Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

"Jangan Ganggu Duniaku, Jangan Paksa Aku Menulis, Jangan Paksa Aku Membaca, Jangan Paksa Aku Diskusi"

 

Jangan Ganggu Duniaku, Jangan Paksa Aku Menulis, Jangan Paksa Aku Membaca, Jangan Paksa Aku Diskusi Gambar : gorbysaputra.com
Jangan Ganggu Duniaku, Jangan Paksa Aku Menulis, Jangan Paksa Aku Membaca, Jangan Paksa Aku Diskusi
Gambar : gorbysaputra.com

"Epitaf untuk Pikiran yang Tersubsidi"

Kita adalah anak-anak zaman yang lahir dari rahim algoritma,

Dibesarkan oleh susu WiFi, disapih oleh notifikasi.

Kaki kami tak pernah menginjak bumi, hanya ubin virtual,

Tangan kami tak menulis, hanya mengetik—

Huruf-huruf pun menjadi mayat di kuburan Unicode.

Di sini, di negeri subsidi,

Pikiran kami diangsur cicilan:

Sekolah gratis, kuliah diskon, kesehatan berpamrih—

Lalu kami diajari: "Jadilah roda!"

Bukan mesin, bukan manusia—

Hanya gerigi yang patuh pada oli bernama rupiah.

Scroll, tap, swipe...

Kami adalah arsitek kuburan diri,

Di mana buku-buku berkarat menjadi nisan,

Dan diskusi-diskusi mati muda,

Dibunuh oleh stiker "HAHAHA" dan tanda centang biru.

Dari Pena ke Pixel, Dari Pikiran ke Piksel

Layar sentuh mengusap mimpi,

Jari-jari menari di atas kuburan kata.

Di mana otak yang dahulu merangkai puisi?

Kini terpenjara dalam emoji dan hashtag.

Kita mulai dengan pertanyaan sederhana: Mengapa menulis, jika bisa copas? Mengapa membaca, jika bisa skimming? 

Teknologi, yang semestinya menjadi jembatan menuju kebijaksanaan, justru menjadi tembok pemisah antara manusia dan kedalaman. Dalam The Shallows , Nicholas Carr memperingatkan: internet mengubah otak kita menjadi mesin pencari, bukan pemikir. Generasi ini terlatih untuk multitasking, tapi tak mampu deep processing.

Dari sudut psikologi, ini adalah tragedi dopamine. Setiap notifikasi adalah suntikan imbalan instan—seperti tikus yang menekan tuas hingga mati kelaparan. 

Kita terjebak dalam siklus scroll-refresh-lupa, sementara buku-buku berdebu di rak menjadi saksi bisu kegagapan kita merangkai paragraf.

Tata ruang kota pun ikut bersekongkol. Co-working space didesain dengan kursi empuk dan soket USB, tapi tak ada perpustakaan. Mall menggantikan taman, diskon menggantikan diskusi. Kota-kota kita menjadi non-places (Marc Augé)—ruang tanpa memori, tanpa identitas, hanya transit untuk konsumsi.

Pendidikan: Pabrik Manusia Materialis

Kami dijual dogma di kelas ber-AC,

Dibungkus ijazah, dibius oleh IPK.

Guru-guru berkata: "Luluslah, lalu beli mobil!"

Tapi tak ada yang mengajar kami bernapas—

Kecuali napas terburu-buru mengejar deadline.

Sekolah dan kampus telah berubah menjadi assembly line kapitalisme. Kurikulum dirancang untuk mencetak pekerja, bukan pemikir. Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed menyebut ini pendidikan gaya "bank"—murid diisi fakta, bukan diajak bertanya. Hasilnya? Generasi yang mahir menghitung laba, tapi gagap menganalisis ketimpangan.

Subsidi pendidikan dan kesehatan, meski mulia tujuannya, sering kali menjadi pisau bermata dua. Ketika segala sesuatu "gratis", muncul mentalitas entitlement. Sekolah bukan lagi ruang untuk bertumbuh, tapi sekadar tuntutan administratif. Ijazah menjadi tiket masuk ke pasar kerja—bukan sertifikat kecerdasan.

Pada masyarakat yang terobsesi gelar, status sosial diukur dari merek gadget, bukan kualitas ide. Budaya instant ini merambah ke keluarga. Orang tua miskin memaksa anak "cepat lulus, cari uang", tanpa peduli minat baca atau potensi seni. Seni? Itu hanya hobi yang tak bisa bayar listrik, kata mereka.

Keluarga dan Tata Ruang: Penjara Bernama Rumah

Di rumah mungil berjarak 2x3 meter,

Kami duduk berjejal, tapi asing bagai planet.

Ayah sibuk mengutang, ibu sibuk mengeluh,

Anak-anak? Mereka sibuk menjadi hantu di metaverse.

Tata ruang memengaruhi mentalitas. Perumahan subsidi yang sempit dan tanpa taman menciptakan generasi teralienasi. Anak-anak tak punya ruang untuk berlari atau berdebat; mereka menghabiskan waktu di kamar, terkunci dalam pertemanan virtual. Menurut teori environmental psychology, ruang fisik yang sempit memperparah stres dan mengurangi kreativitas.

Keluarga miskin, tercekik ekonomi, tak punya energi untuk mendorong anak membaca atau berdiskusi. Survival mode mengubah pola asuh menjadi transaksional: "Nak, nilai bagus dapat hadiah!" Tapi tak ada yang bertanya: Apa mimpimu? Buku apa yang kau sukai?

Di sisi lain, keluarga kelas menengah pun tak lebih baik. Orang tua sibuk memposting foto "keluarga harmonis" di Instagram, sementara percakapan di meja makan mati oleh bunyi notification.

Seni, Budaya, dan Kematian Imajinasi

Kami adalah generasi yang menyanyikan lagu orang lain,

Menari di TikTok mengikuti tren,

Melukis dengan filter, menulis dengan AI—

Seni kami adalah plagiat, jiwa kami adalah akun premium.

Seni seharusnya menjadi cermin zaman, tapi kini ia menjadi alat pelarian. Daripada menulis puisi tentang keresahan, generasi ini lebih suka meme yang mengolok-olok kegelisahan. Budaya pop instan—dari lagu viral hingga film superhero—menjajah imajinasi.

Dalam filsafat seni Theodor Adorno, ini disebut kultur industri: seni direduksi menjadi komoditas, kehilangan kekuatan kritiknya. Lukisan tak lagi menggugah, hanya matching dengan warna dinding. Sastra? Tebal sekali, lebih baik baca thread Twitter.

Tragisnya, teknologi yang bisa menjadi alat produksi seni (seperti aplikasi desain atau platform penerbitan mandiri) justru digunakan untuk mereproduksi hal-hal trivial. Content creator ramai, tapi sedikit yang menciptakan konten bermakna.

Menjadi Manusia atau Menjadi Data?

Bangunlah!

Sebelum pikirmu menjadi file ZIP,

Sebelum suaramu menjadi audio sampah,

Sebelum kau mati—dalam hidup sendiri.

Kritik tanpa solusi adalah omong kosong. Lalu, bagaimana?

Kita perlu kembali ke pertanyaan Sartre: Apakah hidup ini otentik? Jika semua pilihanmu diarahkan oleh algoritma dan subsidi, kapan kau benar-benar ada?

  • Latih deep work (Cal Newport). Matikan notifikasi, habiskan 2 jam sehari untuk membaca buku fisik.
  • Desain ruang publik yang mendukung interaksi nyata: perpustakaan keliling, taman diskusi, lapangan seni gratis.
  • Gunakan teknologi untuk hal subversif—tulis e-book independen, buat musik lo-fi dengan lirik kritik sosial.

"Surat untuk Generasi yang (Mungkin) Tak Akan Membaca Ini"


Kita mungkin tak akan menulis buku,

Tapi biarkan darah kita menjadi tinta—

Menggugat setiap pikiran yang dikapitalisasi,

Setiap mimpi yang dipatenkan.

Jangan hanya mengejar yang "viral",

Tapi gempur yang "valid".

Jika tak mau menulis, setidaknya jangan diam—

Bicaralah!

Sebelum suaramu diprogram menjadi bot,

Dan kau, manusia, terjual habis dalam flash sale.

Posting Komentar untuk ""Jangan Ganggu Duniaku, Jangan Paksa Aku Menulis, Jangan Paksa Aku Membaca, Jangan Paksa Aku Diskusi""