"Kartini dan Api Revolusi: Peran Gerakan Kiri dalam Membentuk Narasi Pahlawan Nasional"
![]() |
Ilustrasi Kartini dan Api Revolusi : Peran Gerakan Kiri dalam Membentuk Narasi Pahlawan Nasional" Gambar : gorbysaputra.com |
Dari Peringatan ke Politik: Menguak Proses Pengangkatan Kartini sebagai Pahlawan
Setiap 21 April, Indonesia memperingati Hari Kartini dengan karnaval kebaya, kunjungan ke museum, atau unggahan kutipan inspiratif.
Namun, di balik ritual simbolis ini, tersembunyi pergulatan politik dan ideologis yang menentukan mengapa Kartini dinobatkan sebagai pahlawan nasional.
Resminya gelar itu diberikan pada Mei 1964, bersama tokoh seperti Cut Nyak Dien dan Cut Nyak Mutia.
Tapi siapa yang mengusung nama Kartini ke panggung nasional?
Jawabannya terletak pada gerakan kiri Indonesia—Lekra, Gerwani, dan media progresif yang merebut tafsir Kartini dari narasi kolonial.
Merebut Narasi: Lekra, Gerwani, dan Pertarungan Makna atas Kartini
Tiga tahun sebelum gelar pahlawan disematkan, Soekarno mendorong investigasi mendalam tentang Kartini.
Tim riset yang dipimpin Pramoedya Ananta Toer sastrawan Lekra—berkelana ke Blora, Jepara, Rembang, dan Semarang.
Mereka menggali dokumen, mewawancarai saksi sejarah, dan merekonstruksi kisah Kartini yang “objektif dan revolusioner”.
Hasilnya adalah buku Panggil Aku Kartini Saja (1962), yang menjadi landasan tafsir kiri atas surat-surat Kartini.
Buku ini tak hanya membongkar romantisisme kolonial, tetapi juga menampilkan Kartini sebagai simbol perlawanan antifeodal dan antiimperialis.
Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), sayap perempuan PKI, mengambil langkah lebih progresif.
Mereka menjadikan Kartini sebagai ikon gerakan dengan menerbitkan majalah Api Kartini (1959).
Di edisi perdana, Gerwani menegaskan: “Kami adalah pewaris sah perjuangan Kartini—perintis kemajuan dan kebebasan perempuan Indonesia!” Pernyataan ini bukan sekadar retorika.
Mereka mengorganisasi pendidikan melalui TK Tunas Melati, mendorong literasi perempuan, dan menjadikan majalah tersebut sebagai wadah tulisan kritis tentang kesetaraan.
Empat Pilar Api Kartini: Fondasi yang Membakar Semangat Gerwani
Gerwani mengkristalkan empat warisan Kartini sebagai basis perjuangan:
Literasi sebagai Senjata Emansipasi
Kartini membongkar tabu akses literasi bagi perempuan. Ia menyelundupkan bacaan Belanda, terinspirasi Max Havelaar, dan menulis surat yang membuka mata dunia pada penindasan feodal.
Gerwani melanjutkan tradisi ini dengan mendirikan perpustakaan, menerjemahkan karya internasional, dan melatih kader perempuan menjadi penulis.
Pembebasan dari Kandungan Feodalisme
Kartini menolak dikte patriarki: “tolonglah kami memberantas sifat mementingkan diri kaum laki-laki yang tidak mengenal segan itu, iblis" gila? ya laki-laki itu iblis".
kata-kata yang ratusan tahun mendera menginjak-nginjak perempuan Aduh alangkah kejamnya, itu patriarki dan Kartini padam pertama kali ketika ia takluk saat dijadikan selir Bupati Rembang, perkawinan itu tidak hanya memadamkan mimpinya tentang kebebasan, kemerdekaan, berdiri sendiri tapi juga membuatnya mati muda usia 25 tahun saya kemudian menjadi paham saudara sekalian poligami menjadi salah satu isu Sentral yang ditentang habis-habisan oleh Gerwani.”
suratnya yang pedas. Gerwani menjadikan perlawanan terhadap poligami dan perkawinan paksa sebagai agenda utama, menegaskan bahwa kematian Kartini di usia 25 tahun adalah buah dari sistem feodal yang memaksa ia menjadi selir.
Internasionalisme: Kartini Melampaui Batas Kolonial
Surat-surat Kartini yang diterbitkan di Belanda (1911) menjadi senjata diplomasi Gerwani di forum internasional. Mereka aktif di Konferensi Perempuan Asia-Afrika, menggunakan nama Kartini untuk menyuarakan antikolonialisme dan solidaritas global.
Ekonomi Kreatif: Seni sebagai Perlawanan
Kartini mempromosikan kerajinan Jepara di Pameran Den Haag (1898)—sebuah bentuk resistensi ekonomi. Gerwani mengadopsi semangat ini dengan menggalang koperasi perempuan dan pelatihan kerajinan sebagai alat kemandirian.
![]() |
Ilustrasi Kartini dan Api Revolusi: Menginspirasi wanita-wanita Gerwani dan bangkitkan semangat Lekra Kobarkan api revolusi Gambar : gorbysaputra.com |
Padamnya Api: Tragedi 1965 dan Penguburan Warisan Progresif Kartini
Setelah 1965, narasi kiri atas Kartini dibungkam. Gerwani dan Lekra dihabisi, sementara Orde Baru memelintir Kartini menjadi simbol domestikasi:
perempuan berkebaya yang patuh, pintar memasak, dan jauh dari semangat pemberontakan.
Hari Kartini direduksi menjadi karnaval kosong, terpisah dari akar politiknya.
Namun, api yang pernah dinyalakan Gerwani tak sepenuhnya padam. Kini, di tengah gelombang feminisme muda, surat-surat Kartini kembali dibaca sebagai manifesto antifeodalisme.
Warisan progresifnya—yang dulu direbut dari tangan kolonial—kini menantang kita untuk bertanya:
Siapa sesungguhnya Kartini yang kita peringati?
Kartini Bukan Monumen, Melaikan Api yang Tak Pernah Padam
Kartini bukanlah sosok statis yang selesai dijelaskan oleh kebaya atau kutipan klise.
Ia adalah produk pergulatan ideologis—ruang pertarungan antara feodalisme, kolonialisme, dan progresivisme. Upaya Gerwani dan Lekra mengingatkan kita: sejarah ditulis oleh mereka yang berani merebut pena.
Hari ini, ketika kebangkitan konservatisme mengancam kemajuan perempuan, Kartini mengajak kita untuk menyalakan kembali apinya.
“Barang siapa tidak berani dia tidak bakal menang. Itulah semboyanku! Maju!
Panggil Aku Kartini Saja
Posting Komentar untuk ""Kartini dan Api Revolusi: Peran Gerakan Kiri dalam Membentuk Narasi Pahlawan Nasional""