JANGAN KEBANYAKAN BACA DAN MENULIS, DISKUSI, NANTI LAPAR
![]() |
Jangan Kebanyakan Baca dan Menulis, Diskusi, Nanti Lapar Gambar: gorbysaputra.com |
Di mana kata bergulat dengan nafsu,
antara bait-bait yang melambung dan perut yang meronta,
terpampang ironi kehidupan:
menulis, membaca, diskusi—seni berfikir, namun perut tetap kosong.
"Ngapain si baca mulu kaya bikin kenyang aja, udah hayo cabut nogkrong"
"Nulis mulu nulis mau jadi apa tau, mending dari nulis bisa bikin kaya apa?"
"Itu ngapain coba kumpul mulu baca diskusi bikin tulisan dari hasil diskusi, apa si enaknya? kenyang kagak lapar iya".
Dialektika Antara Nafsu Intelektual dan Kelaparan Material
Fenomena ini mencuat sebagai tragedi zaman, di mana jiwa yang haus akan ilmu dan kritik menyatu dengan realita materi yang tak pernah cukup mengenyangkan.
Ini merayapi setiap sudut kehidupan modern, memunculkan ironi bahwa terperangkap dalam labirin kata dan diskusi tanpa terwujudnya pemenuhan kebutuhan dasar, menjadikan budaya intelektual bak kastil megah yang tak berdaya melawan kelaparan sehari-hari.
Tak mudah memang hidup di tengah hiruk-pikuk peradaban yang terkomersialisasi
bacaan dan diskursus perlahan terpinggirkan, meninggalkan jejak sejarah yang tak terucap, di mana pena dan percakapan pernah merobohkan tirani.
Semakin tampak dalam suasana satuan terkecil yakni rumah, meskipun ada bapak, ibu, kakak, adik, atau berjumlah lebih dari 3 anggota keluarga, di era sekarang kondisinya sibuk dengan smartphonenya masing-masing dan itu terjadi sampai di meja makan keluarga.
Apakah ini persoalan antara pangan versus baca, menulis?
Pertanyaan yang sangat menari, mencari titik temu antara pangan dan baca, menulis alias Pendidikan. saya jadi teringat Sejak ditemukannya mesin cetak oleh Gutenberg, penyebaran ilmu dan gagasan berkembang pesat dan menyulut revolusi pemikiran.
Di Eropa abad ke-16, para reformis memanfaatkan pamflet dan tulisan untuk menyuarakan kritik terhadap kekuasaan otoriter, sehingga merintis kebangkitan revolusi sosial yang akhirnya merubah tatanan masyarakat.
Dalam pergerakan-pergerakan tersebut, membaca dan berdiskusi bukanlah sekadar aktivitas intelektual, melainkan alat pembebasan.
Revolusi Prancis merupakan salah satu contoh nyata, ketika diskursus para cendekiawan dan aktivis politik—yang mendapatkan inspirasi dari pemikiran filsuf seperti Jean-Jacques Rousseau—menggerakkan massa untuk menuntut keadilan dan kebebasan.
Diskursus tersebut, dalam bentuk tulisan dan debat publik, telah menyatukan aspirasi rakyat dan meletakkan fondasi bagi perubahan sosial yang mendalam.
Dari Perut yang Lapar ke Pikiran yang Mengembun
Di dunia nyata, pencarian makna melalui membaca, menulis, dan diskusi seringkali harus mengalah pada urgensi kebutuhan material. Sebuah ironi terlahir ketika ruang bagi ide-ide besar tersingkir oleh kenyataan bahwa perut kosong menuntut perhatian lebih dahulu. Seorang filsuf kontemporer pernah menyatakan,
"Kebenaran tidak bisa dicicipi ketika rasa lapar menguasai; ide-ide luhur harus menunggu ketika perut belum terisi."
Pernyataan itu menyuarakan dilema eksistensial—antara pencarian spiritual dan keharusan fisik yang mendasar, sebuah pertanyaan yang terus menghantui setiap insan.
Namun bagaimana dengan kebutuhan Urusan Perut?
Itulah bagian paradoks sekaligus Ironinya antara kebanyakan baca, beli buku, menulis namun Ketika perut berbunyi ternyata buku bacaan dan menulis apalagi ditambah dengan diskusi ternyata tidak menjawab persoalan dalam urusan perut.
Buku Hasil Tulisan Penuh Ironi dengan kebutuhan perut
Di sebuah ruang sempit, di antara dinding yang mulai retak dan deretan buku tak berlabel, terhampar kontradiksi: halaman-halaman terbuka mengundang mata untuk menelusuri kata, sementara perut menagih perhatian dengan dentuman lembut yang kian mengeras.
Apakah lembar demi lembar itu bisa menahan lapar yang kian meronta?
Seorang pemikir merunduk di atas meja kayu lapuk, menatap bayangan dirinya di permukaan meja yang tergores goresan tinta lama. Ia menulis tanpa jeda, merangkai kalimat demi kalimat—namun di balik setiap huruf, berbisik pertanyaan:
Di manakah letak keseimbangan antara kebebasan berfikir dan kebebasan untuk mengisi perut?
Bukankah pena yang gagah itu tak mampu menorehkan nasi di atas piring?
Di lorong-lorong kota tanpa nama, serombongan orang berkumpul, bukan untuk merayakan gagasan baru, melainkan untuk membagi perhitungan kebutuhan:
berapa liter air, berapa kilogram beras, berapa lembar kertas untuk mencatat utang? Diskusi yang memanas tentang
“bagaimana cara menulis perubahan” teredam oleh bisik lirih: “Kalau lapar, perubahan apa yang bisa kau rasakan?”
Bayangkan masa lampau—ketika mesin cetak pertama kali berderak, menyebarkan helaian ilmu hingga menimbulkan gelombang pemikiran. Gelombang itu sempat merobohkan tirani, katanya.
Namun, apakah gelombang pikiran itu pernah bertemu dengan gelombang di perut yang kosong?
Bukankah revolusi terbesar adalah ketika buku tak sekadar dibaca, melainkan mampu menumbuhkan gandum di ladang dan mengisi karung-karung beras?
Di balik tirai jendela, cahaya matahari menari di atas tumpukan kertas dan alat tulis, menciptakan siluet perdebatan:
Antara yang mengagungkan kata dan yang menomorduakan nasi. Siapakah yang akan menang dalam pertarungan ini—pengetahuan tanpa pangkal atau pangkal tanpa pengetahuan?
Jika pikiran melanglang buana, sementara tubuh terperangkap dalam kekurangan, lalu siapa yang sesungguhnya merdeka?
Sebuah keluarga kecil duduk bersila di lantai sempit, masing-masing terpaku pada layar kecil yang menyalurkan kabar dunia.
Bapak menghitung ongkos sekolah, Ibu mencatat belanja bulanan, anak-anak menyalin angka-angka struk belanja ke buku catatan.
Adakah ruang bagi cerita-cerita besar, bagi renungan mendalam, ketika setiap detik terjual untuk memenuhi kebutuhan hidup?
Bukankah paradoks itu sendiri sudah terlalu akrab?
Buku dan diskusi di satu sisi, beras dan upah di sisi lain—keduanya berjalan sejajar tanpa pernah bersentuhan.
Apakah mungkin menjalin simpul baru, di mana satu halaman bacaan juga menjadi jembatan untuk sebutir padi?
Atau mungkinkah menulis puisi yang membuahkan jagung, diskusi yang melahirkan ladang?
Di ujung malam, suara jangkrik bersahutan dengan ketukan jari pada papan ketik. Pertanyaan itu terus bergema:
Apakah kata-kata bisa memberi makan?
Atau justru membuat kita semakin lapar akan keadilan yang tak kunjung tiba?
Dan ketika akhirnya perut berhenti berontak, mungkinkah pikiran kembali menjelajah?
Sebuah ironi tersaji di depan mata—bahwa revolusi intelektual sejati bukan sekadar tentang meretas pemikiran, melainkan juga tentang meretas cara agar setiap insan, yang haus ilmu sekaligus kelaparan, dapat meneguk keduanya tanpa perlu memilih. Namun, siapa yang berani menuliskan akhir cerita itu?
Posting Komentar untuk "JANGAN KEBANYAKAN BACA DAN MENULIS, DISKUSI, NANTI LAPAR"