Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

"Kematian Narasi, Kelahiran Kekacauan: Kontradiksi Manusia di Tengah Mesin dan Layar yang Tak Pernah Berkedip"

 

Kematian Narasi, Kelahiran Kecauan: Kontradiksi Manusia di Tengah Mesin dan Layar yang Tak Pernah Berkedip Gambar : gorbysaputra.com
Kematian Narasi, Kelahiran Kecauan: Kontradiksi Manusia di Tengah Mesin dan Layar yang Tak Pernah Berkedip
Gambar : gorbysaputra.com

Sebuah Ironi Bernama Kemajuan

Di abad ke-21, kita hidup dalam zeitgeist yang terbelah: merindukan kebenaran tunggal modernisme, tetapi terperangkap dalam relativisme postmodern. 

Mesin pencari menjanjikan jawaban instan, sementara scroll tak berujung di sosial media mengubur hasrat akan makna. 

Di sini, di puing-puing grand narrative Lyotard, manusia menari di antara data dan ilusi—penulis, jurnalis, blogger—menjadi peziarah yang kehilangan kiblat.

Dari Guttenberg ke GPT: Sejarah yang Berulang Sebagai Parodi

Rasionalitas yang Dikudeta

Revolusi Percetakan melahirkan manusia homo legens—makhluk yang percaya teks adalah kuasa. 

  • Tapi hari ini, algoritma TikTok telah menggantikan otoritas Gutenberg. 
  • Artikel blog yang dulu dianggap monumen pengetahuan, kini hanya debu di lorong gelap internet, dikalahkan oleh video 15 detik yang menyentuh amygdala tanpa perlu izin akal sehat.

Ketika Semuanya Jadi Permainan

Baudrillard mungkin tersenyum getir melihat dunia kita: hyperreality di mana konten AI lebih "nyata" daripada suara manusia. 

Seorang blogger menuliskan kisah perjalanannya, tapi ChatGPT bisa menciptakan 100 versi lebih eksotis dalam semenit. 

Di sini, orisinalitas bukan lagi soal kebenaran, melainkan siapa yang lebih lihai menyamar sebagai manusia.

Dialektika Antara Layar dan Jiwa

Paradoks Kedalaman

Di era yang memuja kecepatan, kedalaman menjadi barang subversif. 

Artikel 3.000 kata tentang krisis ekologi bukan mati—ia hanya berpindah ke gua-gua tersembunyi: 

  • newsletter berbayar, podcast intelektual, atau thread Twitter yang ditulis dengan darah dan kafein. 
  • Di Indonesia, di mana 61% populasi adalah Gen Z, konten "panjang" bertahan bukan sebagai informasi, tapi ritual komunitas kecil yang masih percaya kata-kata bisa mengguncang jiwa.

Kontradiksi Kreativitas

  • AI mampu menulis puisi, tapi tidak bisa menciptakan ketidaksempurnaan yang menghidupkan Sitor Situmorang. 
  • Copywriter yang dulu dijuluki penyihir kata, kini jadi algojo yang membunuh kalimatnya sendiri agar sesuai dengan algoritma. 

Di titik ini, kreativitas bukan lagi soal keindahan, tapi strategi bertahan: menjadi lebih liar, lebih kotor, lebih manusiawi daripada mesin.

E-E-A-T di Tengah Pusaran Simulakra

Expertise: Otoritas yang Direkonfigurasi

  • Gelar akademis tak lagi cukup. Seorang jurnalis harus jadi multipotensial: ahli verifikasi data, editor video, sekaligus storyteller yang paham pola scroll generasi muda. Expertise kini diukur bukan dari kedalaman, tapi kecepatan adaptasi.

Experience: Narasi sebagai Luka

  • Pembaca tak lagi peduli pada "10 Tips Produktivitas"—mereka haus kisah tentang produktivitas yang gagal. 
  • Blog tentang kegagalan startup di Surabaya lebih dipercaya daripada artikel Forbes, karena berbau keringat dan air mata. 

Di sini, pengalaman bukan CV, tapi parut yang bisa diraba.

Authoritativeness: Kredibilitas yang Diretas

  • Media mainstream Indonesia terjebak dalam krisis double bind: di satu sisi harus berebut klik dengan konten selebgram, di sisi lain dikejar tanggung jawab sebagai pilar keempat demokrasi. 

Yang bertahan adalah yang berani menjadi nakal: mempublikasikan dokumen bocoran sambil live di Instagram.

Trust: Keintiman yang Dijual

  • Pembaca setia sekarang adalah cult. 
  • Mereka tak datang untuk informasi, tapi untuk rasa—seperti pembaca Pramoedya yang setia bukan karena fakta sejarah, tapi getar katanya. 

Sebuah blog tentang kopi di Toraja bisa hidup bukan karena akurasi, tapi karena pembaca merasa penulisnya adalah teman ngobrol jam 2 pagi.

Pertanyaan yang Tak Ingin Kita Akui

"Apakah menulis masih relevan?"

  • Relevansi bukan lagi soal medium, tapi ke mana Anda mengarahkan kegelisahan. Puisi Rendra tetap hidup di antara deru TikTok—karena ia menulis bukan untuk zaman, tapi untuk jiwa yang gelisah.

"Bagaimana bersaing dengan AI?"

  • Menjadi lebih manusia: tidak logis, tidak efisien, dan tidak sempurna. AI bisa menulis laporan keuangan, tapi tidak bisa menciptakan kalimat seperti, "Bahkan mesin pun bosan menjadi mesin."

"Mengapa harus repot dengan E-E-A-T?"

  • Karena di lautan konten sintetis, keaslian adalah mata uang terakhir. Tapi jangan terjebak formalitas—EEAT sejati adalah ketika pembaca mengenali suara Anda di tengah ribuan bot.

Kita adalah Generasi Antara

Kita hidup di masa peralihan yang absurd: 

  • merindukan kepastian modernisme, tapi terdampar di relativisme postmodern. 
  • Blogging, jurnalisme, copywriting—semua ini bukan lagi profesi, tapi pertapaan. 

Di sini, di ujung abad yang kelelahan, tugas kita bukan menang melawan mesin, tapi membuktikan bahwa kekacauan manusia masih layak disebut seni.

Tulisan ini mungkin akan tenggelam besok. Tapi seperti kata Nietzsche: "Kebenaran yang paling dalam adalah yang paling fana." Di situlah letak keindahannya.

Posting Komentar untuk ""Kematian Narasi, Kelahiran Kekacauan: Kontradiksi Manusia di Tengah Mesin dan Layar yang Tak Pernah Berkedip""