Dilema Body Maintenance Vs Pemanjaan Diri Atas Iklan yang Muncul: Ekses Postmodernisme
![]() |
Ilustrasi Dilema Of Body Maintenance Vs Self-Pampering From Advertisements That Appear The Excess of Postomodernism Gambar : gorbysaputra.com |
Di tengah hiruk-pikuk iklan yang menjanjikan kesempurnaan, kita terjebak dalam labirin ironi: semakin ingin merdeka, semakin terikat pada standar yang tak pernah kita setujui. Bagaimana lifestyle, seni, arsitektur, dan komunikasi—elemen yang seharusnya memanusiakan—justru menjadi alat untuk menciptakan dilema baru?
Lifestyle: Performa yang Disalahartikan sebagai Identitas
Postmodernisme mengubah gaya hidup menjadi panggung teatrikal. Setiap unggahan Instagram tentang coffee shop minimalis, pakaian thrift, atau liburan "hidden gem" seolah menjadi bukti bahwa kita "berpikir berbeda".
Tapi, bukankah ini ironi? Ketika ribuan orang berusaha tampil "unik", mereka justru terperangkap dalam pola yang sama: aesthetic yang disepakati algoritma.
Apakah gaya hidup kita hari ini benar-benar pilihan, atau sekadar tiruan dari apa yang dianggap "layak" oleh algoritma?
Lihatlah fenomena digital nomad yang dijual sebagai simbol kebebasan. Di balik foto pantai dan laptop, ada bayangan kerja tak kenal waktu dan isolasi sosial.
Di mana letak kebebasan ketika kita mengganti kantor konvensional dengan kafe yang dipenuhi orang-orang dengan pose serupa?
Lifestyle postmodern menjanjikan otonomi, tapi pada praktiknya, ia adalah katalog pilihan yang sudah dikurasi. Kita memilih veganisme, mindful living, atau minimalism dari menu yang disediakan pasar. Lalu, bagaimana mungkin kita merasa otentik jika semua "keputusan" kita telah dibingkai oleh iklan?
Seni: Kritik yang Dijual Kembali ke Pasar
Seni postmodern lahir sebagai kritik terhadap kemapanan, tapi kini ia menjadi komoditas paling laris. Karya Banksy yang mengejek kapitalisme dilelang miliaran rupiah. Lukisan abstrak tentang kesepian manusia modern dipajang di apartemen mewah sebagai simbol status.
Apakah seni masih bisa disebut "subversif" ketika ia menjadi bagian dari sistem yang dikritiknya?
Di galeri-galeri kontemporer, seni instalasi tentang kerusakan lingkungan dibuat dengan bahan-bahan mewah yang justru merusak bumi. Pelukis jalanan yang dulu melawan kemapanan kini bermitra dengan merek streetwear. Di sini, paradoks menganga: seni yang ingin membebaskan justru memperkuat rantai konsumerisme.
Ketika kita membeli karya seni mahal, apakah kita sedang mendukung ekspresi kreatif, atau sekadar membeli tiket masuk ke kelas sosial yang diidamkan?
Arsitektur: Ruang Hidup yang Dibangun untuk Ditampilkan, Bukan Dihuni
Arsitektur postmodern menjual konsep "hunian ideal" sebagai kombinasi antara estetika Instagrammable dan fungsi yang diromantisasi. Apartemen dengan dinding bertekstur exposed concrete dan tanaman hias monstera di setiap sudut lebih mirip studio foto ketimbang rumah.
Tapi, siapa yang peduli jika hunian itu tak nyaman selama foto-fotonya viral?
Lihatlah tren co-living space yang mengklaim mempromosikan kebersamaan. Tapi, desainnya justru memisahkan penghuni dengan sekat-sekat transparan—bersama tapi tak benar-benar terhubung.
Apakah arsitektur kini lebih fokus pada kemasan daripada esensi "tempat tinggal"?
Ironinya, semakin kita membangun ruang untuk "koneksi manusia", semakin kita merasa terasing. Perumahan elit dengan taman vertikal dan fasilitas wellness justru menjadi menara gading yang mengisolasi penghuninya dari realitas sosial di sekitarnya.
Di mana letak humanisme ketika desain arsitektur hanya bisa diakses oleh mereka yang sanggup membayar?
Komunikasi: Terhubung Tanpa Pernah Benar-benar Bertemu
Postmodernisme mengubah komunikasi menjadi simulasi. Kita berbicara melalui emoji, ekspresi diri melalui filter, dan mendefinisikan hubungan lewat jumlah like.
Tapi, bukankah ini paradoks? Semakin banyak platform yang menjanjikan kedekatan, semakin dalam rasa kesepian yang kita rasakan.
Media sosial mengklaim mempersatukan suara, tapi algoritmanya justru mengurung kita dalam echo chamber—ruang di mana semua orang setuju dengan kita.
Apakah ini yang disebut "kebebasan berpendapat", atau sekadar ilusi keberagaman?
Lihatlah bagaimana diskusi tentang isu sosial direduksi menjadi caption 280 karakter yang lebih mementingkan estetika tulisan daripada kedalaman argumen.
Ketika kita bisa mengirim hati virtual ke seseorang di belahan bumi lain, mengapa kita tak sanggup lagi mendengarkan tetangga yang sedang bersedih?
Di Mana Letak "Kita" dalam Labirin Postmodern Ini?
Lifestyle, seni, arsitektur, dan komunikasi postmodern menjanjikan kemajuan, tapi di baliknya tersembunyi pertanyaan yang tak pernah terjawab:
- Jika gaya hidup adalah performa, kapan kita bisa berhenti berakting?
- Bagaimana seni bisa mengkritik sistem jika ia adalah produk sistem itu sendiri?
- Apakah ruang hidup yang kita bangun justru menghancurkan makna "bermukim"?
Ketika komunikasi jadi semudah klik, mengapa memahami orang lain terasa semakin sulit?
Mencari Celah di Antara Retakan Kemasan
Postmodernisme adalah cermin retak yang memantulkan bayangan kita dalam seribu potongan. Di balik kemasan lifestyle yang instagrammable, seni yang terjual mahal, arsitektur yang steril, dan komunikasi tanpa kedalaman, ada pertanyaan yang menggigit:
Apakah kita masih punya ruang untuk menjadi manusia yang utuh—bukan sekadar kumpulan preferensi yang dikurasi algoritma?
Mungkin jawabannya tidak ada di dalam iklan atau tren terbaru. Mungkin ia ada di sela-sela kesadaran bahwa setiap kali kita membeli, memposting, atau mendesain, kita sedang memilih: tetap menjadi aktor dalam sandiwara postmodern, atau keluar dari panggung dan bertanya, "Apa yang tersisa ketika semua kemasan ini kucopot?".
Posting Komentar untuk "Dilema Body Maintenance Vs Pemanjaan Diri Atas Iklan yang Muncul: Ekses Postmodernisme"