (1912). The Elementary Forms of Religious Life.
  • Foucault, M. (1975). Discipline and Punish.
  • Geertz, C. (1973). The Interpretation of Cultures.
  • Habermas, J. (1981). The Theory of Communicative Action.
  • Ibn Khaldun. (1377). Muqaddimah.
  • Jung, C. G. (1964). Man and His Symbols.
  • Marx, K. (1867). Capital: Critique of Political Economy.
  • Sen, A. (1999). Development as Freedom.
  • Weber, M. (1905). The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism.
  • Arendt, H. (1958). The Human Condition.
  • Al-Ghazali. Ihya Ulum al-Din.

Posting Komentar untuk "Menggugat Dalih Agama dalam Pengkaderan Politik Mahasiswa"