Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Refleksi 78 Tahun HMI: Antara Yakusa, Feodalisme, dan Mesin Politik Tanpa Ruh

 

78 Tahun HMI Gambar : gorbysaputra.com
78 Tahun HMI
Gambar : gorbysaputra.com

Ketika HMI didirikan 78 tahun lalu, ia lahir dari rahim perjuangan intelektual Islam, sebuah organisasi mahasiswa yang mestinya menjadi kawah candradimuka bagi generasi yang cakap, berintegritas, dan mampu berdiri di atas kaki sendiri. Namun, seperti tokoh dalam drama yang kehilangan skrip aslinya, HMI hari ini lebih mirip panggung opera yang diisi oleh para aktor yang menghapal slogan tanpa memahami makna sejatinya. Yakusa (Yakin Usaha Sampai) tak lebih dari mantra kosong yang diulang-ulang, sementara kualitas dan moral anggotanya justru tenggelam dalam feodalisme berkedok kaderisasi.

Kuliah di HMI, Bukan di Kampus

Ada pameo satir yang mulai mengakar: “Lebih baik kuliah di HMI daripada kuliah di kampus.” Artinya, kegiatan organisasi lebih diutamakan daripada tanggung jawab akademik. Seminar, latihan kader, dan diskusi politik lebih menarik ketimbang perkuliahan yang dianggap membosankan. Makalah? Copy-paste. Skripsi? Tugas akhir asal jadi. Dosen? Hanya rintangan administratif. Tesis dan disertasi pun hanya formalitas agar kelak bisa menyandang gelar sarjana dan—yang lebih penting—menjabat posisi strategis.

Para kader HMI begitu bangga dengan jenjang pelatihan: LK 1, 2, 3, hingga Senior Course (SC), seolah-olah itu adalah jenjang akademik yang lebih prestisius daripada gelar Master atau Doktor. Mereka berpolitik bukan untuk membangun intelektualitas, melainkan mendominasi kekuasaan di dalam kampus, menjadikan organisasi sebagai kendaraan menuju posisi ketua BEM, ketua senat, bahkan mengontrol kampus layaknya oligarki kecil. Tak heran jika banyak kader justru lebih mahir dalam manuver politik ketimbang analisis akademik.

Simbol Hijau-Hitam, Sabit, dan Ritual Feodal

Ada yang lebih sakral daripada bendera merah putih bagi sebagian kader HMI: warna hijau-hitam, sabit, dan slogan-slogan kaderisasi. Simbolisme ini lebih dihormati daripada ilmu pengetahuan, etika sosial, bahkan ajaran Islam itu sendiri. Para kader tak segan menyombongkan diri sebagai anak HMI, seolah-olah menjadi bagian dari kasta eksklusif dalam kehidupan mahasiswa, padahal mereka tidak dikenal sebagai figur yang inspiratif di kelas atau kampusnya.

Kondisi ini semakin diperparah dengan ketidakpedulian terhadap lingkungan sekitar. Para kader lebih sibuk dengan urusan internal organisasi, berdebat tanpa solusi, berebut jabatan, mengidolakan senior yang berkarier di pemerintahan, tetapi lupa terhadap lingkungan sosialnya. Mereka yang vokal tentang keadilan sosial di forum-forum diskusi justru asing di kampung halamannya sendiri. Apa artinya menjadi kader HMI jika di rumah sendiri tak dikenal sebagai sosok yang bermanfaat?

HMI: Kartu KIP dan Mesin Beasiswa

Tak dapat dimungkiri, ada kader yang masuk HMI bukan karena idealisme, tetapi karena pragmatisme. KIP (Kartu Indonesia Pintar) dan berbagai beasiswa menjadi alasan utama mereka bergabung. Dengan harapan bisa mendapatkan akses dana pendidikan, mereka mengikuti latihan kader tanpa benar-benar memahami esensi perjuangan organisasi. Di kelas, mereka adalah mahasiswa yang pasif, jarang bertanya, sekadar hadir untuk mengisi absen. Ketika lulus, mereka tetap menggantungkan hidup pada jejaring alumni, berharap ada senior yang bisa membuka jalan menuju jabatan di pemerintahan.

Inilah paradoks HMI hari ini: organisasi yang semestinya menjadi pencetak intelektual justru bertransformasi menjadi pabrik kader politik instan. Pola pikir patron-klien berkembang subur, dengan senior sebagai dewa dan junior sebagai penyembah setia. Struktur feodal ini membuat HMI tak lagi menjadi organisasi mahasiswa yang mandiri, tetapi sekadar batu loncatan menuju kekuasaan.

Simbiosis dengan Negara: Fasilitas dan Romantisme Sejarah

Ada pola yang terus berulang di setiap acara HMI: permintaan fasilitas negara, pemprov, pemkot, pemkab, seolah-olah ada timbal balik atas romantisme sejarah masa lalu. HMI merasa berhak mendapatkan ruang, dana, dan akses karena jasa historisnya. Namun, apa yang terjadi? Acara-acara yang digelar justru menjadi ajang perayaan feodalisme. Para alumni datang perlente, mentereng di depan kader dengan mobil mewah, jas elegan, kemeja mahal, dan sepatu berkilat. Mereka berceramah tentang perjuangan dan idealisme, tetapi tak sadar bahwa kehadiran mereka justru menciptakan siklus mesin cetak elite politik.

Kader-kader muda yang melihatnya tak lagi berpikir tentang perjuangan rakyat, melainkan bagaimana cara menjadi seperti senior-senior itu. Bukan intelektualitas yang diwariskan, tetapi citra kekuasaan yang menggiurkan. Dan begitulah siklusnya terus berputar, mencetak lebih banyak politisi pragmatis daripada pemikir sejati. HMI yang dahulu berorientasi pada perjuangan Islam dan keadilan sosial kini lebih sibuk dengan akses ke lingkaran kekuasaan, dengan kader-kadernya yang berbondong-bondong masuk ke birokrasi, DPR, kementerian, dan lembaga negara dengan satu tujuan: mempertahankan privilese.

Rombak Kaderisasi, Bangun Intelektualitas

Jika HMI ingin kembali ke marwahnya, maka kaderisasi harus dirombak. Model pengkaderan berbasis doktrin yang hanya duduk berjam-jam mendengar ceramah kosong harus diganti dengan metode berbasis diskusi kritis, penguatan intelektual, dan pengabdian sosial yang nyata. Tak hanya itu, budaya senioritas dan feodalisme berkedok agama harus dihancurkan. HMI harus kembali menjadi tempat lahirnya pemikir, bukan sekadar politisi oportunis.

Friedrich Nietzsche, pernah berkata, "Orang yang memiliki alasan hidup yang kuat dapat menanggung hampir semua bagaimana cara hidupnya." Jika HMI masih ingin bertahan sebagai organisasi yang relevan, maka kader-kadernya harus menemukan kembali alasan eksistensinya: sebagai penggerak perubahan, bukan sekadar penjilat kekuasaan.

Dan untuk kader-kader yang masih bertahan dalam romantisme simbol hijau-hitam tanpa substansi, mungkin ini saatnya untuk bertanya: apakah kalian sedang berjuang, atau hanya sedang membangun ilusi kejayaan di antara sesama kader sendiri?

Posting Komentar untuk "Refleksi 78 Tahun HMI: Antara Yakusa, Feodalisme, dan Mesin Politik Tanpa Ruh"