Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

"Pena dan Pikiran yang Tak Pernah Tua: 100 Tahun Pramoedya untuk Generasi Layar Sentuh"

Makam Pramoedya Ananta Toer
Gambar : gorbysaputra.com

Sejarah yang Berbisik di Antara Notifikasi.


Di suatu pagi, ketika jari-jari kalian menari di atas layar, menyentuh dunia maya yang tak bertepian, dengarkanlah suara ini. Suara yang lahir dari debu penjara, dari kertas yang diselundupkan di balik jeruji besi, dari paru-paru seorang lelaki yang bernama Pramoedya Ananta Toer .  

Aku bukan pahlawan. Aku hanya pengemban kata-kata. Tapi kata-kata itu lebih tajam dari pedang,” bisiknya.  

---

Manusia yang Menulis dengan Darah

 
Di zaman kalian, di mana *smartphone* lebih berkuasa daripada matahari, coba bayangkan:  

**Tahun 1965**. Seorang lelaki diculik, diborgol, dibuang ke Pulau Buru—tanpa pengadilan, tanpa dosa. Di sana, di bawah siksaan panas dan kerja paksa, ia menulis. *Tanpa kertas, tanpa pena*. Ia hanya punya ingatan, mulut yang kering, dan telinga sesama tahanan yang siap menghafal ceritanya.  

*Tetralogi Buru*—mahakarya yang lahir dari luka—dilahirkan secara lisan. *Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca*. Empat kitab perlawanan yang kalian bisa *download* sekarang dalam hitungan detik. Tapi tahukah kalian? Di zaman Pram, buku-buku itu disebarkan seperti *file* terenkripsi: diam-diam, lewat bisikan, lewat kertas yang diselipkan di balik karung beras.  

*“Kalian punya WiFi, kami punya nyali,”* ujarnya dalam senyum getir.  

---

Feodalisme Baru di Zaman *Followers* dan *Likes*


Pramoedya menulis tentang **Nyai Ontosoroh**, perempuan yang memberontak dari belenggu feodal. Sekarang, feodalisme itu berubah wajah:  

- **Feodalisme Digital**: Raja-raja baru bernama *influencer*; pundi-pundi kekuasaan diukur dari *likes* dan *views*.  

- **Pribumi 2.0**: Kalian, generasi *spoiled by Google*, dijajah algoritma yang menentukan apa yang kalian baca, tonton, bahkan pikir.  

Di *Bumi Manusia*, Minke berteriak: *“Aku manusia merdeka!”* Di bumi kalian, merdekakah kalian ketika *password* medsos bisa dijual, data pribadi jadi komoditas?  

*“Jangan kau kira kebebasan ada di ujung jari. Kebebasan ada di sini—”* Pram menunjuk kepalanya, *“—di ruang yang tak bisa diretas.”*  

---

Kata-Kata vs. Cancel Culture


Pramoedya ditakuti rezim karena tulisannya. Kini, di zaman *cancel culture*, kata-kata masih bisa membunuh—tapi bukan lagi lewat penjara, melainkan lewat *block* dan *report*.  

Tapi lihatlah:  

- Di *Anak Semua Bangsa*, Minke menggunakan korasi untuk melawan. Kalian punya *Twitter*, *TikTok*, *Instagram*—alat yang lebih dahsyat dari mesin cetak.  

- Di *Rumah Kaca*, Pram menulis tentang pengawasan negara. Sekarang, *CCTV* dan *facial recognition* mengintai tiap langkah kalian.  

*“Dulu kami sembunyikan naskah di bawah tanah. Sekarang, kalian sembunyikan kebenaran di balik *encryption*. Bedanya? Kami berjuang. Kalian—apakah kalian hanya *scroll*?”*  

---

Pramoedya untuk Generasi *Climate Strike* dan *Black Lives Matter* 


Suaranya tak lekang:  

- **Keadilan Iklim**: Sebelum Greta Thunberg lahir, Pram sudah menulis tentang bumi yang dirampok—*“Kolonialisme tak hanya merampas emas, tapi juga akar pohon.”*  

- **Anti-Rasisme**: Di *Gadis Pantai*, ia mengutuk eksploitasi perempuan miskin. Di *Amerika*, kalian turun ke jalan untuk *BLM*.  

*“Perjuangan kalian adalah lanjutan dari kami. Tapi jangan hanya *protes*. Tulis! Sebab sejarah ditulis oleh mereka yang berani memegang pena—atau *keyboard*.”*  

---

*Legacy* yang Tak Bisa Dihapus oleh *Delete Button*


Di usia 100 tahun, Pramoedya mungkin tak punya akun *Instagram*. Tapi karyanya lebih *viral* dari *meme* mana pun:  

- *Tetralogi Buru* diterjemahkan ke 40+ bahasa—lebih luas dari jangkauan *Netflix*.  
- *Nyai Ontosoroh* menjadi ikon feminisme sebelum kata *feminisme* jadi *trending topic*.  

Untuk kalian, generasi yang lahir di dunia *overloaded information*:  

*“Jangan jadi budak algoritma. Jadilah Minke zaman now: berpikir kritis, menulis berani, dan jangan pernah takut pada *banned account*.”*  

---

Pramoedya dalam Genggaman Kalian**  
Di genggaman kalian, di antara *chat* dan *story*, ada kekuatan yang sama dengan pena Pramoedya:  

- *Upload* cerita yang mengganggu ketidakadilan.  
- *Share* puisi yang membakar kesadaran.  
- *Tag* temanmu, ajak mereka membaca *Bumi Manusia*—bukan sekadar *spoiler* di *IG Story*.  

*“Kalian punya *platform*. Kami punya keyakinan: kata-kata akan mengubah dunia. Sekarang, buktikan!”*  

---

*Jika kalian lahir di era TikTok, tapi ingin tahu seperti apa "viral" di zaman pena dan kertas, bacalah Pramoedya. Di sana, ada *vibe* perlawanan yang tak bisa di-*remix* oleh algoritma.*  

**#100TahunPramoedya**  
**#BukanCumaThrowback**  
**#TetapMenulisMeskiDibanned**  

---  

Posting Komentar untuk " "Pena dan Pikiran yang Tak Pernah Tua: 100 Tahun Pramoedya untuk Generasi Layar Sentuh""