JADILAH SOMBONG Dan Pastikan Aku Harus Dihubungi Terlebih Dahulu, Bukan Membuka Komunikasi di Awal
![]() |
Jadilah Sombong Dan Pastikan Aku Harus Dihubungi Terlebih Dahulu, Bukan Membuka Komunikasi di Awal Gambar : gorbysaputra.com |
Aku tak akan menyapa duluan,
Karena tanganku sibuk menggulir dunia yang semu.
Biarkan pesanmu mengendap di udara yang penuh notifikasi,
Sampai aku bosan, dan dunia maya kehilangan daya tariknya.
Aku bukan pemula, aku puncak algoritma,
Yang kau harus cari, bukan yang menawarkan diri.
Karena membuka obrolan itu murah,
Dan aku mahal, semahal gengsi yang kau puja.
Jadilah sombong,
Karena manusia yang rendah hati kini hanya jadi arsip chat yang dibaca tapi tak dijawab.
Aku harus dihubungi duluan—itu harga dari kesia-siaan yang kalian anggap eksistensi.
Generasi Gengsi dan Kecanggihan yang Membunuh
Ada era, di mana manusia menunggu surat dari kekasihnya selama berminggu-minggu—dan ketika surat itu datang, kata-kata sederhana menjadi sakral, menjadi jembatan antara dua jiwa yang jauh namun saling mengupayakan. Kini, cukup dengan satu jari menggulir layar, kita bisa tahu segalanya… tapi tak merasakan apapun.
“Jadilah sombong.”
Itulah mantra era ini. Mantra diam-diam yang menjadi agama baru generasi yang hidup dalam wifi dan mati dalam keheningan notifikasi yang tidak dibalas.
Komunikasi? Terlalu murah untuk dibuka. Gengsi jauh lebih mahal.
Di negeri ini—yang katanya semakin pintar, semakin cepat, semakin digital—justru semakin bisu. Bisu bukan karena tak ada kata, tapi karena setiap kata harus melewati sensor gengsi dan algoritma validasi sosial.
“Kamu kenapa gak pernah nyapa duluan?”
“Karena aku bukan orang yang murahan.”
Sebuah kalimat sakti, dibalut trauma, gengsi, dan ilusi eksistensi. Lucunya, semua ini hanya agar kita terlihat “mahal” di tengah banjir informasi yang membuat manusia seperti ikan dalam kolam iklan.
Ketika Rebah Lebih Mulia dari Menulis
Kita hidup di zaman di mana rebahan dianggap produktivitas emosional. Zaman di mana kalimat “cape banget hari ini” bisa muncul dari seseorang yang hanya scroll TikTok 6 jam nonstop.
Apakah itu bentuk kontemplasi modern?
Dulu, “diam” adalah cara para filsuf merenung. Sekarang, “diam” adalah cara anak muda menghindari grup WhatsApp keluarga, diskusi tentang buku, atau ajakan berdialog yang memerlukan… berpikir.
Gadget adalah altar, rebahan adalah ritual, dan notifikasi adalah doa.
Menulis?
Seni yang mulai punah di tangan yang hanya kuat mengetik “WKWKWK” namun lemah merangkai argumen. Membaca?
Terlalu melelahkan dibandingkan menonton video “life hack” yang justru membuat kita semakin tidak hidup.
Diskusi?
Itu ranah orang tua, dosen, atau aktivis. Kita cukup jadi penonton dunia—menjadi penilai tanpa pernah ikut bermain.
Budaya Sapa Sudah Mati. Yang Tersisa Hanya ‘Seen’
Cobalah sapa seseorang sekarang. Siapkan dirimu ditolak, diabaikan, atau lebih parah—dibaca tapi tidak dibalas.
Kita hidup dalam budaya “siapa yang duluan berarti kalah.” Kita tidak ingin terlihat butuh, bahkan kepada teman sendiri. Ironis, ya? Di dunia yang terkoneksi, kita lebih merasa terasing dari sebelumnya.
Dalam genggamannya ada ribuan kontak, tapi tak satu pun yang terasa dekat.
Apakah ini kemajuan atau kemunduran yang dibungkus glitter teknologi?
Generasi yang Nyaman Tapi Mati Rasa
Aman. Nyaman. Tidak terganggu.
- Tiga mantra lain yang disembah dalam altar digital.
- Tapi dari semua kenyamanan itu, yang dikorbankan adalah: percakapan nyata.
- Anak muda sekarang tahu cara membuat konten tapi tak tahu cara membuka percakapan.
Tahu cara mencari cuan dari reels, tapi gagap saat harus duduk berhadapan dan berdiskusi tentang masa depan, tentang ide, tentang krisis kemanusiaan.
Mereka tahu tren, tapi tak tahu tragedi.
Tahu viral, tapi tak tahu nilai.
Tahu cara membungkam kritik, tapi tak pernah belajar mencerna kritik.
Semuanya harus cepat. Praktis. Tanpa konflik. Tanpa percakapan serius.
Karena “terlalu serius” membuat mereka panik.
Sombong Digital Adalah Produk Kegagalan Sosial
“Jadilah sombong.”
- Adalah produk dari budaya sosial yang salah asuh.
- Dibentuk oleh influencer yang menjadikan keacuhan sebagai estetika, dan pasif sebagai gaya hidup.
Dunia ini membentuk manusia yang lebih memilih “scroll” daripada “school.”
- Lebih memilih “story” daripada “substance.”
- Lebih memilih mute daripada meet.
- Lebih memilih diam—bukan karena tak ada kata, tapi karena takut terlihat kalah jika bicara duluan.
Dan akhirnya, kita membesarkan generasi yang lebih akrab dengan filter daripada fakta.
Yang bisa bersuara di dunia maya, tapi kelu lidah di dunia nyata.
Yang bisa menghujat ribuan orang dengan satu klik, tapi tak bisa memulai obrolan dengan sahabatnya sendiri.
Realitas yang Kita Abaikan Karena Nyaman dalam Ilusi
Apakah ini kemajuan?
Atau kita hanya berdiri di atas kuburan realitas yang dikubur bersama kemampuan kita untuk merawat hubungan?
Betapa menyedihkan ketika sebuah generasi memilih diam dalam group WhatsApp, padahal dulu para pejuang kita memilih bersuara di medan tempur.
Kini? Medan tempurnya adalah group chat yang sunyi.
Senjatanya: pesan tidak terbaca.
Pelurunya: perasaan diabaikan.
Pemenangnya? Tidak ada.
Karena yang kalah adalah kita semua.
Manusia yang tumbuh tanpa kehangatan komunikasi.
Panggilan untuk Mereka yang Masih Mau Bangun
Tulisan ini bukan untuk semua.
Ini untuk yang masih memiliki sejumput nalar, secuil keresahan, dan secercah hasrat untuk kembali menjadi manusia yang benar-benar hidup—bukan hanya eksis.
Untuk kamu yang mulai muak melihat layar tapi takut kehilangan validasi.
Untuk kamu yang tahu bahwa menyapa lebih mulia daripada menunggu disapa.
Untuk kamu yang masih percaya bahwa diskusi bisa menyelamatkan dunia, bukan hanya debat di kolom komentar.
Bangunlah.
Bicara.
Sapa duluan.
Tulis sesuatu.
Baca dengan niat, bukan karena takut ketinggalan tren.
Kunjungi sahabatmu.
Ajak mereka duduk.
Bukan hanya untuk kopi, tapi untuk kembali menjadi manusia.
Jadilah Sombong, Tapi Jangan Mati Rasa
Kalau kau ingin menjadi mahal, jadilah manusia.
Bukan angka viewers.
Bukan filter wajah.
Bukan gengsi kosong yang membunuh percakapan.
Jika kau ingin dihargai, jangan hanya berharap dihubungi—
Tapi mulailah bicara, karena manusia diciptakan dengan lidah dan hati,
bukan hanya dengan jempol dan notifikasi.
Posting Komentar untuk "JADILAH SOMBONG Dan Pastikan Aku Harus Dihubungi Terlebih Dahulu, Bukan Membuka Komunikasi di Awal"