Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kebebasan dalam Cengkeraman Kapitalisme: Refleksi Kritis Eugene V Rostow atas Dilema Ekonomi Modern

 

Ilustrasi Kebebasan Dalam Cengkeraman Kapitalisme : Refleksi Kritis Eugene V Rostow atas Dilema Ekonomi Modern Gambar : gorbysaputra.com
Ilustrasi Kebebasan Dalam Cengkeraman Kapitalisme : Refleksi Kritis Eugene V Rostow atas Dilema Ekonomi Modern
Gambar : gorbysaputra.com

Sebelum Anda membaca Panjang tulisan ini, percayalah saya anjurkan jika anda tidak suka membaca ini adalah ulasan dari saya.

Sebuah Pagi di Meja Kerja

Kopi racikan tangan telah siap, bukan instan. Ia kembali duduk di meja kerjanya, laptop terbuka, menyunting naskah-naskah yang masuk ke emailnya. Di latar belakang, rekaman kuliah filsafat tahun 2011 tentang "Sejarah Pemikiran Modern: Pandangan Kritis Ekonomi Modernisme" diputar dari smartphone. Buku "Pembebasan Manusia" tergeletak di sampingnya.

Barang-barang di sekitarnya—laptop, WiFi, cangkir kopi—adalah produk sistem kapitalis. 

Bahkan email yang ia sunting adalah bagian dari rantai ekonomi itu. Di tengah rutinitas, pertanyaan mengusik: Apakah kebebasan itu cukup menarik? Bagaimana ekonomi modern mendefinisikannya?

Eugene V Rostow dan Proyek Pembangunan Global

Sosok di Balik Inspirasi Kebijakan Ekonomi

Eugene V Rostow pernah menjadi inspirator proyek-proyek pembangunan era 70-80an, termasuk di Indonesia masa Soeharto. 

Gagasannya tentang pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga, dan pengerahan tenaga kerja dianggap solusi bagi negara berkembang. 

Namun, Rostow sendiri mengkritik konsekuensi sistem ini:

"Adakah rezim yang kita impikan mampu mencapai pertumbuhan sekaligus stabilitas tanpa mengorbankan nilai kemanusiaan? Apakah pasar bebas dan kompetisi adalah puncak peradaban kita?"

Utopia Sosialisme vs. Realitas Kapitalisme

Rostow menyingkap paradoks: sosialisme diimajinasikan sebagai dunia tanpa egoisme, kriminalitas, atau eksploitasi. 

Namun, kenyataannya, nasionalisasi pabrik tidak menghilangkan kebosanan kerja, dan kriminalitas tetap ada meski lapangan kerja tersedia.

"Ular yang menggoda Adam-Hawa di Taman Firdaus ternyata juga ada di taman sosialis. Egoisme, keserakahan, dan dengki tetap hidup di mana pun."

Kritik Rostow atas Nilai-Nilai Ekonomi Modern

Komersialisasi Hidup dan Degradasi Seni

Seni, sastra, dan musik dalam masyarakat kapitalis, menurut Rostow, menjadi dingin dan melankolis. 

Tragedi manusia justru menjadi tema utama kreativitas. 

Sementara itu, sosialisme dianggap sebagai "pelarian" dari tanggung jawab kebebasan—iman yang menawarkan kepastian, tapi sering mengabaikan kompleksitas manusia.

Welfare State dan Ancaman Apatisme

Kesejahteraan (welfare state) bisa melemahkan etos kerja. 

Rostow mengutip Weber: "Akankah etika Protestan tentang kerja keras lenyap jika rasa aman menjadikan manusia pasif?" Novelis Inggris menyindir negara kesejahteraan sebagai "Novocain bagi jiwa"—matinya risiko berarti matinya makna.

Ilustrasi Reflekasi Kritis Eugne V Rostow atas Dilema Ekonomi Modern Gambar : gorbysaputra.com
Ilustrasi Reflekasi Kritis Eugne V Rostow atas Dilema Ekonomi Modern
Gambar : gorbysaputra.com

Relevansi Pemikiran Rostow di Era Kontemporer

Pendidikan, Kesenjangan, dan Kota Masa Depan

Masalah yang diangkat Rostow—sistem pendidikan timpang, kriminalitas, pelayanan kesehatan—masih relevan. 

Kota-kota modern kini menghadapi tantangan ekologi, digitalisasi, dan kesenjangan yang lebih kompleks.

Kapitalisme Digital dan Ilusi Kebebasan

Di era big data dan platform digital, kebebasan individu dikepung algoritma. Laptop, WiFi, dan smartphone—yang dipakai sang editor—adalah alat sekaligus penjara baru. Rostow mungkin akan bertanya: "Apakah klik, like, dan share adalah bentuk kebebasan atau komodifikasi baru?"

Perlawanan dan Harapan: Mampukah Semangat Manusia Bertahan?

Ancaman Totaliterisme vs. Ketangguhan Individualitas

Rostow mengingatkan: "Totaliterisme bukanlah takdir." Meski abad ke-20 melahirkan Hitler dan Stalin, semangat manusia tetap mampu melawan. 

Pertanyaannya kini: Bagaimana menjaga kebebasan di tengah algoritma dan otoritas digital?

Seni, Pendidikan, dan Kritik Sosial sebagai Penangkal

Peningkatan akses pendidikan dan seni adalah tanda optimisme. 

Meski budaya massa kerap vulgar, Rostow percaya: "Kekuatan untuk maju lebih besar daripada kekuatan yang merusak."

FAQ (Pertanyaan Umum)

Apakah kebebasan ekonomi menjamin kebahagiaan masyarakat?

  • Tidak selalu. Rostow menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi sering memperdalam ketidakbahagiaan akibat komersialisasi nilai-nilai manusia.

Bagaimana relevansi pemikiran Rostow di era digital?

  • Pemikirannya mengingatkan kita bahwa alat-alat teknologi adalah produk sistem, sekaligus alat kritik untuk membongkar ilusi kebebasan semu.

Apakah sosialisme masih relevan sebagai alternatif kapitalisme?

  • Rostow skeptis: sosialisme gagal menghapus egoisme manusia. Solusinya bukan mengganti sistem, tapi memperkuat pendidikan dan kesadaran kritis.

Apa yang bisa dilakukan individu dalam sistem kapitalis?

  • Mempertahankan daya kritis, terlibat dalam seni/pendidikan, dan menolak reduksi diri menjadi sekrup mesin ekonomi.

Perjalanan ke Stasiun Kereta Cepat

Setelah membaca naskah Rostow, sang editor bergegas ke Stasiun Kereta Cepat Halim. Di perjalanan, ia melihat ironi: pedagang kaki lima bersaing dengan restoran cepat saji, anak muda sibuk dengan smartphone-nya. 

Apakah kebebasan itu cukup menarik? Mungkin pertanyaan itu harus dijawab dengan tindakan: merawat kebebasan yang tidak menjual jiwa ke pasar.

Perlu Anda Tahu

Eugene V Rostow pernah jadi model dalam pengertian menjadi inspirator-inspirator proyek-proyek pembangunan. antara lain zamannya Soeharto. pendeknya di jaman itu tahun-tahun 70-80an dan bisa dikatakan Eugene V Rostow menjadi bintangnya bagi negara-negara berkembang sehingga konsep ekonominya banyak di pakai termasuk di Indonesia sendiri.


Ilustrasi Sebuah Reflekasi Kritis dari Eugene V Rostow Gambar : gorbysaputra.com
Ilustrasi Sebuah Reflekasi Kritis dari Eugene V Rostow
Gambar : gorbysaputra.com

Bonus Teks Asli

Apakah Kebebasan Itu Cukup Menarik?

Oleh Eugene V. Rostow

Marilah kita bayangkan sejenak bahwa dua tujuan ekonomis ini dapat dicapai: pertama, tingkat pertumbuhan dan pengerahan tenaga kerja yang tinggi; kedua, stabilitas harga yang mantap. Beberapa pertanyaan akan segera muncul.

Adakah rezim yang sering kita impi-impikan mampu mengantarkan kita pada kedua tujuan tersebut?

Apakah pengerahan seluruh tenaga kerja, pasar bebas, dan masyarakat kompetitif merupakan aspirasi tertinggi yang dapat dihasilkan oleh kebudayaan kita?

Apakah penerimaan terhadap tujuan-tujuan tersebut akan menjerumuskan kita kepada nilai-nilai komersialisasi yang mengerikan?

Apakah hal ini akan mendorong kita ke arah kebrutalan, kecurangan, sikap mementingkan diri sendiri, serta sifat-sifat buruk lain semacam yang oleh Thorstein Veblen dan para kritikus lain tentang masyarakat Amerika dengan mudah dapat ditemukan dalam ekspresi hidup kita yang penuh kelimpahan?

Para pengkritik dari kubu sosialis akan mengatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan tentang tata susunan masyarakat kita hanyalah menegaskan sekali lagi apa yang selalu mereka pikirkan tentang suatu masyarakat berdasarkan pada individualisme egoistik.

Kemajuan ekonomi yang dicapai masyarakat-masyarakat kapitalis secara sekilas tampaknya lebih banyak menambah daripada mengurangi ketidakbahagiaan.

Seni, musik, dan sastra menjadi dingin, melankolik, dan jauh mengawang-awang di udara. Para penulis kita merasa bangga akan kemalangan nasib manusia dan terhibur bila mendengar adanya harapan akan lebih makmurnya kehidupan di pinggir-pinggir kota.

Tragedi masih saja menjadi tema pokok yang merajai pikiran-pikiran kreatif masa kini. Inilah tema klasik dalam setiap debat antara sosialisme dan kebebasan.

Sosialisme adalah salah satu bentuk iman yang begitu populer dan menarik, di mana manusia modern mencari jalan untuk melarikan diri dari kesendirian, tanggung jawab, serta beban untuk mengambil keputusan sendiri yang merupakan konsekuensi kebebasan manusia.

Mereka yang percaya pada apa yang pernah disebut Benedetto Croce sebagai agama kebebasan (Religion of Liberty) harus mengakui bahwa agama ini menuntut suatu iman yang keras, tidak begitu menyenangkan atau menenteramkan seperti agama-agama lain yang merupakan saingannya.

Manusia modern sering tak mampu menemukan jawaban atas kesendirian hidupnya melalui cinta, keluarga, atau pekerjaan yang kreatif. Sering pula ia tak mampu lagi menyerap keyakinan-keyakinan religius yang datang dari abad-abad lampau.

Itulah sebabnya kadang-kadang ia mencari bantuan untuk meringankan beban kebebasan ini melalui persaudaraan manusia.

Sebagai seorang sosialis, ia memimpikan suatu dunia ideal yang penuh dengan kerja sama dan persaudaraan, di mana tak ada lagi kekejaman.

Di dunia ideal itu, egoisme beserta konco-konconya—seperti kriminalitas dan pelacuran—akan lenyap, karena, kata sang sosialis, semua itu adalah produk tak terelakkan dari kapitalisme beserta perjuangan kelasnya.

Nilai-nilai dan hubungan antar manusia akan dibersihkan dari pengaruh-pengaruh komersial. Sinisme dan sikap mementingkan diri sendiri akan lenyap, dan hidup akan menjadi suatu utopia yang ditandai oleh pola hidup sederhana, tingkat pemikiran yang tinggi, tari-tarian rakyat, kesenangan sepuas-puasnya, dan perdamaian yang romantis.

Dalam pengertian ini, sosialisme adalah satu ritus panjang di mana manusia berusaha mentransformasi harapannya menjadi kebaikan.

Mungkin keyakinan macam itu punya peranan penting dalam pertempuran antara kebaikan dan kejahatan. Adalah sungguh-sungguh demi keluhuran manusia bahwa ia memimpikan mimpi macam itu.

Namun, sayangnya, jamu manjur yang diharapkan sang sosialis untuk menyembuhkan penyakit ini tidak lebih efektif daripada pendahulunya.

Apa boleh buat? Sumber permasalahan ternyata tidak terletak pada kapitalisme. Jenis ular yang dulu menipu Adam dan Hawa di Taman Firdaus ternyata kini ditemukan juga di taman-taman lain.

Bekerja di pabrik yang telah dinasionalisasi ternyata sama membosankannya dengan bekerja di perusahaan swasta.

Kriminalitas tidak lenyap ketika seluruh tenaga kerja mendapat lapangan kerja, begitu pula ketika sosialisme tampil di panggung sejarah. Egoisme sama menyesakkan di Taman Firdaus maupun di tempat-tempat lain yang penuh kesombongan, dengki, kemalasan, lupa diri, keserakahan, kemarahan, dan nafsu.

Kapitalisme, menurut cerita dari Polandia, adalah eksploitasi manusia oleh manusia, sementara sosialisme adalah jalan lain menuju arah yang sama—kiranya jalan lain menuju mana?

Sebagaimana pernah dikatakan oleh John Maynard Keynes, upaya mencari kekayaan mempunyai saluran yang relatif kurang berbahaya bagi kecenderungan-kecenderungan manusia yang bisa mengekspresikan diri dalam kekejaman usaha mati-matian untuk mencari kekuasaan pribadi serta bentuk-bentuk lain keserakahan.

Lebih baik manusia bersikap tirani terhadap keseimbangan banknya daripada terhadap sesama warga negara.

Ada sejumlah pertanyaan lain yang diajukan mengenai konsekuensi pengerahan seluruh tenaga kerja bagi individu maupun tatanan sosial.

Apakah rasa aman akibat tiadanya pengangguran akan mematikan inisiatif dan melemahkan ambisi manusia untuk menghasilkan sesuatu lebih daripada yang lain?

Dapatkah kita mengharapkan bahwa apa yang oleh Weber disebut sebagai etika Protestan—tentang semangat kerja keras dan standar-standar tinggi—akan lenyap dalam iklim yang kurang menuntut perjuangan mempertahankan kelangsungan hidup?

Apakah warga negara kita akan semakin pasif? Apakah hidup dalam welfare state—sebagaimana dikatakan oleh novelis muda Inggris—akan membuat jiwa kita lemah, jauh dari tantangan risiko, dan tak mampu memberi sesuatu yang lebih baik daripada Novocain?

Kita tidak dapat mengatakan bahwa mesin-mesin hukum yang mengarahkan jalannya ekonomi begitu sederhana atau begitu halus dan cepat menyesuaikan diri hingga membuat hidup terasa membosankan.

Gambaran utopis yang dikemukakan John Maynard Keynes sekian tahun lalu ternyata lebih jauh daripada yang ia pikirkan.

Masalah ekonomi akan kembali pada tempat semula, dan ruang dalam hati dan kepala akan dipenuhi kembali oleh masalah-masalah kita yang sebenarnya: masalah hidup, relasi-relasi manusia, pencipta, tingkah laku, dan agama.

Namun, tak bisa diragukan bahwa menyenangkan sekali jika kita bisa, seperti kisah dalam Kitab Kejadian, hidup seperti para makan belalang—tanpa kecenderungan berkompetisi atau menjadikan uang sebagai standar keputusan dan kesuksesan hidup.

Tetapi Keynes terlalu cepat meninggalkan semak-berduri yang mesti kita lalui. Otomatisasi maupun tenaga nuklir, betapa pun pentingnya, tak akan mampu secara gemilang menaikkan taraf hidup penduduk dunia yang jumlahnya kian membengkak.

Jika kita membaca kembali tulisan-tulisan para pembaharu 70 atau 80 tahun lalu, akan kita temukan sikap menentang ketidakadilan dalam masyarakat Amerika sudah terungkap.

Secara keseluruhan, perundang-undangan yang mengatur kesejahteraan dan menentang penipuan telah mengalami banyak kemajuan.

Sistem keamanan sosial juga berkembang meski masih perlu disempurnakan, khususnya pelayanan medis dan hukum terhadap kaum miskin.

Monopoli masih menjadi masalah, tetapi saya kira sudah tak seserius pada tahun 1900-an.

Pada umumnya, represi dan kebrutalan tidak lagi menjadi unsur pokok dalam hubungan kerja. Kesempatan sosial ekonomi dan pendidikan semakin luas tersedia—jauh lebih luas daripada sebelumnya.

Pelayanan keadilan masih jauh dari patut dicontoh, namun telah membuat kemajuan yang dapat kita saksikan bersama.

Beberapa masalah ekonomi dan sosial telah terpecahkan, khususnya tekanan dari pihak-pihak tertentu. Namun masalah lain muncul sama sulitnya dengan masa lalu.

Sistem pendidikan kita lemah, tidak merata dalam kualitas, dan secara keseluruhan tidak memadai.

Upaya-upaya raksasa untuk melakukan reformasi masih diperlukan sebelum sistem pendidikan mampu memberikan apa yang dibutuhkan warga masyarakat.

Masih ada masalah sosial yang sulit: ras, kaitan antara kriminalitas dan pola keluarga, rumitnya pelayanan kesehatan, dan sebagainya.

Masa depan kota-kota mengharapkan kita pada tantangan serius: bukan hanya masalah keuangan, tapi juga sosiologis, komunitas, dan kehidupan politik.

Tantangan ini menuntut pemikiran dan usaha tak kenal lelah untuk menciptakan dunia ekonomi efektif, menggantikan sistem yang gagal sejak 1914.

Di samping pengalaman menakutkan abad ke-20, ancaman perang total masih sama nyata seperti pada 1913 dan 1918.

Lebih penting, kita berhadapan dengan pertanyaan tentang bagaimana melestarikan motivasi dan nilai-nilai yang menghasilkan kebaikan-kebaikan sosial yang sangat diperlukan setiap warga negara.

Jika masyarakat Barat abai pada masalah umum dan tidak mengatur perilaku, sikap apatis mengarah pada kelemahan, kelemahan mengarah pada kekosongan kekuasaan.

Ketika institusi sosial jatuh, sebagaimana terjadi di Rusia pada 1917, kelompok perkoncoan dengan mudah merebut kekuasaan dan menghapus kebebasan.

Sebaliknya, tantangan-tantangan dari berbagai bidang studi dan aksi sosial menuntut kerja keras kita dalam jangka panjang.

Masalah yang dulu kabur akibat depresi kini harus kita pecahkan terlebih dahulu.

Kita tidak kekurangan kesempatan melalui dorongan manusiawi untuk berjuang sukarela dan koperatif—saluran sehat yang, menurut William James dan Bertrand Russell, harus disediakan.

Saya teringat kisah sedih seorang antropolog tentang pemburu kepala manusia dari Papua yang kehilangan olahraga kesayangan dan hak hidup mereka karena kedatangan orang-orang putih.

Di manapun manusia berbudaya pada tahun tertentu—seperti posisi orang Papua sebagai korban kebaikan—tak seorang pun menentang program pemulangan kembali atau membantu membangun institusi bisnis atau perencanaan sosial baru.

Keluhan semacam itu juga datang dari mereka yang mencari sebab serta pemecahan masalah kenakalan remaja, kriminalitas, konflik rasial, dan masalah sosial lain.

Di dalam masyarakat terbuka, orang biasa menjalani hidup sebagai perjuangan meningkatkan status sosial dan menyerap aspirasi kehidupan.

Kesibukan sehari-hari menawarkan prospek kaya untuk menghindari kelelahan: ekspresi diri sebebas-bebasnya sebagai iman psikologis efektif menghadapi pahitnya perjuangan eksistensi masa lalu.

Memang benar bahwa politik belum mampu menyamai laju perubahan masyarakat. Di panggung politik, para aktor bersifat konservatif.

Hanya sedikit yang menerjemahkan isu-isu baru ke dalam puisi politik yang menggugah perasaan.

Pada waktunya, politikus di seluruh penjuru tanah air akan bergulat dengan masalah-masalah baru dan berusaha keras mencari dukungan massa. Setiap kepolosan dalam politik tidak pernah menjadi penyakit sosial yang mengkhawatirkan negara ini.

Negara ini telah banyak mengalami kepolosan tanpa kerusakan material. Daerah politik mungkin tidak diperlukan untuk keberhasilan gejolak pembaharuan.

Gerakan pembaharuan secara historis tidak cukup membangkitkan kekuatan sebelum mengatasi kelemahan masif dan konservatif pendapat umum.

Namun, konsensus generasi sebelumnya tentang kewajiban dasar pemerintah telah mengagumkan, memungkinkan lembaga hukum berfungsi tanpa bantuan tokoh semisal William Jennings Bryan atau Theodore Roosevelt.

Kita mengeluh tentang konformitas, budaya massa setengah-setengah dan vulgar.

Sekolah-sekolah miskin. Banyak yang lulus ujian dan masuk jenjang lebih tinggi karena prinsip "semua bisa diatur".

Kita mulai was-was; jangan-jangan aksi kolektif memerosotkan martabat manusia kita sebagai anggota kelompok impersonal.

Sudah menjadi klise menyebut kompleksitas organisasi sosial modern—negara, perusahaan raksasa—sebagai kekuatan totaliter yang mentransformasi manusia menjadi sekrup mesin kekuasaan.

Segala bentuk penyerahan kebebasan manusia kepada kekuasaan tak tergoyahkan tampak masuk akal; bahaya-bahaya itu nyata.

Sangkalan hanyalah bagian proses pengambilan keputusan yang membentuk masa depan—ukuran aspirasi kita tentang kebebasan, individualitas, dan mutu kemanusiaan.

Masa depan memberikan dasar menerima bahwa perlawanan terhadap arus kini—sistem pendidikan dan kehidupan sosial—akan terus maju tahap demi tahap menuju kematangan, kekayaan, dan kebebasan yang dahulu hanya dinikmati segelintir orang.

Kebudayaan masa kini terasa vulgar, timpang, dan dangkal. "Sayalah yang akan memperbaiki situasi ini," kata beberapa orang.

Namun, omongan seperti ini kosong; semua lulusan perguruan tinggi kita belum siap percakapan berbobot seperti di Paris, Oxford, Boston, atau San Francisco.

Meskipun demikian, bukan di situ letak masalah. Kini lebih banyak pria dan wanita berpendidikan daripada 50 atau 100 tahun lalu.

Fakta ini saja menunjukkan perubahan positif dalam ambisi dan motivasi.

Banyak siswa masuk perguruan tinggi dengan alasan keliru, dan sejumlah mahasiswa meninggalkan tanpa merasa mendapatkan apa-apa atau bahkan merasa kecewa.

Namun banyak pula yang sebaliknya. Adanya orang-orang kelaparan di antara kita tetap kenyataan yang harus dihadapi.

Acara tinjauan buku di televisi jam tujuh pagi membuat orang menyingkat buku-buku karya Stenhard H. Mayer, Conrad, dan Henry James setiap siang di toko buku New York.

Gaya perabotan, dekorasi rumah tangga, gaya berpakaian, dan seni kerumahtanggaan lain telah mengalami kemajuan selera dan kecanggihan bagi rakyat kebanyakan bahkan bagi orang kaya.

Para mahasiswa kita tetap gemar olahraga tertentu, namun juga gemar buku, simfoni, dan museum.

Kita mengamati dengan mata terbelalak bahwa generasi muda tak mau lagi mengenakan dasi.

Namun kita harus mengakui: mahasiswa membaca tragedi Yunani, mengumpulkan catatan penting, dan menulis karangan panjang serta berbobot ilmiah.

Ya, kekuatan-kekuatan yang membuat kita merosot memang besar, tetapi kekuatan yang membuat kita meningkat lebih besar.

Besarnya kebutuhan akan pendidikan saja sudah pertanda positif bagi kita. Jika kita mampu memenuhinya, sedikit perspektif sejarah mungkin memberi kecerahan pada pandangan suram yang memandang kita sebagai manusia tertransformasi menjadi kain flanel abu-abu.

Siapa yang tak percaya bahwa petani atau buruh pabrik modern hidup lebih makmur dan punya kesempatan pertumbuhan pribadi lebih banyak daripada rekan-rekan mereka 100 tahun lalu?

Sebagian pendapatan buruh pasti dibelanjakan untuk whisky, olahraga, dan rekreasi—apa salahnya?

Perlu pula diketahui bahwa sebagian dari pendapatan itu diinvestasikan ke museum, kelompok musik, biro perjalanan, pendidikan, buku, dan seni kreatif.

Jika kita bandingkan kota-kota prasasti sekarang dengan 25 tahun lalu, 12–13 tahun perkembangan ini telah memberi angin segar dan kreativitas, bukan sebaliknya.

Perbedaan pendapat dan rasa ingin tahu dalam masyarakat kini justru dukungan bagi pengerahan tenaga sepenuhnya, bukan ancaman.

Adalah sikap puritan keterlaluan mengatakan kemajuan sosial 100 tahun terakhir akan merusak jiwa kita.

Kerja keras bisa menjadi kebaikan bagi manusia, tetapi masuk akalkah mengatakan manusia membutuhkan tekanan, kemiskinan, depresi, ketakutan, perendahan, kelaparan, dan kesendirian agar kemurnian jiwa terjaga?

Realisasi tujuan-tujuan sosial yang dirindukan manusia tak dapat dipandang gegabah sebagai akar kemaksiatan modern.

Di samping segala hal positif kehidupan modern, kita akui ada aspek yang mengancam rasa aman dan kedirian manusia.

Kita hidup di zaman yang menyaksikan peningkatan keadilan sosial sekaligus meluasnya degradasi sosial.

Abad ke-20 membawa Wilson, Roosevelt, George, dan Leon, tetapi juga Hitler, Lenin, Khrushchev, Mussolini, dan Stalin. Tak seorang pun dapat menghindari perang baru atau berkembangnya pemerintahan imperatif, keras, dan membatasi kebebasan pribadi.

Namun semangat manusia mampu melawan, dan mungkin semangat itu akan menang. Totaliterisme tak boleh menjadi gelombang masa depan, entah tahun 84 atau kapan pun.

Jika kita mengalah pada rezim yang mengatur hidup dan pikiran kita melalui jalan gelap ini, nasib kita akan dicatat dalam sejarah sebagai tindakan bunuh diri, bukan konsekuensi tragis kekuatan yang bisa ditawar.

Baik program-program yang kita susun untuk mencapai pertumbuhan dan stabilitas ekonomi, maupun upaya-upaya yang perlu kita lakukan dalam posisi internasional, tidak pernah menuntut kita untuk melemparkan filsafat yang memandang pembebasan dan perkembangan diri setiap individu sebagai yang pertama dan utama di antara tujuan sosial kita.

Posting Komentar untuk "Kebebasan dalam Cengkeraman Kapitalisme: Refleksi Kritis Eugene V Rostow atas Dilema Ekonomi Modern"