Manusia Postmodernisme Kesulitan Untuk Komitmen juga Konsisten: Idealistik Vs Faktual
![]() |
Ilustrasi Manusia Postmoderenisme kesulitan Untuk Komitmen juga Konsisten : Idealistik Vs Faktual Gambar : gorbysaputra.com |
Pengantar yang Tak Pernah Usai: Dunia yang Terlalu Banyak Pilihan, Tapi Minim Kepastian
Kita hidup di tengah pusaran yang begitu padat oleh makna-makna cair. Tidak ada lagi kepastian yang dapat dijadikan fondasi—bahkan kebenaran pun kini terasa seperti preferensi.
Seperti yang dikatakan Zygmunt Bauman dalam konsep liquid modernity-nya, kita adalah generasi yang tak pernah benar-benar menetap.
Dalam pekerjaan, dalam relasi, dalam ideologi, dalam prinsip. Kita terus bergerak, atau lebih tepatnya, digerakkan oleh arus yang tidak kita pahami.
Apakah manusia postmodern memang sulit untuk berkomitmen, atau justru dunia telah dirancang untuk membuat komitmen menjadi mustahil?
Bayangan tentang Diri yang Kita Inginkan
Dalam angan-angan, kita ingin menjadi manusia yang utuh, teguh, dan punya prinsip. Kita membaca buku-buku motivasi, menulis jurnal pagi, membuat rencana lima tahun ke depan.
- Kita ingin menjadi "versi terbaik diri kita". Namun, seperti dikatakan Jean-Paul Sartre, manusia adalah proyek yang belum selesai—selalu menjadi, tapi tak pernah tiba.
- Kita mencintai ide tentang komitmen. Kita ingin jatuh cinta sekali dan untuk selamanya. Kita ingin percaya bahwa pekerjaan adalah panggilan, bukan sekadar penghasilan.
- Kita ingin yakin bahwa hidup punya arah, punya makna. Tapi benarkah kita percaya, atau hanya ingin percaya?
Idealisme menjadi candu yang manis di tengah dunia yang pahit. Tapi, semakin kita menggenggamnya, semakin sering kita kecewa.
Dunia yang Tidak Mau Menunggu
Lalu realitas bicara lain. Dunia tidak memberi kita waktu untuk berpikir panjang. Notifikasi harus segera dijawab, tugas harus segera diselesaikan, dan hidup harus terus di-update.
Barry Schwartz dalam The Paradox of Choice mengatakan bahwa terlalu banyak pilihan justru membuat kita lumpuh.
Kita bingung memilih, dan ketika memilih, kita dihantui ketakutan: "bagaimana kalau ada yang lebih baik?"
Komitmen terasa seperti jebakan. Konsistensi terdengar seperti penjara. Kita ingin kebebasan, tapi tidak siap dengan absurditas yang dibawanya. "Freedom is nothing but a chance to be better," kata Albert Camus, tapi bagaimana jika kita tidak tahu apa itu better?
Ketidakkonsistenan: Kelelahan Mental Manusia Urban
Menurut Barry Schwartz dan penelitian-penelitian kontemporer tentang decision fatigue, otak manusia modern kelelahan karena terlalu banyak memilih dan memproses informasi. Ini bukan sekadar kemalasan, ini kelelahan eksistensial.
Setiap hari kita dituntut untuk tampil, memilih, bersaing, membandingkan, dan berbenah. Tak heran jika komitmen terasa memberatkan.
Karena untuk bisa berkomitmen, kita harus terlebih dahulu tahu siapa diri kita. Dan dalam dunia yang terus mendefinisikan ulang identitas, siapa yang tahu?
Ketika Komitmen Jadi Negosiasi Tanpa Ujung
Claude Lévi-Strauss pernah bilang bahwa struktur sosial membentuk pola pikir manusia. Dalam masyarakat post-tradisional, relasi tak lagi berbasis kewajiban, melainkan preferensi.
Bahkan cinta pun kini adalah kontrak sosial yang bisa dinegosiasi ulang kapan saja.
- Kita tidak mau disakiti, tapi juga tidak mau benar-benar tenggelam dalam cinta.
- Kita ingin dekat, tapi tak ingin melebur. Kita ingin mengikat, tapi dengan kunci cadangan. Cinta postmodern adalah cinta yang sadar akan dirinya sebagai fiksi.
Ketidakpastian: Sistem yang Tidak Stabil, Manusia yang Ikut Goyah
Ulrich Beck menyebut era kita sebagai risk society, masyarakat risiko, di mana setiap pilihan adalah spekulasi.
Pendidikan tidak menjamin pekerjaan. Pernikahan tidak menjamin kebahagiaan. Bahkan keberhasilan pun tidak menjamin makna.
Di tengah dunia yang tak memberi jaminan, siapa yang berani berkomitmen? Siapa yang bisa konsisten ketika landasan berpijaknya goyah?
Ironi Manusia Postmodern: Mencari Pegangan Tapi Menolak Ikatan
- Kita ingin pegangan hidup, tapi tak mau diikat.
- Kita ingin kedalaman, tapi takut kehilangan opsi.
- Kita ingin setia, tapi takut ketinggalan.
- Kita ingin jadi otentik, tapi tidak tahu lagi mana yang asli dan mana yang hanya pencitraan.
Ironi inilah yang menjadi luka eksistensial manusia postmodern. Kita tahu apa yang seharusnya, tapi tidak mampu menaatinya. Kita tahu pentingnya komitmen, tapi hidup kita didesain untuk selalu move on.
Apakah Komitmen Itu Masih Mungkin?
Mungkin, tapi bukan dalam bentuknya yang lama. Komitmen hari ini bukan lagi soal keabadian, tapi soal kehadiran yang sadar. Seperti yang dikatakan Viktor Frankl, manusia selalu bisa memilih respons terhadap situasinya.
Barangkali, komitmen adalah tentang memilih berulang kali, bahkan ketika mudah untuk pergi.
Penutup yang Tidak Pernah Selesai: Hidup Sebagai Tanya yang Terus Menerus
Apakah kita harus selalu memilih antara idealisme dan realitas?
Bisakah kita hidup di antaranya tanpa kehilangan jati diri?
Apakah komitmen adalah beban, atau justru satu-satunya hal yang bisa memberi makna?
Mungkin, seperti kata Kierkegaard, hidup hanya bisa dipahami ke belakang, tapi harus dijalani ke depan. Dan dalam perjalanan itu, komitmen dan konsistensi bukanlah tujuan akhir, tapi bekal yang terus diuji.
Kita tidak harus menjadi sempurna. Tapi mungkin, kita bisa mulai dengan satu janji kecil pada diri sendiri: untuk tidak lari dari keraguan. Karena bisa jadi, di sanalah letak kejujuran yang paling manusiawi.
Posting Komentar untuk "Manusia Postmodernisme Kesulitan Untuk Komitmen juga Konsisten: Idealistik Vs Faktual"