Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Identitas Diri Tergantung Atas Apa yang Dikonsumsi: Ekses Postmodernisme yang Menjerat

 

Ilustrasi Identitas Diri Tergantung Atas Apa yang Dikonsumsi : Ekses Postomodernisme yang menjerat Gambar : gorbysaputra.com
Ilustrasi Identitas Diri Tergantung Atas Apa yang Dikonsumsi : Ekses Postomodernisme yang menjerat
Gambar : gorbysaputra.com

Ketika Membeli Kopi Artisanal Bukan Lagi Tentang Haus, Tapi Tentang Menjadi "Seseorang"

Kita Semua adalah Barang Dagangan yang Berjalan

Di sudut kota, seorang pemuda membeli kopi seharga tiga hari gajinya. Di layar ponselnya, deretan story Instagram memamerkan cangkir itu dengan tagar #ThirdWaveCoffee. 

Ia tidak haus. Ia hanya ingin eksis. Jean Baudrillard mungkin akan tertawa getir: “Konsumsi bukan lagi tentang memenuhi kebutuhan, tapi tentang memproduksi tanda.” 

Di era di mana identitas diri terbelah antara apa yang kita konsumsi dan apa yang kita pikir tentang diri sendiri, bisakah kita masih membedakan keduanya?

Ketika Realitas Menjadi Hiperrealitas

Dari Marx ke TikTok: Kapitalisme yang Menyamar sebagai Kebebasan

“Kamu adalah apa yang kamu konsumsi,” bisik iklan di tiap sudut jalan. Tapi siapa sebenarnya yang mendikte selera kita? 

Jika Marx mengkritik fetisisme komoditas sebagai penyembahan benda mati, postmodernisme membawanya ke tingkat yang lebih absurd: benda-benda itu kini menyembah kita. 

Baudrillard menyebutnya hiperrealitas—dunia di mana citra lebih nyata daripada realitas itu sendiri. Starbucks bukan sekadar kedai kopi, melainkan lifestyle; iPhone bukan alat komunikasi, melainkan simbol status.

Zygmunt Bauman menggambarkan manusia modern sebagai “konsumen yang terdampar dalam lautan pilihan”. 

Kita bebas memilih, tapi kebebasan itu palsu. Setiap pilihan—mulai dari merek pakaian hingga aliran musik—dikurung oleh algoritma yang membaca keinginan kita lebih baik daripada diri kita sendiri. “Konsumerisme adalah agama baru,” tulis Bauman, “dan mal perbelanjaan adalah katedralnya.”

Jika identitasmu adalah koleksi barang yang kamu beli, lalu di mana batas antara “aku” dan “iklan”?

Konsumerisme sebagai Agama: Ritual, Pengakuan, dan Kematian Diri

Selfie di Depan Mona Lisa: Seni sebagai Alat Pencitraan

Di Louvre, seorang turis menghabiskan 30 detik memandangi Mona Lisa—lalu 30 menit mengatur pose untuk foto. Erich Fromm membedakan dua modus eksistensi: memiliki (having) dan menjadi (being). Postmodernisme, menurutnya, adalah puncak dari budaya having: kita mengukur nilai diri lewat kepemilikan, bukan esensi.

Arjun Appadurai menambahkan: globalisasi telah mengubah konsumsi menjadi “imajinasi yang terkomodifikasi”. Kita membeli sneaker limited edition bukan karena kualitasnya, tapi karena mimpi menjadi bagian dari komunitas eksklusif. “Konsumsi adalah bahasa baru untuk berbicara tentang diri,” katanya, “tapi kosakatanya ditulis oleh korporasi.”

“Kita membeli barang yang tidak kita butuh, dengan uang yang tidak kita punya, untuk mengesankan orang yang tidak kita sukai.” —Dave Ramsey, tapi seolah dirumuskan untuk generasi Instagram.

Digital Identity: Avatar yang Menjadi Tuan, Manusia yang Menjadi Budak

Like, Share, Subscribe: Kontrak Sosial Baru yang Tak Tertulis

Kita Semua tau bahwasanys sekarang tidak sedikit influencer membeli 10.000 follower palsu. Ia tahu itu bohong, tapi algoritma tidak peduli—yang penting engagement. 

Jean Twenge mengatakan generasi yang lahir setelah 1995 mengukur harga diri dari jumlah like. “Mereka tidak depresi karena dunia nyata,” tulisnya, “tapi karena dunia virtual terlalu sempurna untuk ditandingi.”

Byung-Chul Han menyebut ini “kapitalisme emosional”: kita menjual kepribadian, kisah hidup, bahkan kelemahan, sebagai komoditas

“Self-exploitasi adalah bentuk kontrol paling halus,” katanya. Platform seperti TikTok dan Instagram mengubah identitas menjadi content—sesuatu yang harus diproduksi, dikemas, dan dijual.

Semakin banyak kita curhat di media sosial, semakin sedikit yang benar-benar mengenal kita.

Antara Kebebasan Palsu dan Jerat Produktivitas

Freelance, Hustle Culture, dan Mimpi yang Dijual sebagai Liberasi

“Jadilah bos untuk dirimu sendiri!” atau "HRD Nunggu kamu loh sayang di lewatkan" seru iklan platform freelance. 

David Graeber mengungkap kenyataan pahit: ekonomi gig justru memperbudak pekerja dengan ilusi kebebasan. Tanpa jaminan kesehatan, pensiun, atau liburan, kita berlomba menjual waktu dan kreativitas—persis seperti yang dikritik Marx sebagai “alienasi”.

Guy Standing menambahkan: kelas pekerja modern hidup dalam ketidakpastian kronis. “Mereka bekerja bukan untuk hidup, tapi untuk bertahan,” tulisnya. Ironisnya, kita menyebut ini “kemajuan”.

Jika identitasmu bergantung pada produktivitas, lalu siapa kamu ketika di-PHK?

Jalan Keluar? Mungkin Tidak Ada. Tapi Mari Bertanya Bersama

Apakah Kita Bisa Berhenti Menjadi Walking Brand?

Slavoj Žižek pernah berkelakar: “Cinta sejati adalah ketika kamu memberi pasanganmu sesuatu yang sama sekali tidak ia inginkan.” Mungkin ini juga metafora untuk melawan konsumerisme: berhenti memberi diri kita apa yang “diinginkan” oleh sistem, dan mulai mencari apa yang benar-benar bermakna.

Carl Rogers mengingatkan: “Diri yang otentik bukanlah apa yang kamu miliki, tapi bagaimana kamu mengalami keberadaanmu.” Tapi di dunia yang memaksa kita menjadi brand, apakah keotentikan masih mungkin?

Yuval Noah Harari menawarkan pertanyaan provokatif: “Jika algoritma mengenalmu lebih baik daripada dirimu sendiri, apakah kamu masih punya kehendak bebas?”

Mungkin Kita Semua Hanya sedang Bermain Sandiwara

Di akhir hari, pemuda tadi masih memegang cangkir kopinya. Ia bertanya-tanya: Apakah aku membeli kopi ini karena aku menyukainya, atau karena aku ingin di-like? Baudrillard mungkin akan menjawab: “Tidak ada bedanya. Dalam hiperrealitas, kepalsuan adalah kebenaran terakhir.”

Tapi di tengah kebisingan ini, mungkin masih ada harapan. Seperti kata Warsan Shire: “Kamu bukanlah mata uang yang perlu dikumpulkan.” Lalu, apa kita berani melepaskan diri dari tumpukan tagihan, notifikasi, dan tagar—dan menjadi manusia lagi?

Pertanyaan yang Mungkin Anda Simpan Setelah Membaca Ini

"Apa bedanya konsumerisme postmodern dengan kapitalisme klasik yang dikritik Marx?"

Marx mengutuk fetisisme komoditas di mana nilai barang dilihat dari "aura magis"-nya, bukan proses produksi. Tapi di era postmodern, seperti dijelaskan Baudrillard, komoditas bukan lagi sekadar barang—ia menjadi tanda yang mewakili identitas. Jika dulu kita membeli apa yang diproduksi, sekarang kita membeli apa yang diimajinasikan. Kapitalisme klasik menjual kebutuhan; kapitalisme postmodern menjual narasi.

Jika Marx hidup hari ini, apakah ia akan menulis Das Kapital atau Das Instagram?

"Apakah mungkin membangun identitas di luar konsumsi di era media sosial?"

Byung-Chul Han menjawab: "Kita terjebak dalam performa tanpa akhir—setiap detik adalah panggung." Media sosial mengubah being menjadi performing. Sherry Turkle mengingatkan: "Koneksi digital seringkali adalah pelarian dari keintiman sesungguhnya." Mungkin jawabannya ada dalam kesadaran untuk memilih diam sesekali—tidak membagikan setiap kopi, tidak mengubah momen pribadi menjadi konten.

Semakin banyak kita membagikan diri, semakin sedikit yang benar-benar kita miliki.

"Bagaimana algoritma memengaruhi cara kita memahami diri sendiri?"

Yuval Noah Harari memperingatkan: "Dataisme adalah agama baru abad ke-21." Algoritma tidak hanya merekam preferensi kita—ia membentuknya. Saat Netflix merekomendasikan film atau TikTok menyodorkan tren, kita secara tak sadar menginternalisasi keinginan yang diprogram. Shoshana Zuboff menyebut ini "ekstraksi perilaku": diri kita dikurasi oleh mesin yang menjual prediksi tentang kita.

Jika rekomendasi algoritma lebih akurat daripada kata hatimu, siapakah "dirimu" yang sebenarnya?

"Apa hubungan antara hustle culture dan krisis identitas modern?"

Hustle culture—kultus sibuk—adalah anak kandung ekonomi gig. David Graeber menyebutnya "perbudakan yang dipoles dengan jargon motivasi." Ketika produktivitas menjadi ukuran nilai diri, kita kehilangan ruang untuk bertanya: "Siapa aku di luar pekerjaanku?" Albert Camus mungkin akan menyindir: "Kita menghabiskan hidup untuk menjadi manusia efisien, tapi lupa menjadi manusia utuh."

Semakin keras kita "mengembangkan diri", semakin sempit identitas yang tersisa.

"Apakah konsumerisme postmodern membuat kita lebih individualis atau justru seragam?"

Lihatlah deretan influencer di Instagram: gaya rambut sama, pose sama, bahkan caption sama. Zygmunt Bauman menyebut ini "individualitas massal"—kita merasa unik karena memilih warna sepatu dari 50 opsi, tapi lupa bahwa pilihan itu sudah dikurasi oleh pasar.  Margaret Mead pernah bilang: "Kebudayaan adalah jawaban atas pertanyaan manusia." Sekarang, jawaban itu diseragamkan oleh algoritma.

Kita membeli produk "limited edition" untuk menjadi berbeda, tapi akhirnya jadi bagian dari kawanan yang sama.

"Bagaimana cara melepaskan diri dari jerat identitas sebagai konsumen?"

Slavoj Žižek menawarkan solusi sinis: "Jangan berhenti membeli—mulai berpikir kritis tentang apa yang kau beli." Tapi Erich Fromm lebih radikal: "Kelimpahan materi justru membuat kita miskin secara spiritual." Mungkin langkah pertama adalah mengakui bahwa kita tidak akan pernah "cukup" selama mendefinisikan diri lewat kepemilikan. Seperti kata James Clear: "Kamu bukan cerminan dari apa yang kamu beli, tapi dari apa yang kamu ciptakan."

Bisakah kamu bertahan sehari tanpa membeli apa pun—bahkan tanpa membagikannya ke sosial media?

"Apakah generasi muda lebih rentan terhadap krisis identitas ini?"

Jean Twenge dalam iGen menyatakan: "Generasi ini dibesarkan oleh layar, bukan oleh manusia." Mereka belajar merumuskan identitas lewat like dan follower, bukan percakapan riil. Manuel Castells memberi harapan: "Teknologi juga bisa menjadi alat resistensi." Lihatlah gerakan seperti #BlackLivesMatter atau #ClimateStrike—identitas kolektif yang lahir dari kesadaran kritis, bukan konsumsi.

Mungkin generasi berikutnya akan mengganti tagar #OOTD dengan #WhoAmI.

"Apa peran seni dan budaya dalam melawan krisis identitas postmodern?"

Seniman Banksy pernah menggambar toko gadai dengan tulisan: "Kembalikan identitasmu yang hilang." Seni, dalam bentuknya yang paling murni, bisa menjadi cermin yang memantulkan absurditas konsumerisme. Theodor Adorno bilang: "Seni adalah perlawanan terhadap standarisasi." Tapi ketika lukisan dijadikan latar belakang selfie, apakah kita telah mengkhianatinya?

Pertanyaan Terakhir: Jika Mona Lisa hidup di era TikTok, akankah ia tersenyum—atau menghapus akunnya?

Posting Komentar untuk "Identitas Diri Tergantung Atas Apa yang Dikonsumsi: Ekses Postmodernisme yang Menjerat"