Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Alasan Ideologis Menulis Vs Alasan Pragmatis Menulis

 

Alasan Ideologis Menulis Vs Alasan Pragmatis Menulis Gambar : gorbysaputra.com
Alasan Ideologis Menulis Vs Alasan Pragmatis Menulis
Gambar : gorbysaputra.com

Entah sudah berapa banyak cangkir kopi yang terseduh, berapa asapan rokok yang menemani malam-malam panjang, atau berapa detik waktu yang tersusun rapi dalam kehidupan sehari-hari—saya telah menyaksikan, merasakan, dan menuliskan kondisi nyata dari sebuah perjalanan. Perjalanan yang tidak pernah mulus, namun selalu sarat dengan rasa: manis, pahit, asam, dan getir. 

Demikian pula, pena saya tak pernah lelah untuk menggoreskan cerita tentang ide-ide dan realita, antara alasan ideologis menulis dan alasan pragmatis menulis.

Mengusung judul “Alasan Ideologis Menulis Vs Alasan Pragmatis Menulis”, saya berharap tema ini tidak hanya menjadi catatan pribadi, tetapi juga seutas jembatan yang menghubungkan pikiran para penulis dengan pembaca, agar setiap goresan huruf membawa dampak positif kepada kehidupan. Suatu panggilan untuk merenung—bukan sebagai ceramah sekaligus, tapi sebagai undangan dialog batin.

Hidup di tengah hiruk pikuk daerah yang tampak didominasi oleh gaya hidup konsumtif dan persaingan ketat dalam mencari pekerjaan, tentu membawa warna tersendiri dalam dunia kepenulisan. Di sini, bukan hanya soal mencari nafkah, melainkan bagaimana menemukan titik temu antara kata dan makna, antara diskusi dan karya, agar setiap tulisan bukan hanya mampu mengisi ruang-ruang kosong, tetapi juga membangun ekosistem literasi yang autentik.

Saya tidak bisa berpaling dari kenyataan bahwa di lingkungan yang menawarkan begitu banyak kemudahan digital—tempat di mana smartphone menjadi jendela dunia dan media sosial menghubungkan ribuan ide—tak banyak ruang tersisa untuk pertemuan yang benar-benar intim: pertemuan dimana pembicaraan tentang buku, menulis, dan ideologi mengalir tanpa batas. Di daerah industri dan perdagangan, seperti di Bekasi misalnya, penulis kerap kali harus berjuang dalam kesendirian, masing-masing menjalani proses secara mandiri atau bahkan terpaksa memikul beban sebagai penulis indie tanpa dukungan kuat dari komunitas yang solid.

Dalam percakapan yang saya adakan dengan seorang tokoh literasi lokal, tersirat keprihatinan yang mendalam.

Dia berkata,

“Di Bekasi, kita sering terlihat berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil, namun jarang saling mengenal dengan intens. Penerbitan buku masih menjadi tantangan, lebih banyak dilakukan secara mandiri dengan biaya sendiri, hingga sinergi yang kolaboratif belum tentu mampu menciptakan gebrakan nyata di ranah literasi.”

Pertanyaan-pertanyaan itu pun membangkitkan renungan:

  • Bagaimana nasib dunia kepenulisan di tengah gemuruh modernisasi?
  • Apakah tujuan menulis hanya semata-mata sebagai lapisan pekerjaan, atau lebih dari itu—sebuah cara hidup?
  • Dalam era yang penuh dengan teks digital, apakah kita masih menyadari betapa luasnya peran tulisan dalam membentuk karakter dan budaya?

Sebelum melangkah lebih jauh, saya mengajak Anda untuk merenung sejenak. Renungkan pertanyaan-pertanyaan berikut:

  • Apakah Anda suka menulis?
  • Apakah Anda suka membaca?
  • Apa rutinitas Anda dengan dunia tulis-menulis setiap hari?

Jika hati dan pikiran Anda belum pernah tersentuh oleh dunia kata, maka mungkin bacaan ini bukan untuk Anda. Namun, bagi Anda yang menemukan seni menulis sebagai bagian dari kehidupan, mari kita lanjutkan bersama.

Tulisan ini tidak ingin terkesan menggurui atau mengada-ada. Sebaliknya, ia hadir sebagai cermin yang memantulkan realitas bahwa setiap kata yang tertulis—entah karena ideologis atau pragmatis—selalu memiliki tujuan dan makna. Menulis bisa jadi merupakan kegiatan yang mengangkat budaya, menyuarakan politik, atau sekadar sarana komunikasi.

 “Tulisan bukan hanya sekadar alat untuk menyampaikan ide; tulisan adalah cermin jiwa yang mampu membawa kita kembali kepada esensi keberadaan.”

Di era digital ini, tulisan ada di mana-mana: di layar smartphone, dalam pesan singkat, di setiap postingan media sosial, dan bahkan dalam iklan-iklan yang menyelinap di sela-sela video. Dengan setiap ketukan pada keyboard, kita tidak hanya menciptakan kalimat, tetapi juga mewarnai dunia yang kian bergantung pada informasi dan kata.

Lihatlah pada aplikasi-aplikasi yang kerap membuka pintu kreativitas: YouTube, TikTok, Instagram, bahkan aplikasi editing video dan audio. Di sana, teks dan tulisan hadir sebagai fondasi komunikasi, menggerakkan aksi, dan menautkan perasaan. Begitu pula dengan komunikasi sehari-hari; melalui WhatsApp, Telegram, DM Instagram, hingga email, tulisan adalah penghubung yang tak terpisahkan.

Maka, pertanyaannya kembali kepada kita semua:

Menulis untuk apa?

Apakah untuk memenuhi kebutuhan pragmatis dalam komunikasi dan bisnis? Ataukah sebagai bentuk ekspresi ideologis yang mencerminkan keyakinan dan nilai-nilai batin?

Kita hidup di zaman yang sarat dengan kemudahan digital dan kecanggihan teknologi—di mana kecerdasan buatan dan berbagai aplikasi membantu kita menulis dengan cepat dan praktis. Namun, tidak ada yang bisa menggantikan kekuatan kata yang ditulis dengan sepenuh hati, dengan pertimbangan dan niat untuk menciptakan perubahan, menyentuh jiwa, dan menginspirasi perubahan dalam diri pembaca.

“Menulis adalah perjalanan menemukan dirimu sendiri dalam untaian kata, yang setiap kalimatnya mengandung kekuatan untuk mengubah dunia.”

Maka, kepada Anda para penulis dan pembaca yang budiman:

Jangan pernah meremehkan kekuatan kata.

Temukanlah keseimbangan antara menulis karena ideologi—karena keyakinan mendalam dan hasrat untuk berbagi budaya—dengan menulis secara pragmatis sebagai alat komunikasi dan penggerak praktis dalam kehidupan sehari-hari.

Mari bersama-sama menata dunia kepenulisan, tanpa harus bersaing secara individual, melainkan dengan semangat kolaboratif yang mampu mengubah realita menjadi sebuah karya yang bermakna.

Bagi yang telah merasakan getaran dunia kata, semoga tulisan ini menjadi awal dari perjalanan panjang kita bersama, sebuah perjalanan yang tak hanya mengalir dalam tinta, tetapi juga menuliskan sejarah kecil yang memberikan inspirasi bagi generasi mendatang.

Bersambung…

Semoga Anda terinspirasi untuk terus bertanya kepada diri sendiri:

Apakah menulis adalah bagian dari jati diri saya?

Dan apakah dunia pun bersedia mendengar setiap detak jantung yang terukir lewat kata?

Posting Komentar untuk "Alasan Ideologis Menulis Vs Alasan Pragmatis Menulis"