Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Atas Nama Subsidi Pendidikan dan Fasilitas Orang Tua, Lebih baik cepat Lulus kuliah, kerja, Menikah.

 

Atas Nama Subsidi Pendidikan dan Fasilitas dari Orang Tua, lebih baik cepat lulus, kerja, menikah, generasi yang terperangkap dalam skema belas kasih Gambar : gorbysaputra.com
Atas Nama Subsidi Pendidikan dan Fasilitas dari Orang Tua, lebih baik cepat lulus, kerja, menikah, generasi yang terperangkap dalam skema belas kasih
Gambar : gorbysaputra.com

"Batu Tulis di Atas Pasir: Generasi yang Terperangkap dalam Skema Belas Kasih"

"Ketika Subsidi Menjadi Jeruji, Lulus Hanya Sebuah Pelarian"

Baiknya sebelum dibaca sampai selesai siapkan mata dan hatimu

Indah betul hari-hari yang dilalui oleh beberapa jenis mahasiswa/I yang hidup dari subsidi Pendidikan negara seperi KIP, dari Badan Amil Zakat (Baznas), hingga jatah kuota dari pemerintah local atau dari fasilitas orang tua, dari hari ke hari menjalankan rutinitas hidup dan perkuliahan yang seolah tanpa rasa bersalah.

menikmati subsidi Pendidikan mau itu dari negara berbentuk KIP, dari Lembaga zakat berbentuk beasiswa Baznas, dan jatah kuota dari pemerintah local kuliah datang, duduk, mengerjakan tugas kuliah copy paste, jarang bertanya, persentasi tak ada ubahnya membaca teks tanpa mempelajarinya terlebih dahulu.

pulang kuliah istirahat, rebahan scroll media sosial, main game, senang-senang, berbeda dengan mahasiswa yang hidup serba dari fasilitas orang tua, privilege keluarga, dari kendaraan untuk kuliah, alat belajar seperti laptop, sampai biaya kuliah serba di sediakan. 

namun dibalik itu semua ada sebuah paradoks, ironi, Ketika kampusnya sendiri sepi, organisasi mahasiswa di kampusnya di abaikan, di acuhkan, bahkan di pandang dengan membandingkan dengan kampus lain tanpa mau dialog atau sudah berpandangan seakan apa itu organisasi mahasiswa? ngapain ikut? kumpul-kumpul gak jelas aja, mending pulang, atau bertameng dengan tugas kuliah numpuk, acara di rumah berbasis agama, memaksa logika atas nama susah izin orang tua, Jarak rumah jauh.

Sejatinya pernahkah bertanya bagi kamu yang dapat subsidi Pendidikan dari negara seperti KIP, dari Lembaga amal atau zakat, dari pemerintah local, itu dari pajak rakyat, dari zakat ummat, dan kamu harus bertanggung jawab atau memberikan timbal balik kepada kampus, dan masyarakat, atau lebih menyeramkan akan diminta pertanggung jawaban kelak di akhirat.

atas subsidi itu semua yang sudah kamu nikmati, namun kamu seolah acuh, pongah, congkak, angkuh sombong, terlalu banyak alasan atau menjadikan kemiskinan sebagai tameng untuk enggan ikut serta aktif di kampus bahkan hanya sekedar formalitas semata, tanpa menyadari betul-betul persaingan di luar sana setelah lulus itu ketat, tidak cukup hanya modal ijazah semata.

Bagi kamu yang menikmati fasilitas orang tua atau wali kamu untuk kuliah dari ujung kepala sampai kaki, pernahkah kamu berpikir hari-hari yang kamu lalui itu dengan seakan normal bagi kamu, padahal dengan abai, acuh, enggan, merasa bukan passion, dalam hal tidak mau aktif di kampus melalui organisasi mahasiswa atau acara-acara kampus, hidup seolah cukup datang, duduk, dengarkan dosen, pulang ke rumah atau kost atau mencari tempat senang-senang, padahal itu sejatinya kamu sedang durhaka tanpa sadar, menabung dosa-dosa kecil tanpa sadar.

Cobalah untuk refeleksi diri, pahami dirimu sendiri apa yang salah dari pikiran dan jiwa mu?

Kalau kamu beragama harusnya bukan pongah, acuh, abai, tidak produktif, tidak Amanah dalam menerima itu semua kan?

Dari Pundi-Pundi ke Podium Sunyi

Di antara debu kampus yang dipenuhi spanduk seminar usang, berjalanlah sosok-sosok dengan tas berisi laptop subsidi, mata tertunduk, dan langkah cepat. 

Mereka adalah produk dari sistem yang menjanjikan “kesempatan” namun melupakan “kesadaran”. Seperti kata Paulo Freire, “Pendidikan yang membebaskan bukanlah deposisi fakta, melainkan dialektika.” Tapi di sini, dialektika mati di depan pintu ruang kuliah.

Kartu Pintar, Jiwa yang Terkunci: Ironi di Balik KIP dan Zakat

“Subsidi pendidikan adalah pisau bermata dua,” “Ia bisa membuka pintu, sekaligus mengunci ruang gerak.” 

Mahasiswa penerima KIP atau zakat seringkali terjebak dalam kontrak tak tertulis: lulus cepat, atau subsidi dicabut. Mereka menjadi robot yang mengejar IPK, sementara organisasi kampus dianggap sebagai “hantu pengganggu SKS”.

James C. Scott dalam “Weapons of the Weak” mengungkap bagaimana kelompok marginal menggunakan ketidakpatuhan halus sebagai bentuk resistensi. 

Tapi di sini, ketidakpatuhan itu justru ditujukan pada diri sendiri: menolak bergaul, enggan berdiskusi, dan memilih pulang cepat. Mereka lupa bahwa modal sosial—seperti diingatkan Putnam—adalah mata uang yang tak tergantikan.

"Kau bawa KIP di dompet, tapi jiwa kosong di rak sepatu,

Zakat mengalir dari masjid, tapi gagasan mati di pintu kelas.

Lulus cepat, kerja, nikah—ritual tanpa makna,

Kau pikir itu kebebasan, atau kuburan berpagar ijazah?"

Dari Motor Hingga Laptop Subsidi, Pikiran yang Mandek: Ketika Fasilitas Menjadi Penjara

Mahasiswa dengan Motor dan laptop dari orang tua atau negara seringkali seperti burung dalam sangkar emas. 

Mereka mengutuk kemiskinan, tapi menjauh dari gerakan yang memperjuangkannya. “Mereka yang terlahir di atas kapal cenderung tak pernah belajar berenang,” 

Margaret Mead dalam risetnya, masyarakat tradisional mengajarkan bahwa kedewasaan dimulai dari partisipasi dalam ritus kolektif. 

Tapi di kampus-kampus, ritus itu diganti dengan nongkrong di kafe ber-WiFi gratis.

Mereka yang seharusnya menjadi agent of change malah menjadi agent of scroll, sibuk di media sosial sambil mengeluh tentang “tugas menumpuk”.

“Generasi ini mengira kritik sosial cukup dengan membagikan meme, lalu merasa sudah revolusioner.”

Orang Tua Pontang-Panting, Anak-anak Berpesta di Zona Nyaman

Di balik subsidi orang tua yang membiayai laptop, motor, dan buku, tersembunyi tragedi yang diungkap Erich Fromm: “Cinta yang tak sehat melahirkan ketergantungan patologis.” 

Anak-anak ini tumbuh sebagai “pangeran kecil” yang takut pada realitas. Mereka menghindari organisasi karena takut konflik, lalu bersembunyi di balik alasan “izin orang tua” atau “tugas menumpuk”.

Yuval Noah Harari dalam “21 Lessons for the 21st Century” memperingatkan: “Skill tanpa empati hanya akan melahirkan mesin, bukan manusia.” 

Tapi bagaimana memiliki empati jika mereka tak pernah duduk bersama teman-teman kampus yang berbeda ideologi?

"Ayahmu banting tulang, Ibumu jual tenaga,

Kau beli buku tapi tak dibaca, hanya pajang di meja.

Kata mereka: ‘Luluslah cepat, jangan seperti kami!’

Tapi kau malah jadi robot, tanpa jiwa, tanpa api."

Kampus Sepi, Negara Senyum: Subsidi sebagai Alat Pembius

Apakah negara ikut bersalah? Program subsidi pendidikan—seperti KIP—adalah pedang bermata dua.

Di satu sisi, ia membuka akses; di sisi lain, ia menciptakan generasi yang apolitis. Seperti dikritik ekonom Ha-Joon Chang: “Kebaikan negara kapitalis seringkali adalah racun yang dibungkus kertas hadiah.”

David Harvey dalam “A Brief History of Neoliberalism” mencatat bagaimana kebijakan subsidi bisa menjadi alat kontrol. Mahasiswa penerima bantuan takut protes karena khawatir dana diputus. Hasilnya? Kampus-kampus sunyi dari kritik, BEM hanya jadi pajangan, dan diskusi diganti dengan webinar berbayar.

“Jika Socrates hidup hari ini, dia akan di-DO karena terlalu banyak bertanya di kelas.”

Menjadi Manusia, Bukan Mesin Lulus

Realitas ini bukan takdir. Seperti ditulis penyair Wiji Thukul: “Hanya ada satu kata: lawan!” Lawan bukan dengan bom atau spanduk, tapi dengan membuka mata: bahwa kampus adalah laboratorium kehidupan.

Carl Rogers berpesan: “Diri yang otentik lahir dari keberanian menghadapi ketidaknyamanan.” Berhentilah menjadikan subsidi sebagai tameng untuk bersembunyi. Organisasi, diskusi, bahkan konflik di kampus adalah sekolah kedua yang tak bisa di-SKS-kan.

"Subsidi boleh datang dari langit,

Tapi jiwa harus dibakar, bukan diam di kamar.

Kau bukan mesin cetak ijazah,

Tapi manusia—dengan darah, luka, dan suara."

Posting Komentar untuk "Atas Nama Subsidi Pendidikan dan Fasilitas Orang Tua, Lebih baik cepat Lulus kuliah, kerja, Menikah."