Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kebebasan dalam Pusaran Zaman: Antara Imperatif Kategoris dan Belenggu Teknologi

 

Kebebasan Dalam Pusaran Zaman : Antara Imperatif Katagoris dan Belenggu Teknologi Gambar : gorbysaputra.com
Kebebasan Dalam Pusaran Zaman : Antara Imperatif Katagoris dan Belenggu Teknologi
Gambar : gorbysaputra.com

Diam yang Menggugat: Refleksi Personal di Tengah Hiruk-Pikuk Modernitas

Ia duduk terdiam di depan laptop, layarnya masih menyala sejak siang. Kelelahan mengantarkan adiknya ke stasiun kereta cepat pagi tadi membekas di tubuhnya. 

Ketoprak yang baru saja dilahap membawanya ke alam mimpi, ditemani kucing putih kecil di beranda rumah. 

Dua ponsel aktif di sampingnya: satu menampilkan rekaman kuliah filsafat tahun 2011 tentang Modern Subject, Otentik, dan Pandangan Kritis Kebebasan Dunia, sementara yang lain diam dalam kesiapan.

Selama seminggu, ia menyelami rekaman itu dengan buku pegangan Pembebasan Manusia terbitan Buku Baik. 

Namun, puisinya Goenawan Mohamad—Di Laut Semua Suara—yang menghentikannya:

"Kemerdekaan ialah tanah air dan laut semua suara... Laut sebuah kesempatan, tapi sering membunuh."

Metafor laut ini mengingatkannya pada ambiguitas kebebasan: terbuka, gemuruh, namun penuh risiko. Seperti narasi Erich Fromm dalam Fear of Freedom (1942), yang mengecam kecenderungan manusia lari dari tanggung jawab kemerdekaan ke pangkuan otoritas—sebuah pola yang masih relevan di era politik identitas dan fundamentalisme hari ini.

Jejak Pemikiran dari Kant hingga Foucault: Ketika Kemerdekaan Menjadi Paradoks

Kant dan Imperatif Kategoris: Berani Berpikir atau Terjebak dalam Idealisme?

Di tahun 1784, Immanuel Kant menjawab pertanyaan "Apa itu Pencerahan?" dengan seruan Sapere Aude—berani menggunakan akal budi sendiri. 

Bagi Kant, kemerdekaan adalah pembebasan dari "ketidakdewasaan yang kita timbulkan sendiri". 

Namun, benarkah manusia sanggup mencapai kedewasaan itu?

Kritik Foucault: Pencerahan yang Belum Selesai

Foucault menanggapi Kant dengan sinis: "Pencerahan tak pernah membuat kita dewasa." 

Baginya, proyek modernitas adalah permainan kekuasaan yang terus berubah. 

Teknologi, misalnya, yang semula diharapkan membebaskan, justru menjadi alat disiplin dan normalisasi—seperti algoritma media sosial yang mengatur pola pikir kita hari ini.

Laut yang Tak Pernah Tenang: Kebebasan vs. Kekuasaan

Sejarah membuktikan paradoks kebebasan. Revolusi Prancis 1789, yang lahir dari semangat Liberté, berujung pada Reign of Terror. 

Revolusi Rusia 1917, yang mengusung sosialisme ilmiah, justru melahirkan Stalinisme. Kant mungkin tak menyangka bahwa imperatif kategoris-nya akan dikhianati oleh nafsu kuasa manusia.

Kebebasan Modern: Antara Utopia dan Distopia

Teknologi: Pembebas atau Penjara Baru?

Di era digital, kebebasan berpikir terancam oleh echo chamber dan deepfake. Kita bebas bersuara, tapi algoritma menyaring suara kita ke dalam ruang gema. 

Jacques Ellul dan Herbert Marcuse sudah memperingatkan: teknologi bisa menjadi alat penindasan terselubung.

Politik Identitas: Merdeka untuk Siapa?

Charles Taylor pernah menulis tentang "the politics of recognition". Namun, politik identitas hari ini sering terjebak dalam dikotomi "kami vs mereka". Seperti kata Toto Sudarti Bachtiar dalam puisinya: "Kemerdekaan yang mengurung diri dalam benteng etnis adalah kemerdekaan yang patah sayap."

Lalu, Apa Jawabannya?

Sekolah Frankfurt, melalui Walter Benjamin, mengingatkan: "Tak ada dokumen peradaban yang bukan juga dokumen barbarisme." 

Kebebasan modern harus diakui sebagai proses terus-menerus, bukan tujuan final. Sartre mungkin benar: "Kita dihukum untuk merdeka," tapi hukuman itu harus dijalani dengan kesadaran akan ambiguitasnya.

Pertanyaan Kritis tentang Kebebasan Modern

Apakah kebebasan modern bisa diraih 100%?

  • Tidak. Kebebasan selalu terkait relasi kuasa. Seperti Foucault katakan, kebebasan adalah medan pertarungan, bukan hadiah yang diberikan.

Mengapa kebebasan modern sering melahirkan penindasan?

  • Karena kebebasan yang tak diimbangi tanggung jawab etis akan menjadi alat dominasi. Contohnya, kebebasan berekspresi di media sosial bisa berubah menjadi cancel culture.

Bagaimana peran teknologi dalam memperjuangkan kebebasan?

  • Teknologi adalah pisau bermata dua. Bitcoin, misalnya, bisa membebaskan transaksi dari bank sentral, tapi juga dipakai untuk pencucian uang.

Apa relevansi pemikiran Kant di era algoritma?

  • Sapere Aude tetap relevan sebagai seruan untuk kritis terhadap algoritma yang membentuk preferensi kita. Berpikir mandiri adalah bentuk perlawanan.

Diam yang menggugat Refleksi Personal di tengah hiruk pikuk Modernitas Gambar : gorbysaputra.com
Diam yang menggugat Refleksi Personal di tengah hiruk pikuk Modernitas
Gambar : gorbysaputra.com

Menari di Tengah Badai

Esai Goenawan Mohamad mengingatkan: kebebasan adalah laut yang tak pernah tenang. 

Di tengah hiruk-pikuk modernitas—antara kemajuan teknologi dan ancaman distopia—manusia dituntut terus menyelam, meski tahu di dasar laut ada hiu dan puing-puing kapal karam. 

Seperti kata Einstein: "Hal terindah yang bisa kita alami adalah misteri." Misteri kebebasan itulah yang membuat kita terus bergerak, meski tak pernah sampai.

berikut teks asli Esai Goenawan Mohamad sebagai pengantar Buku Pembebasan Manusia

Di Laut Semua Suara

Kemerdekaan ialah tanah air dan laut semua suara. Janganlah takut padanya; kemerdekaan memang mencemaskan. 

Pada saat ia adalah tanah air semua suara, ia harus menampung segala macam bisik dan berisik, yang sumbang ataupun yang selaras. 

Ketika ia laut semua suara, kemerdekaan tampak sebagai sesuatu yang terbuka, gemuruh, dan tidak selamanya tenteram. Laut sebuah kesempatan, tapi sering membunuh.

Di tahun 1942, Erich Fromm menerbitkan sebuah buku Fear of Freedom. 

Bukunya yang terkenal itu berangkat dari pengalaman di Jerman di bawah Nazi sebelum pindah ke Amerika Serikat. 

Ia menulis sesuatu yang dialaminya: sebuah masyrakat yang totaliter, di mana orang-orang menyerah kepada seruan satu kaum, satu pemimpin, satu yard. 

Di sana ada rasa gentar yang merata untuk merdeka; di sana orang melarikan diri dari kesendirian dan perasaan tak berdaya, lalu menyerah kepada bentuk-bentuk otoritas baru—atau secara gampang cepat-cepat menyesuaikan diri pada pola yang diterima umum. 

Rasa gentar atau takut kepada kemerdekaan itu, bagi Fromm, pada akhirnya membuat orang menampik untuk menjelajah diri sendiri dan menolak secara kreatif menyatakan diri. 

Dengan kata lain, kemerdekaan memang butuh sejenis keberanian: di situ seseorang harus berani berdiri, kalau perlu sunyi dan tak menyadarkan diri kepada otoritas apapun. 

Pada dasarnya tak ada yang terlalu baru dalam dasar pemikiran Fromm—meskipun pendekatan psikologi sosialnya belum pernah dipakai orang—tapi risalah itu tak terlalu dianggap kuno maupun tak relevan lagi. 

Di zaman kita menyaksikan orang beramai-ramai berpegang pada otoritas agama dan ikatan perkauman. 

Ketika fundamentalisme melanda semua iman, dan politik identitas hanya memerdekakan sebuah kaum namun tak membebaskan manusianya; ketika orang secara mudah mengukur baik-buruk dengan bentukan media massa, kita masih bisa memakai Fear of Freedom sebagai acuan.

Pada saat yang sama kita bisa mengingat bahwa apa yang dikatakan Fromm adalah penegasan kembali atas apa yang hampir 150 tahun sebelumnya oleh Kant dijadikan semboyan, seraya mengutip puisi Horas Sapere Aude: “Beranilah untuk mengetahui, beranilah menggunakan pikiran sendiri.”

Dengan itu kita harus melawan kemalasan dan sikap pengecut, yang menyebabkan sejumlah besar manusia menetap dalam bimbingan selamanya—sebuah keadaan yang memudahkan orang lain mendudukkan diri sebagai wali penjaga.

Keberanian untuk merdeka itulah inti jawaban Kant ketika ia ditanya oleh berkala Berlinische Monatsschrift: “Apa itu pencerahan?” di bulan November 1784.

Jawabannya termasyhur: pencerahan terjadi ketika seorang manusia membebaskan diri dari ketidakdewasa­an atau ketergantungan kepada bimbingan orang lain—ketidakdewasa­an dan ketergantungan yang justru kita tumbuhkan sendiri dalam diri kita.

Dalam keadaan tak dewasa itu manusia memang tetap punya akal budi, tapi ia tak punya tekad dan keberanian untuk menggunakannya. 

Untuk jadi matang, kemerdekaan pun niscaya—meskipun para wali penjaga akan memperingatkan, “Awas, ada bahaya di situ!” Dalam kata-kata Kant, untuk pencerahan ini yang diperlukan hanya kemerdekaan: kemerdekaan mempergunakan akal budi seseorang di publik. 

Namun kita sering mendengar dari semua penjuru: “Jangan membantah!” Sang opsir berkata, “Jangan membantah, berbaris saja.” Sang petugas pajak berkata, “Jangan membantah, bayar saja.” Sang rohaniawan berkata, “Jangan membantah, percaya saja.”

Gambaran Kant tentang pencerahan pada akhirnya bukanlah deskripsi; ia lebih sebagai anjuran agar kita menjadi atau melakukan apa yang sebaiknya—dengan kata lain, argumen preskriptif.

Singkatnya, manusia harus berangkat dari sesuatu yang kurang (tak dewasa) menuju manusia yang mandiri dalam menggunakan akal budi. Persoalannya, benarkah demikian?

Manusia pada bentuknya yang terbaik—benarkah preskripsi Kant ini? Ada dua unsur penting dalam manusia merdeka menurut Kant. 

Pertama, digunakannya akal budi: ia mampu memecahkan persoalan etis tanpa mengacu pada wujud ilahiyat. 

Kedua, arena publik: ukuran manusia dewasa—sepanjang ia tak berperan sebagai aparat pemerintahan atau petugas lembaga—adalah ketika ia mempergunakan akal budi di ruang publik.

Tentang unsur pertama, saya tak ulang berbagai kritik kepada dasar pemikiran ini—salah satunya pertanyaan: benarkah ada imperatif yang melintasi sejarah? 

Jika imperatif itu berada di atas pengalaman dan tersimpan dalam diri manusia, bagaimana kita mengetahuinya tanpa diterjemahkan dalam laku? 

Bukankah laku itu, ibarat daging, terikat ruang-waktu?

Dalam anjuran Kant, laku adalah ekspresi kemerdekaan: dengan merdeka aku mematuhi keharusan universal, dan karena imperatif itu universal, aku dengan merdeka mematuhinya. 

Seakan-akan imperatif itu siap, dan kemerdekaan selamanya terang benderang. 

Namun kita ingat laut sebagai metafor saudara: laut bukan hanya keleluasaan gemilang, tapi wilayah penuh aneka benda—kapal pesiar mewah, jungkung rusak, ikan hiu ganas, tubuh perempuan tua, kapal selam nuklir, harta karun abad ke-18, tumpahan minyak abad ke-20, bahkan tahi manusia abad ke-21.

Dengan kata lain, kemerdekaan mesti membuktikan dirinya dalam dunia fenomenal. 

Harus ada jembatan antara ia dan keniscayaan, namun Kant tak sepenuhnya berhasil menunjukkan di mana jembatan itu. Yang tersisa dari gambarnya tentang manusia matang, bebas dari selbstverschuldete Unmündigkeit, adalah manusia terbebas dari bimbingan langit, tapi tak jelas bagaimana melepaskan diri dari kekuasaan di bumi.

Foucault, dalam esai agak acak, menanggapi argumen Kant. 

Melihat ketidakjelasan—mungkin karena zaman telah berubah—ia menyimpulkan bahwa pengalaman historis menegaskan: datangnya pencerahan tak membuat kita orang dewasa matang. 

Kita belum mencapai tahap itu. Foucault mengingatkan bahwa ontologis historis diri kita menyadarkan kita untuk berpaling dari proyek yang menyatakan diri global dan radikal. 

Bukan berarti tak ada kerja; hanya saja kerja itu terjadi dalam kekacauan dan ketidakpastian, dengan satu taruhan.

Foucault bicara paradoks kapasitas dan kekuasaan. Harapan besar abad ke-18, kata dia, adalah tumbuhnya individu bersamaan dengan sikap saling menghormati. 

Di masyarakat Barat, selalu ada usaha memperluas kapasitas teknik sekaligus kemerdekaan manusia. 

Namun sejak abad ke-20, harapan itu menjadi gagap: kapasitas teknik dan otonomi manusia tidak semudah dibayangkan. 

Teknologi mendisiplinkan hidup kolektif dan individual, serta memperkuat normalisasi oleh negara—yang dianggap tak normal dimatikan, disisihkan, atau divermak. 

Taruhannya: bagaimana kapasitas teknik dilepaskan dari kekuasaan yang makin intens. Dari paradoks inilah kita masuk ke unsur kedua—publik sebagai arena.

Ketika Kant menulis jawabannya pada Berlinische Monatsschrift, ia hidup di masa ‘abad Friedrich’: era di mana Friedrich II bertahta di Prusia dan berkata, “Rakyatku dan aku telah mencapai kesepakatan yang sama-sama menyenangkan: mereka boleh bicara apa yang mereka suka, dan aku akan melakukan apa yang aku suka.” Sebelum naik tahta, Friedrich belajar filsafat, sejarah, dan puisi di Rheinsberg, bersurat dengan Voltaire, dan pada 1740 menerbitkan Anti-Machiavel, menentang Machiavelli—menegaskan despot berpikiran terbuka.

Kant beruntung hidup di era itu: arena publik terbuka untuk penggunaan akal budi. 

Namun ‘abad pencerahan’ tergantung pada accident historis; pengertian manusia pun terpengaruh pengalaman zamannya. 

Ketika orang merdeka—meski belum termasuk budak atau perempuan—konsensus mudah tercapai. 

Apakah karena imperatif kategoris, atau karena paradigma Prusia yang lama dianut bersama? 

Ilustrasi Kebebasan Dalam Pusaran Zaman Antara Imperatif Kategoris Dan Belenggu Teknologi Gambar : gorbysaputra.com
Ilustrasi Kebebasan Dalam Pusaran Zaman Antara Imperatif Kategoris Dan Belenggu Teknologi
Gambar : gorbysaputra.com

Atau manajemen konflik raja pintar? 

Yang jelas, setelah manusia melepaskan diri dari selbstverschuldete Unmündigkeit dan menggunakan akal budi publik, ia kembali membangun lawan pencerahan: bangunan politik yang menjerat banyak orang dalam bimbingan selamanya.

Revolusi Prancis (1789–1792) adalah contohnya: Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga menegaskan hak alamiah tiap manusia, sesuai pandangan Kant. 

Namun revolusi itu berubah menjadi Reign of Terror—orang atas nama akal budi membungkam sesama. 

Revolusi Rusia 1917 pun serupa: sosialisme ilmiah jadi alat penghabisan lawan. Kritik Kant lebih jauh jika kita ingat bahwa di luar Prusia tak ada abad Friedrich, melainkan kolonialisme pedagang berani.

Singkatnya, kemerdekaan yang menjamah bumi selalu kompromi—bahkan keberutalan. 

Kant tak menjawab persoalan ini, seakan manusia cukup berpegang pada imperatif kategoris. 

Padahal tanah air semua suara itu bisa jadi tanah air satu suara: suara subyek mandiri namun terputus dari sejarah, seakan menulis dari a clean slate.

Sekolah Frankfurt menyorot ini dengan tajam, seperti Walter Benjamin: tak ada dokumen peradaban yang bukan juga dokumen barbarisme. 

Jika abad pencerahan adalah kemajuan, malaikat sejarah Benjamin terdampar oleh topan puing. 

Membaca risalah-pidato dalam kumpulan ini mengungkap “Pembebasan Manusia” sebagai proses berkelanjutan—bukan rumusan—sebagai kritik topan kemajuan.

Tonybee mengecam Kebudayaan Barat pasca-Kristen; Marcuse menyerukan pembebasan masyarakat berkelimpahan; Myrdal menyorot ketidakadilan ekonomi; Ellul menolak teknologi, sebagaimana Heidegger mengkritik Gestell. 

Apakah riwayat peradaban begitu muram? Kita bisa pesimis nihilisme, seperti Heidegger takutkan: subjek yang niat mengubah dunia malah terjebak nihilisme. 

Namun Margaret Mead melihat harapan di Amerika: masyarakat bebas kekurangan dan ketakutan. Rostow menambahkan bahwa kekuatan peningkatan lebih besar dari kekuatan kemerosotan.

Kebudayaan Barat, teknologi, dan ilmu bisa jadi belenggu atau pembebas. 

Masalahnya bagaimana manusia memandang kemerdekaan: Sartre berkata, “Manusia dihukum untuk merdeka,” tapi apakah manusia terbentuk esensinya sendiri? 

Saya tak membayangkan manusia bercermin pada kaca pembesar tanpa melihat kaki tebalnya—di jalan di mana orang berlalu, bertengkar, berteguran. Namun selalu ada momen untuk menyimak dan mengangguk pada Einstein:

“Sesuatu yang paling indah yang bisa kita alami adalah sang misteri.”

Itu adalah sebuah pengantar yang asik dan dahsyat dan juga sangat kaya sekaligus tulisan Goenawan Mohamad itu menunjukan ambigiutas serta komplesitas. baginya sebelum melanjutkan rutinitas dalam memahami bagaimana sejarah pemikiran modern dalam pandangan kritis : Kebebasan Dunia Modern".  

Lalu apakah Kebebasan Dunia Modern itu di perjuangkan atau tidak bisa 100% atau hanya untuk pihak tertentu? dan apakah kebebasan modern itu juga melahirkan penindasan?.

Posting Komentar untuk "Kebebasan dalam Pusaran Zaman: Antara Imperatif Kategoris dan Belenggu Teknologi"