Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Neoliberalisme Religius vs. Sosialisme Religius: Pertarungan untuk Keadilan Sosial

 

Neoliberalisme Religius vs Sosialisme Religius Gambar : gorbysaputra.com
Neoliberalisme Religius vs Sosialisme Religius
Gambar : gorbysaputra.com

Neoliberalisme religius memperbudak, sosialisme religius membebaskan. Perjuangan dimulai sekarang!

Agama di Era Digital – Kebebasan atau Alat Kontrol?

Bayangkan sebuah platform media sosial yang awalnya diciptakan untuk menghubungkan individu dan menyebarkan informasi secara demokratis. 

Namun, seiring berjalannya waktu, algoritma yang kompleks mulai mengarahkan konten agar sesuai dengan kepentingan segelintir penguasa data, mengabaikan pluralitas suara. 

Hal ini analog dengan fenomena di mana neoliberalisme religius mengubah agama—yang seharusnya menjadi sarana pembebasan dan pemberdayaan—menjadi alat kontrol dan legitimasi kekuasaan, yang meredam perlawanan dan menguatkan hierarki sosial yang ada. 

Di sinilah letak perbedaan mendasar: sementara neoliberalisme religius membungkam potensi kritis umat, sosialisme religius mengembalikan agama ke esensinya sebagai kendaraan emansipasi bagi rakyat tertindas.

1. Agama dan Krisis Multidimensional di Zaman Modern

Dalam konteks globalisasi dan digitalisasi, dunia menghadapi berbagai krisis yang saling terkait:

Ekonomi yang didominasi oleh oligarki dan institusi keuangan internasional,

  • Pendidikan yang kian dikomersialisasi,
  • Kesehatan yang diprivatisasi, serta
  • Pemerintahan yang seringkali mengabaikan kesejahteraan rakyat demi kepentingan pasar global.

Sejumlah pemikir, seperti Antonio Gramsci, menekankan bahwa hegemoni budaya – termasuk melalui agama – merupakan instrumen yang dapat digunakan oleh kelas penguasa untuk mempertahankan kekuasaan mereka (Gramsci, 1971). Dalam dinamika ini, neoliberalisme religius mengadopsi nilai-nilai keagamaan untuk menjustifikasi sistem kapitalis yang eksploitatif. 

Sebaliknya, sosialisme religius mengusulkan model alternatif di mana agama menjadi sarana untuk mengorganisir perlawanan terhadap ketidakadilan dan mendistribusikan kekayaan secara lebih merata. Pemikiran Ali Shariati dan Paulo Freire, misalnya, menggarisbawahi pentingnya kesadaran kritis dan pendidikan sebagai alat untuk membebaskan individu dari penindasan (Shariati, 1978; Freire, 1970).

2. Tata Pemerintahan: Menolak Oligarki yang Menggunakan Agama sebagai Legitimasi

Pemerintahan modern di banyak negara telah mengalami penurunan kualitas demokrasi, di mana kebijakan publik sering kali lebih mendukung kepentingan elite daripada kesejahteraan rakyat.

  • Studi Kasus: Di Indonesia, misalnya, kebijakan omnibus law yang kontroversial telah mengakibatkan pengabaian terhadap hak-hak buruh dan menurunnya standar perlindungan sosial.

Di negara-negara Timur Tengah, penggunaan retorika keagamaan oleh penguasa telah menguatkan sistem dinasti dan menekan oposisi politik, sehingga masyarakat kehilangan ruang untuk partisipasi demokratis yang autentik.

Menurut Ali Syariati, “Agama yang sejati adalah revolusi melawan tirani” (Humanisme dalam Islam, 1987), yang menyiratkan bahwa agama seharusnya memotivasi perlawanan terhadap penindasan, bukan menjadi alat legitimasi bagi mereka yang menindas. Oleh karena itu, sosialisme religius menuntut tata pemerintahan yang transparan, adil, dan berorientasi pada redistribusi kekayaan, sehingga kebijakan publik selalu diukur dari sejauh mana mereka menguntungkan rakyat banyak.

3. Ekonomi: Mengkritisi Neoliberalisme religius Predator melalui Lensa Sosialisme Religius

Neoliberalisme religius telah memodifikasi mekanisme keuangan konvensional dengan rebranding nilai-nilai syariah yang seolah menawarkan keadilan ekonomi. Namun, dalam praktiknya, banyak institusi keuangan syariah justru menerapkan mekanisme yang mirip dengan riba, dengan nama-nama seperti “murabahah” dan “ijarah.”

Studi Kasus:

  • Arab Saudi: Penelitian yang diterbitkan dalam Journal of Islamic Finance menunjukkan bahwa praktik “murabahah” di beberapa bank syariah masih menjerat nasabah dengan biaya tersembunyi, yang secara esensial merupakan bentuk riba yang disamarkan.
  • Indonesia: Laporan dari Indonesian Financial Services Authority (OJK, 2022) mengungkapkan bahwa fintech berbasis syariah sering kali mengenakan biaya bunga yang tinggi, menjerat peminjam kecil dalam siklus utang.
  • Amerika Serikat: Megachurch besar diketahui mengalokasikan dana yang diterima melalui sumbangan untuk investasi properti dan bisnis besar, yang berkontribusi pada konsentrasi kekayaan dan mengabaikan prinsip pemerataan.

Sistem keuangan berbasis neoliberalisme religius bagaikan sebuah toko amal yang menjual produk hasil donasi dengan harga tinggi, sehingga niat mulia donasi malah dimanfaatkan untuk keuntungan segelintir orang.

Sosialisme religius, dengan dasar teori redistribusi kekayaan dan ekonomi kerakyatan (seperti yang dikemukakan oleh Karl Marx dan dikembangkan dalam konteks keislaman oleh para pemikir seperti Ali Shariati), mengajukan alternatif melalui pajak progresif, koperasi komunitas, dan kebijakan ekonomi yang menempatkan kebutuhan rakyat di atas akumulasi modal.

4. Pendidikan: Membangun Kesadaran Kritis untuk Transformasi Sosial

Sistem pendidikan berbasis agama yang dogmatis cenderung menekankan hafalan dan kepatuhan, menghambat tumbuhnya kesadaran kritis yang diperlukan untuk menantang ketidakadilan sosial.

Studi Kasus:

  • Iran: Data dari Middle East Journal of Education (2021) menunjukkan bahwa kurikulum pendidikan di Iran cenderung mengutamakan ideologi negara dan kepatuhan terhadap nilai-nilai keagamaan yang mendukung rezim, sehingga mengurangi ruang untuk pemikiran kritis dan inovasi.
  • Amerika Serikat: Sekolah-sekolah Kristen konservatif di AS seringkali menolak teori evolusi dan mengajarkan narasi penciptaan secara kaku, yang menghambat perkembangan pemikiran ilmiah dan kritis di kalangan pelajar (American Journal of Education, 2020).
  • Indonesia: Penelitian dalam Journal of Southeast Asian Education (2022) menemukan bahwa pendidikan agama di sekolah negeri di banyak daerah hanya berfokus pada hafalan teks-teks suci dan moralitas individu, tanpa mengintegrasikan nilai-nilai keadilan sosial yang kritis.

Pendidikan dogmatis dapat diibaratkan seperti sebuah buku yang hanya memiliki satu bab tanpa ruang untuk pertanyaan atau eksplorasi pemikiran baru, sehingga mengunci potensi kreatif dan kritis generasi muda.

Dalam kerangka sosialisme religius, pendidikan harus diorientasikan pada pembebasan, seperti yang diusulkan oleh Paulo Freire dalam Pendidikan Kaum Tertindas (1970). Kurikulum harus dirancang untuk menumbuhkan kesadaran sosial, mendorong debat kritis, dan membentuk individu yang mampu mempertanyakan serta mengubah struktur ketidakadilan yang ada.

5. Kesehatan: Hak Dasar yang Tidak Boleh Dijadikan Komoditas

Dalam banyak negara, kesehatan telah diprivatisasi sehingga akses terhadap layanan medis menjadi terbatas bagi kelompok ekonomi rendah.

Studi Kasus:

  • Amerika Serikat: Sistem kesehatan berbasis asuransi swasta telah menghasilkan disparitas yang mencolok, di mana jutaan warga miskin gagal mendapatkan perawatan medis yang memadai (Laporan dari Kaiser Family Foundation, 2021).
  • Swedia: Sebaliknya, sistem kesehatan universal di Swedia menunjukkan bahwa layanan kesehatan yang dibiayai oleh negara dapat meningkatkan kualitas hidup dan produktivitas masyarakat secara keseluruhan, seperti diungkapkan dalam Nordic Journal of Public Health (2021).
  • Indonesia: Pengalaman dengan BPJS Kesehatan mengindikasikan bahwa sistem campuran antara swasta dan publik sering menghambat akses layanan bagi rakyat kecil, terutama di daerah terpencil, sebagaimana dilaporkan oleh World Bank Indonesia (2020).

Jika kesehatan diprivatisasi, maka akses terhadap layanan medis bagaikan air dalam botol mahal—sesuatu yang seharusnya merupakan hak dasar yang tersedia untuk setiap warga tanpa kecuali.

Sosialisme religius menekankan bahwa kesehatan adalah hak asasi manusia yang harus dijamin oleh negara. Seperti yang diungkapkan Che Guevara, “Kesehatan bukanlah bisnis, tetapi hak.” Oleh karena itu, model kesehatan universal yang dibiayai oleh negara harus diterapkan untuk memastikan bahwa setiap individu mendapat perawatan medis yang layak, tanpa diskriminasi ekonomi.

6. Seni dan Budaya: Membangun Ekspresi Perlawanan melalui Kreativitas

Dalam era globalisasi, industri seni dan budaya sering kali dikuasai oleh korporasi besar yang mengejar keuntungan komersial, sehingga nilai-nilai kritis dan ekspresi perlawanan sering kali tereduksi.

Studi Kasus:

  • Hollywood: Film-film blockbuster di Hollywood sering kali mempromosikan nilai-nilai konsumtif dan narasi yang mendukung kapitalisme, seperti yang dibahas dalam Journal of Cultural Studies (2022).
  • Kuba: Di Kuba, pemerintah secara aktif mendukung seniman lokal agar dapat berkarya bebas dari tekanan komersial, sehingga menghasilkan karya-karya yang kaya akan kritik sosial dan nasionalisme (Studi oleh Latin American Research Review, 2020).
  • Indonesia: Industri musik dan perfilman di Indonesia menunjukkan dinamika serupa, di mana perusahaan besar mendominasi pasar, menyulitkan seniman independen untuk menyuarakan pandangan kritis mereka (Laporan oleh Indonesian Journal of Arts and Culture, 2021).

Seni yang dikomersialisasi bisa diibaratkan sebagai makanan cepat saji—cepat dikonsumsi dan mudah dicerna, namun tidak memberikan nutrisi yang mendalam bagi jiwa dan pemikiran kritis masyarakat.

Dalam perspektif sosialisme religius, seni harus dijadikan alat perjuangan, sebagaimana diungkapkan oleh Antonio Gramsci: “Setiap seni adalah politik.” Negara dan masyarakat harus memberikan ruang serta dukungan kepada seniman independen, yang karyanya tidak hanya menghibur, tetapi juga mengkritisi struktur kekuasaan dan menginspirasi perubahan sosial yang progresif.

Menuju Transformasi Sosial melalui Sosialisme Religius

Neoliberalisme religius telah lama mengubah agama menjadi instrumen untuk mempertahankan kekuasaan dan mengeksploitasi rakyat. Melalui manipulasi retorika keagamaan, elite ekonomi dan politik berhasil mengalihkan perhatian masyarakat dari ketidakadilan yang terjadi di berbagai sektor—dari tata pemerintahan hingga ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan seni budaya.

Sebaliknya, sosialisme religius menawarkan visi alternatif yang berlandaskan pada prinsip keadilan sosial, pemerataan ekonomi, dan pemberdayaan individu melalui pendidikan kritis serta ekspresi budaya yang autentik. Model ini tidak hanya mengusulkan reformasi struktural, tetapi juga menuntut transformasi nilai-nilai keagamaan agar lebih inklusif dan emansipatoris. Seperti yang diungkapkan oleh tokoh-tokoh pemikir seperti Ali Shariati, Paulo Freire, dan Che Guevara, agama yang sejati haruslah menjadi alat perjuangan, bukan alat penindasan.

Dalam era digital dan globalisasi, dimana informasi dan narasi dikendalikan oleh segelintir elite, peran sosialisme religius menjadi semakin vital. Melalui pendekatan yang ilmiah dan kritis, kita dapat membuka ruang bagi transformasi sosial yang autentik—di mana setiap kebijakan, setiap sistem pendidikan, dan setiap layanan publik ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup rakyat banyak.

FAQ: Neoliberalisme Religius vs. Sosialisme Religius

Apa itu Neoliberalisme Religius?

  • Neoliberalisme religius adalah fenomena di mana nilai-nilai keagamaan direkayasa untuk mendukung sistem kapitalis yang eksploitatif, sehingga menciptakan legitimasi bagi kebijakan yang menguntungkan segelintir elite dan menekan hak-hak rakyat.

Bagaimana Sosialisme Religius Berbeda?

  • Sosialisme religius menempatkan agama sebagai alat pembebasan yang mendasari keadilan sosial dan ekonomi. Model ini mengedepankan redistribusi kekayaan, pendidikan kritis, serta layanan kesehatan dan budaya yang inklusif.

Mengapa Sistem Kesehatan Harus Diubah?

  • Studi kasus di Amerika Serikat, Swedia, dan Indonesia menunjukkan bahwa sistem kesehatan yang diprivatisasi menghasilkan kesenjangan yang besar. Sosialisme religius menuntut sistem kesehatan yang universal dan berorientasi pada hak dasar manusia.

Bagaimana Pendidikan Dapat Membentuk Kesadaran Kritis?

  • Pendidikan harus mampu melahirkan individu yang mampu mempertanyakan struktur ketidakadilan. Seperti yang dijelaskan oleh Paulo Freire, pendidikan harus membangkitkan kesadaran, bukan sekadar mengajarkan kepatuhan. Hal ini esensial untuk menciptakan generasi yang kritis dan inovatif.

Apa Peran Seni dan Budaya dalam Perubahan Sosial?

  • Seni dan budaya merupakan medium penting untuk menyuarakan kritik terhadap ketidakadilan. Dengan mendukung seniman independen dan mendorong ekspresi budaya yang autentik, masyarakat dapat memanfaatkan seni sebagai alat perlawanan terhadap hegemoni kapitalis.

Posting Komentar untuk "Neoliberalisme Religius vs. Sosialisme Religius: Pertarungan untuk Keadilan Sosial"