Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Banyak Tau Namun Tidak Mendalam : Manusia Postomoderinsme

 

Ilustrasi Manusia Postomodernisme Menari di Antara Paradoks Pengetahuan Gambar : gorbysaputra.com
Ilustrasi Manusia Postomodernisme Menari di Antara Paradoks Pengetahuan
Gambar : gorbysaputra.com

“Kita hidup di zaman di mana informasi bertebaran bak debu kosmik—terang benderang, menyilaukan—namun jarang menembus lapisan paling dalam jiwa manusia.”

Kilasan Cahaya di Tengah Kabut

Pernahkah Anda membuka ponsel, menatap layar sejenak, lalu tiba-tiba terhanyut ke dalam pusaran notifikasi? 

Di sanubari, ada bisik halus: “Aku harus tahu ini, itu, dan segalanya.” Namun setelah merambah ratusan judul artikel, apa yang benar-benar kita pahami? Fenomena manusia postomoderinsme menampakkan paradoks: kaya akan data, tetapi miskin makna mendalam. Kita laksana pelancong di kota besar yang gemerlap—melihat façade megah, tapi tak pernah menyusuri lorong batinnya.

Ciri-Ciri Manusia Postomoderinsme

Akumulasi Informasi Tanpa Kedalaman

“Postmodernisme adalah ketidakpercayaan terhadap metanarasi.”

Lyotard mengingatkan kita: metanarasi—cerita besar yang memberi makna universal—telah runtuh. 

Alih-alih merajut narasi panjang, kita mengumpulkan potongan-potongan fakta singkat: tweet, story, headline. Hasilnya, wawasan kita selebar feed media sosial, tetapi kerap rapuh saat diuji konteks lebih luas.

Identitas Labil dan Fragmentasi Diri

Zygmunt Bauman berbicara tentang “liquid modernity”—kehidupan cair di mana identitas terus berubah sesuai selera pasar dan tren digital. 

Kita berganti persona: selebritas di Instagram, aktivis di Twitter, kritikus di TikTok—semua dalam hitungan detik. Namun, siapa “aku” di balik layar? Apakah ada satu inti diri yang konsisten, atau hanya fragmen-fragmen yang saling bertubrukan?

Skeptisisme dan Ironi sebagai Pelindung Diri

“Ironi adalah baju zirah terkuat di medan informasi ini.”

Kita memegang ironi sebagai senjata: menertawakan konspirasi, mencemooh klaim otoritas, tetapi jarang menempatkan diri dalam posisi vulnerabel untuk bertanya, “Mengapa aku percaya ini?” Skeptisisme telah berubah menjadi defensif: melindungi ego dari kekecewaan, tetapi juga menghalangi keinginan tulus mencari jawaban.

Mengapa Kita Hanya “Banyak Tau”

Overstimulasi dan Permainan Dopamin

Menurut Norman Doidge, otak kita dirancang untuk merespons rangsangan baru dengan lonjakan dopamin. Setiap notifikasi adalah hadiah kecil. Namun, hadiah instan ini membuat kita malas menyelami bacaan panjang atau refleksi mendalam—karena otak semakin haus pada sensasi baru, bukan pemahaman jangka panjang.

Kecemasan Pilihan (Choice Anxiety)

Barry Schwartz menegaskan: semakin banyak opsi, semakin besar kecemasan. Di era digital, opsi informasi tak terbatas: artikel, video, podcast. Kita takut melewatkan sesuatu—lalu menghirup semuanya setengah hati. Akhirnya, pengetahuan kita selebar permukaan, bukan rendah pekat.

Jejaring Tanpa Ikatan Erat

Komunitas Virtual vs. Kebersamaan Nyata

Anthony Giddens berbicara tentang disembedding—proses di mana interaksi sosial terlepas dari konteks lokal. Media sosial menciptakan komunitas virtual: ribuan “teman” dan “pengikut”. Namun ikatan emosional sering dangkal. Kita berbagi meme, tapi jarang berbagi keresahan terdalam.

Kapitalisme Simbolik dan Alienasi

Pierre Bourdieu menjelaskan bagaimana modal simbolik (like, share, follower) menjadi mata uang baru. 

Kita berlomba mengumpulkan modal ini—padahal seringkali mengorbankan keaslian. Alienasi muncul ketika citra diri online jauh dari realitas batin; kita terasing dari diri sejati.

Budaya Snapshots

Simulacra dan Kehidupan Hipereal

Jean Baudrillard memperkenalkan konsep simulacra—tiruan tanpa realitas asal. Foto-foto estetik di Instagram bukan sekadar dokumentasi, melainkan realitas yang dipoles. 

Kita hidup dalam hipereal: kenyataan yang dibentuk oleh representasi, hingga asli dan tiruan sukar dibedakan.

Ritual Digital dan Makna Kolektif

Clifford Geertz menekankan pentingnya ritual dalam membangun makna budaya. Postmodernisme merayakan micro-ritual: scrolling malam hari, live-streaming unboxing, challenge viral. 

Namun, apakah ritual ini memberi makna mendalam, atau hanya hiburan sesaat?

Ilustrasi Banyak Tau Namun Tidak Mendalam: manusia Postomodernisme Gambar : gorbysaputra.com
Ilustrasi Banyak Tau Namun Tidak Mendalam: manusia Postomodernisme
Gambar : gorbysaputra.com

Drama Kehidupan Sehari-hari: Antara Hiruk dan Hening

Bayangkan pagi hari Anda terbangun. Ponsel berdenting—berita politik, gosip selebritas, kabar influencer. 

Anda membaca sepintas, lalu bergegas bekerja. Sepulangnya, Anda menonton rangkaian video pendek, tertawa lepas, kemudian terlelap. 

Keesokan harinya, pola itu terulang. Siklus informasi tanpa henti ini mengisi hari, tetapi jarang menyisakan ruang untuk renungan. Anda banyak tahu, tetapi tak pernah meresapi.

Titik Balik: Menuju Kedalaman yang Terkikis

Praktik Refleksi Digital

Daripada menelan setiap notifikasi, luangkan waktu “detoks informasi”: satu jam tanpa layar, menulis jurnal, atau membaca esai panjang. Seperti Nietzsche menyarankan: “Become who you are”—kenali lapisan terdalam diri, bukan hanya cermin digital.

Memelihara Narasi Pribadi

Lyotard berkata, “Kita membutuhkan narasi kecil (petites récits) untuk memberi makna.” 

Ciptakan narasi harian: apa yang benar-benar penting bagi Anda? Tuliskan, bagikan dengan lingkaran terbatas, dan rawat diskusi mendalam—bukan sekadar like.

Sebuah Tanya Terbuka

Akhirnya, kegemparan data ini menuntut satu pertanyaan sederhana: 

  • “Apa yang akan aku lakukan dengan segala informasi ini?” 
  • Apakah hanya menimbun, atau mengolah menjadi hikmah? 

Manusia postomoderinsme hidup di persimpangan: antara tiruan dan realitas, antara hiruk pikuk notifikasi dan keheningan batin. 

Jalan tengah mungkin hanya bisa ditempuh oleh mereka yang berani menepi sejenak, menatap jauh ke dalam diri, dan berkata: “Cukuplah aku banyak tahu, kini aku ingin mengerti.”

Posting Komentar untuk "Banyak Tau Namun Tidak Mendalam : Manusia Postomoderinsme"