Alasan Ideologis Menulis Vs Alasan Menulis Pragmatis: Sebuah Pertarungan dalam Diri Setiap Penulis
![]() |
Alasan Ideologis Menulis Vs Alasan Menulis Pragmatis Sebuah Pertarungan dalam diri setiap penulis Gambar : gorbysaputra.com |
Di sudut kamar yang redup, di balik tumpukan buku-buku usang dan catatan yang berserakan, saya pernah menemukan diri saya bertanya: Mengapa kita menulis? Pertanyaan ini seperti benang kusut yang tak pernah selesai diurai.
Di satu sisi, ada suara lirih yang berbisik tentang kebenaran, perubahan, dan warisan pemikiran. Di sisi lain, denting koin dan desir klik algoritma digital mengingatkan: Menulislah yang laku, yang viral, yang memenuhi perut.
Inilah dialektika abadi dalam dunia penulisan: idealisme vs pragmatisme. Sebuah pertarungan antara hasrat untuk menyampaikan kebenaran dan tuntutan untuk bertahan hidup. Tulisan ini bukan sekadar analisis, melainkan perenungan panjang tentang dua kutub yang kerap dianggap bertolak belakang, namun sejatinya saling membentuk denyut nadi literasi modern.
"Pena sebagai Senjata: Ketika Kata-Kata Menjadi Aksi Perlawanan"
Jean-Paul Sartre pernah mengatakan, "Kata-kata adalah tindakan." Kalimat ini bukan sekadar metafora puitis, melainkan tamparan keras bagi mereka yang masih menganggap menulis sebagai aktivitas pasif. Di tangan penulis ideologis, pena bukan alat untuk merangkai bunga-bunga kata, tetapi senjata untuk membongkar struktur opresif yang membelenggu kesadaran.
Lihatlah esai-esai Pramoedya Ananta Toer yang menyayat mitos kolonialisme, atau pamflet Karl Marx yang meledakkan ilusi kapitalisme. Tulisan mereka bukan produk pasar yang dirancang untuk memuaskan selera massa, melainkan granat yang sengaja dilemparkan ke pusat sistem yang membusuk.
Namun, di era di mana revolusi sering dikerdilkan menjadi tagar di media sosial, di mana protes direduksi menjadi konten yang bisa di-scroll dalam tiga detik, pertanyaannya menggelitik: Masih relevankah kata-kata sebagai alat perlawanan? Ataukah ia telah menjadi komoditas yang diperjualbelikan di pasar kebisingan digital?
Menulis sebagai Gerakan Bawah Tanah: Membongkar Ilusi Kesadaran Palsu
Setiap kali seorang penulis ideologis mengetik kalimat pertama, ia sedang membangun terowongan bawah tanah. Terowongan yang akan digunakan untuk menyelundupkan kebenaran ke tengah gurun kesadaran palsu. Di sini, menulis adalah praktik subversif. Ia tidak bermain di permukaan yang disorot algoritma, tetapi menggali lubang di balik tembok hegemoni budaya, politik, dan ekonomi.
Contoh nyata? Lihat gerakan sastra samizdat di Uni Soviet era 1970-an. Naskah-naskah para penulis seperti Aleksandr Solzhenitsyn disalin secara manual, disebarkan diam-diam, dan dibaca dalam kegelapan. Mereka tidak mengejar royalti atau viralitas, tetapi mempertaruhkan nyawa untuk memastikan suara kebenaran tidak dibungkam.
Di Indonesia, tradisi ini hidup dalam puisi-puisi Wiji Thukul yang ditulis di atas kertas buram, dibacakan di lorong-lorong kumuh, dan menjadi nyanyian penggerak aksi buruh. Ini bukan sekadar writing—ini perlawanan.
Kapitalisme Konten vs Kata-Kata yang Membara: Pertarungan yang Tak Setara
Tapi mari jujur: dunia hari ini bukan dunia Pram atau Marx. Kita hidup di zaman di mana algoritma Instagram bisa membunuh sebuah gerakan sosial hanya dengan menurunkan engagement. Di era ketika aktivis muda harus berhadapan dengan dilema: menulis manifesto atau mempelajari SEO, mengkritik oligarki atau menaikkan CTR (Click-Through Rate).
Lihatlah bagaimana platform digital mengubah dinamika perlawanan. Tulisan tentang ketimpangan sosial harus bersaing dengan konten influencer yang menjual produk skincare. Artikel investigasi korupsi bertarung dengan video ASMR di laman pencarian. Di sini, penulis ideologis tidak hanya melawan penguasa, tetapi juga melawan ekonomi perhatian yang kejam.
Paradoksnya: untuk menyebarkan kritik sosial, kita harus bermain dengan aturan pasar yang kita kritik. Haruskah menggunakan kata kunci "skandal korupsi" demi meningkatkan traffic? Haruskah merangkai judul clickbait seperti "5 Fakta Mengerikan di Balik Kenaikan Harga BBM" hanya agar dibaca?
Menulis di Tengah Banjir Konten: Antara Revolusi dan Resignasi
Di tengah situasi ini, muncul dua kutub ekstrem:
- Penulis Puritan yang menolak kompromi, bersikeras menulis dengan bahasa akademis-berat, lalu mengutuk zaman yang "tidak mengapresiasi intelektual".
- Penulis Pragmatis Radikal yang sepenuhnya menyerah pada logika pasar, menghasilkan konten yang hollow (berongga) asal laku.
Tapi di antara dua jurang ini, ada ruang untuk strategi ketiga: menulis sebagai gerilya semiotik.
Mencuri Bahasa Penguasa untuk Menggulingkannya
- Inilah taktik brilian penulis ideologis progresif: menggunakan bahasa populer untuk menyelundupkan pesan subversif. Seperti gerilyawan yang merebut senjata musuh untuk melawan mereka.
Contoh:
- Memakai format listicle (konten daftar) yang digemari algoritma, tetapi diisi dengan kritik sistematis. Misalnya: "10 Cara Sistem Pendidikan Menghancurkan Kreativitas Anak—Nomor 7 Bikin Marah!"
- Memanfaatkan meme atau format viral TikTok untuk menyebarkan teori-teori kritis Antonio Gramsci atau bell hooks.
- Menulis thriller politik dengan aliran cepat ala Dan Brown, tetapi menyisipkan analisis marxian tentang oligarki.
Di sini, penulis tidak menolak permainan algoritma—mereka menyabotase dari dalam.
Kritik Sosial di Era Distopia Digital: Menulis untuk Membongkar Mesin Ketidakpedulian
Tugas paling radikal penulis ideologis hari ini bukan sekadar mengkritik penguasa, tetapi membongkar mesin yang membuat masyarakat apatis terhadap kritik itu sendiri.
Kita hidup di dunia yang dirancang untuk membuat kita sibuk, terdistraksi, dan akhirnya pasrah. Platform media sosial dirancang untuk membuat kita scroll tanpa henti, sementara sistem ekonomi memaksa kita bekerja hingga tak punya waktu untuk berpikir kritis.
Di tengah kondisi ini, menulis ideologis harus menjadi shock therapy. Ia harus mengguncang pembaca dari tidur nyenyak mereka. Tidak dengan bahasa yang rumit, tetapi dengan menyajikan fakta-fakta yang membuat jantung berdebar:
"Setiap kali kamu beli kopi senilai Rp50.000, buruh perkebunan hanya mendapat Rp500."
"Tagar #JusticeForA hanya mendapat 10 ribu tweet, sementara #OOTD selebgram dibanjiri 1 juta likes."
Tulisan semacam ini tidak ingin menjadi viral—ia ingin menjadi pembunuh kenyamanan.
Masa Depan Perlawanan: Apakah Kata-Kata Masih Punya Gigi?
Di ujung semua pertimbangan ini, pertanyaan paling menggelisahkan adalah: Masih efektifkah menulis sebagai alat perubahan di era post-truth?
Jawabannya terletak pada cara kita mendefinisikan "perubahan". Jika ukurannya adalah revolusi besar dalam semalam, mungkin tidak. Tapi jika perubahan dimaknai sebagai erosi perlahan terhadap kesadaran kolektif, maka setiap kata tetap punya daya ledak.
Lihatlah gerakan #BlackLivesMatter yang dimulai dari esai-esai panjang di blog aktivis, atau #MeToo yang dipicu tulisan investigatif tentang Harvey Weinstein. Kata-kata tetap bisa menjadi percik yang membakar hutan.
Menulis atau Mati—Sebuah Ultimatum untuk Generasi Penulis Baru
Bagi penulis ideologis, menulis bukan pilihan—ia adalah konsekuensi dari keberanian untuk hidup. Setiap kali kita memilih diam, kita membiarkan ketidakadilan menguasai narasi.
Tapi jangan terjebak romantisme perlawanan ala abad ke-20. Hari ini, musuh kita bukan lagi sensor pemerintah yang kasar, tetapi algoritma yang halus. Bukan penjara fisik, tetapi penjara perhatian yang membuat kita sibuk mengonsumsi sampah konten.
Menulislah dengan cara yang membuat algoritma ketar-ketir. Menulislah seolah-olah setiap kata adalah palu godam yang meretakkan tembok ketidakpedulian. Menulislah—bahkan jika yang membaca hanya algoritma—karena sejarah membuktikan: kata-kata yang ditulis dengan darah tidak pernah benar-benar mati.
Dan ingat: di dunia yang menjual segala sesuatu, termasuk perlawanan, tulisan ideologis yang otentik adalah tindakan pembangkangan terakhir.
"Jiwa yang Memberontak: Psikologi Penulis yang Menolak Diam dalam Ketidakadilan"
Penulis ideologis bukan sekadar manusia dengan hobi mengetik—mereka adalah arsitek kegelisahan kolektif. Secara psikologis, yang menggerakkan mereka bukan cuma rasa bersalah, melainkan amarah yang terpelajar. Amarah terhadap sistem yang memaksa petani menjual tanahnya untuk sesuap nasi, terhadap guru honorer yang digaji di bawah UMR sementara pejabat korup berpesta di balik tembok istana. Mereka menulis bukan karena ingin disebut pahlawan, tetapi karena diam adalah bentuk persekongkolan dengan kejahatan.
Tapi di sini letak paradoksnya: semakin mereka menulis untuk melawan, semakin mereka menyadari betapa kecilnya diri di hadapan mesin ketidakadilan yang raksasa. Inilah yang Freud sebut sebagai melankolia politik—kondisi di mana kepekaan terhadap penderitaan orang lain justru menjadi racun bagi kesehatan mental. Namun, dari sanalah kekuatan mereka muncul: menulis sebagai terapi perlawanan. Setiap kata adalah upaya menyembuhkan luka yang tidak hanya milik diri sendiri, tetapi juga luka bangsa yang belum kering sejak kolonialisme.
Contoh nyata? Lihat karya-karya Andrea Hirata yang menyelipkan kritik pendidikan dalam cerita romantis, atau Eka Kurniawan yang mengubur satire politik di balik dongeng realisme magis. Mereka tidak menangis di media sosial, tetapi meneteskan air mata ke dalam tinta.
Ketika Kata-Kata Menjadi Pisau Bedah Kapitalisme
Dalam perspektif sosiologis, tulisan ideologis adalah kartografi kekuasaan—peta yang menandai di mana ranjau korupsi ditanam, di mana aliran dana haram mengalir, dan di mana suara rakyat dibungkam. Ia bukan cermin yang pasif, melainkan palu yang menghancurkan ilusi "masyarakat adil makmur" versi penguasa.
Lihatlah bagaimana tulisan jurnalistik membongkar skandal korupsi e-KTP yang menggoyang kursi elite politik, atau puisi Rendra yang pada 1970-an sudah berteriak: "Kita adalah bangsa pengemis di tengah kekayaan alam." Tulisan-tulisan ini tidak lahir dari ruang kosong. Ia adalah produk dari keterasingan sosiologis: ketika penulis menyadari bahwa mereka hidup di tengah masyarakat yang sakit, tetapi elite hanya sibuk meracuni rakyat dengan tontonan entertainment dan utang luar negeri.
Ironisnya, di era media sosial, kritik sosial sering dikemas sebagai konten infotainment. Kasus korupsi dijadikan clickbait, isu kemiskinan dijual sebagai virality challenge. Di tengah banjir informasi, tulisan ideologis harus berperang melawan dua musuh: penguasa yang menindas dan masyarakat yang keburu mati rasa.
Ritual Perlawanan di Tengah Gempuran Konten Instan
Bagi penulis ideologis, menulis bukan sekadar aktivitas—ia adalah ritual pemurnian diri. Bayangkan seorang penulis yang mengetik di tengah malam, ditemani secangkir kopi pahit dan deru kipas laptop yang panas. Setiap kata yang ia pilih adalah perlawanan terhadap budaya instan: menolak menggunakan AI writer, menolak mengejar trending topic, menolak menulis kalimat kosong seperti "Selamat pagi, semangat terus ya!"
Ini adalah praktik zen modern: meditasi melalui keheningan kata-kata. Tapi jangan salah—ini bukan romantisme. Ini aksi mogok kreatif terhadap sistem yang memaksa penulis menjadi budak algoritma. Ketika semua orang mengejar durasi baca 15 detik, penulis ideologis sengaja menciptakan esai panjang yang memaksa pembaca berpikir. Ketika semua konten dirancang untuk scroll, mereka menulis paragraf yang harus dibaca pelan-pelan, seperti menyantap nasi di tengah kelaparan.
Proses ini seringkali menyakitkan. Ada saat di mana penulis terjebak dalam krisis makna: "Untuk apa aku menulis jika yang membaca cuma 10 orang?" Tapi di situlah letak heroismenya: menulis bukan untuk audiens, tetapi untuk mempertahankan kemanusiaan yang sedang dicabik sistem.
Membongkar Diri Pembaca: Cermin yang Memaksa Anda Melihat Wajah Asli
Lalu, di mana peran pembaca dalam ekosistem ini? Tulisan ideologis yang progresif tidak ingin membuat Anda nyaman. Ia ingin menyodorkan cermin dan berteriak: "Lihat! Kau adalah bagian dari masalah ini!"
Saat Anda membaca tentang nelayan yang kehilangan laut karena reklamasi, ia ingin Anda bertanya: "Apartemen mewah mana yang kutinggali sekarang?"
Saat Anda tergugah oleh kisah anak jalanan yang putus sekolah, ia menuntut lebih dari sekadar air mata: "Apa yang akan kau lakukan besok?"
Inilah yang membedakan tulisan ideologis dengan konten sensasional: ia tidak ingin viral, tetapi ingin menginfeksi kesadaran. Seperti virus yang diam-diam menggerogoti kepasrahan, hingga suatu hari pembaca bangun dan sadar: "Aku tidak bisa lagi diam."
Menulis atau Jadi Boneka—Pilihan yang Menentukan Nasib Peradaban
Setiap kali Anda menulis (atau memilih tidak menulis), Anda sedang menentukan wajah dunia. Di era di semua hal bisa dikapitalisasi—bahkan perlawanan—tulisan ideologis adalah benteng terakhir yang menjaga api kritik tetap menyala.
- Tapi jangan terjebak ilusi: menulis progresif bukan tentang gaya bahasa yang bombastis atau kutipan filsuf Eropa. Ia tentang keberanian mengangkat isu yang dianggap tidak seksi oleh pasar: konflik agraria, krisis iklim yang diremehkan, atau kekerasan terhadap perempuan di ruang digital.
- Pilihan ada di tangan Anda: menjadi penulis yang membius masyarakat dengan konten sampah, atau menjadi tukang pahat yang mengukir kesadaran baru di batu zaman yang beku. Ingat: sejarah tidak akan mencatat mereka yang pandai mengejar algoritma, tetapi mereka yang menulis dengan darah dan api.
Dan darah itu—sekarang Anda tahu—bisa mengalir dari keyboard yang paling sederhana.
Di Mana Keduanya Bertemu? Mencari Titik Temu dalam Labirin Kata-Kata
Lalu, apakah idealisme dan pragmatisme harus selalu bertolak belakang? Tidak selalu. Sejarah literasi dunia menunjukkan bahwa tulisan yang mengubah zaman sering kali lahir dari perpaduan keduanya.
Penulis yang Memadukan Jiwa dan Pasar
Ambil contoh penulis seperti Yuval Noah Harari. Buku Sapiens bukan sekadar analisis sejarah, tetapi juga produk pasar yang dirancang dengan riset mendalam. Ia menggunakan narasi filosofis yang dalam, tetapi dikemas dengan gaya bahasa populer dan struktur yang ramah pembaca awam. Hasilnya? Buku itu laku jutaan kopi dan memicu diskusi global tentang masa depan manusia.
Strategi Menyeimbangkan Idealisme dan Pragmatisme
- Layered Writing – Menyisipkan pesan ideologis dalam kemasan yang menarik. Misalnya, artikel tentang lingkungan bisa dibungkus dengan judul "7 Kebiasaan Sepele yang Bisa Selamatkan Bumi".
- Segmentasi Karya – Memisahkan proyek idealis (buku, esai panjang) dengan proyek komersial (konten SEO, copywriting).
- Kolaborasi – Bekerja dengan editor atau tim pemasaran yang bisa menerjemahkan ide-ide berat ke dalam bahasa pasar.
Merangkul Paradoks
Filsuf Søren Kierkegaard pernah mengatakan, "Hidup adalah paradoks yang harus dijalani, bukan dipecahkan." Begitu pula dengan menulis. Penulis yang bijak adalah yang mampu merangkul kedua motivasi ini tanpa merasa terkotak-kotak. Menulis untuk memengaruhi pikiran orang lain tetaplah mulia, sekalipun harus memakai judul clickbait.
Masa Depan Menulis—Apakah Idealisme Akan Punah?
Di tengah gempuran konten instan dan AI-generated text, banyak yang pesimis: Akankah tulisan ideologis bertahan? Jawabannya kompleks.
Ancaman dan Peluang di Era AI
Teknologi seperti ChatGPT mampu menghasilkan ribuan artikel dalam hitungan detik. Tapi, AI tidak punya hati nurani. Ia tidak bisa menulis dengan "jiwa". Di sinilah peluang penulis ideologis: menghasilkan karya yang tidak hanya informatif, tetapi juga menyentuh dimensi manusiawi.
Menulis sebagai Praktik Kebudayaan
Menulis, pada hakikatnya, adalah ritual kebudayaan. Ia tidak akan mati selama manusia masih punya kisah untuk diceritakan. Yang berubah hanyalah mediumnya. Dulu, tulisan diukir di prasasti; sekarang, ia bisa berupa thread Twitter atau blog pribadi. Esensinya tetap sama: menyampaikan pesan.
Panggilan Terakhir untuk Penulis
Jika Anda ingin menulis demi perubahan, tetaplah menulis. Jika Anda harus menulis demi sesuap nasi, tetaplah jujur pada diri sendiri. Yang terburuk bukanlah menjadi penulis pragmatis, tetapi menjadi penulis yang kehilangan suara—yang menulis tanpa tahu mengapa.
Sebuah Surat Cinta untuk Para Penulis
Saya tidak akan memberi Anda jawaban pasti. Hidup ini terlalu rumit untuk dikotak-katikan. Tapi, izinkan saya berbagi satu hal: Setiap kali Anda menulis—entah itu puisi, artikel SEO, atau status media sosial—Anda sedang menorehkan jejak keabadian. Kata-kata Anda mungkin terlupakan, tapi energi di baliknya akan tetap hidup.
Menulislah dengan keras kepala, tetapi juga dengan kerendahan hati. Menulislah seolah-olah besok Anda akan mati, tetapi juga seolah-arkan karya Anda akan dibaca ratusan tahun mendatang. Di tengah pertarungan antara idealisme dan pragmatisme, satu hal yang pasti: Anda sudah menulis. Dan itu saja cukup untuk membuat dunia sedikit berbeda.
Posting Komentar untuk "Alasan Ideologis Menulis Vs Alasan Menulis Pragmatis: Sebuah Pertarungan dalam Diri Setiap Penulis"