Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Panggil Aku Aktivis Sosial Media : Bukan Intelektual Organik

 

Panggil Aku Aktivis Sosial Media, Bukan Intelektual Organik Gambar : gorbysaputra.com
Panggil Aku Aktivis Sosial Media, Bukan Intelektual Organik
Gambar : gorbysaputra.com

Di antara gemuruh tagar dan deru notifikasi,

Kami bersembunyi di balik layar yang memantulkan cahaya.

Kata-kata menjadi senjata, tapi tubuh tetap diam,

Di peta digital, kami menari di atas luka yang tak terlihat.

—Apakah ini pemberontakan, atau sekadar ilusi yang terjual rapi?

Ketika Revolusi Dikubur dalam Filter Instagram

Estetika Perlawanan yang Dikunyah Algoritma

Kau menyebut diri aktivis. Tapi revolusimu adalah kumpulan filter yang dipoles cahaya neon. 

Setiap pagi, kau membagikan kutipan Marx yang terpotong, ditempel di atas gambar senja yang romantis. 

Tagar #Lawan mengalir deras, tapi di baliknya tak ada riset, tak ada diskusi, hanya gema yang memantul di ruang kosong.

"Kami adalah generasi yang menulis manifesto dengan emoji," bisikmu di kolom komentar. 

Tapi manifesto itu lenyap saat baterai habis. 

Kau mengganti profil gambar hitam-putih untuk solidaritas, tapi lupa bahwa hitam-putih sejarahmu adalah darah dan tanah yang dirampas.

Aktivisme bukan lagi tentang rapat bawah tanah atau selebaran yang dicetak diam-diam. 

Sekarang, ia adalah pertunjukan: live streaming protes yang diinterupsi iklan, story yang bertahan 24 jam sebelum hilang dalam pusaran feed. 

Kau bersorak saat postinganmu viral, tapi lupa: viralitas adalah tuan yang tak pernah setia.

Pertanyaanku: Apakah algoritma telah menggantikan dialektika?

Untuk Para Penggali Kubur Wacana

Literasi yang Mati di Ujung Jempol

Di era di mana membaca adalah kemewahan, menulis adalah pemberontakan yang terasing. 

Kau membagikan infografis tentang ketimpangan, tapi tak pernah membuka buku yang menjelaskan akar kolonialisme. 

Kau retweet teori Foucault, tapi tak paham makna "biopolitik" di balik jeruji timeline.

Kau sibuk mendesain poster dengan font bold dan palet warna aesthetic, 

tapi lupa: seni perlawanan lahir dari rahim penderitaan, bukan aplikasi Canva. Kata-katamu terjual murah—disukai, dibagikan, lalu dilupakan. Sementara di sudut gelap kampus, ruang diskusi sepi. 

Tak ada lagi debat tentang hegemoni, yang ada hanya trending topic yang berubah sebelum kopi di gelasmu habis.

"Kami tak butuh buku, yang kami butuhkan adalah engagement!" katamu. 

Tapi engagement itu hantu: ia menghisap substansi, meninggalkan kerangka kosong yang disebut "kesadaran".

Pertanyaanku: Jika kata-kata tak lagi lahir dari pergolakan pikiran, apa bedamu dengan mesin?

Elegi untuk Diskusi yang Tersembunyi di Balik Emoji

Matinya Ruang Dialog di Bawah Bayang-Bayang Viralitas

Kau mengklaim ruang digital sebagai agora baru. Tapi di sini, setiap argumen dipenggal menjadi 280 karakter. 

Setiap perdebatan berakhir dengan blokir akun. Kau menjerit "NKRI harga mati!" di kolom komentar, tapi tak tahu apa arti "nasionalisme" di tengah oligarki yang menggerogoti tanah air.

Diskusi? Ia telah digantikan oleh clapback dan burning tweet. 

Kau mengutuk kapitalisme sambil berjualan merchandise gerakan di Shopee. 

Kau menuntut keadilan iklim sambil memesan kopi kemasan plastik via aplikasi.

Di balik layar, kau menangis melihat video kekerasan rasial, lalu membagikannya dengan caption: "This is so sad! 😭". 

Tapi air matamu kering sebelum kau mencari tahu nama korban.

Pertanyaanku: Apakah kepedulian yang dikemas dalam stiker masih layak disebut perlawanan?

Nyanyian Sunyi untuk Para Penjaga Narasi

Ketika Data Menjadi Senjata yang Tumpul

Kau berbangga dengan highlight story berisi laporan BPS tentang kemiskinan. 

Tapi kau tak pernah bertanya: siapa yang menghitung data itu? 

Di balik angka 9,7%, ada mayat yang tak terdata, ada kelaparan yang tak tercatat.

Kau mengutip laporan NGO internasional untuk mengkritik pemerintah, tapi tak sadar bahwa laporan itu adalah pisau bermata dua: ia bisa membela hak asasi, sekaligus menjadi alat intervensi neokolonial.

Di tengah banjir informasi, kau tenggelam dalam copy-paste narasi. 

Kau menyebut diri "pejuang kebenaran", tapi kebenaranmu adalah hasil curation algoritma.

Pertanyaanku: Jika pengetahuanmu adalah hasil google search, apa bedamu dengan buzzer bayaran?

Surat untuk Aktivis yang Terperangkap dalam Layar

Sebuah Peringatan dari Pinggiran Jaringan

  1. Aku tahu, kau lelah. Dunia nyata kejam: polisi preman, ruang kuliah yang membosankan, keluarga yang mempertanyakan "kegiatanmu". Di sini, di dunia digital, kau merasa berdaya. Tapi ingat: setiap like adalah komoditas. Setiap share adalah data yang dijual.
  2. Gerakanmu mungkin viral, tapi revolusi tak pernah dimenangkan di medan perang yang dikuasai Zuckerberg. Kau boleh menyebutku kolot, tapi dengarkan: di desa-desa, petani masih berkumpul di balai, merancang aksi tanpa WiFi. 
  3. Di kampus-kampus tua, mahasiswa masih mencorat-coret tembok dengan puisi yang tak bisa di-screenshot.

"Tapi kami lebih modern!" katamu. Ya, modern. Tapi modernitasmu adalah tarian di atas kuburan pemikiran kritis.

Pertanyaanku terakhir: Jika suatu hari listrik padam, akankah suaramu masih terdengar?

untuk yang Masih Percaya

  • Di ujung kabar yang terfragmentasi,
  • Kita adalah burung yang terbang dalam sangkar algoritma.
  • Bisikkan padaku: Apakah tagar cukup untuk mengubah dunia?
  • Ataukah kita hanya menulis epitaf untuk zaman yang mati muda?

Kabar dari Sekretariat: Pemberontakan yang Dikurung dalam Frame Instagram

Revolusi yang Dikemas dalam Reels, Dijual sebagai Tragedi Komersial

  1. Di kamar sempit sekretariat, temboknya dipenuhi poster Che Guevara yang pudar. 
  2. Kau duduk melingkar, bukan untuk merancang aksi, tapi untuk mengatur angle kamera. Live sosial media dimulai: suaramu pecah membacakan puisi perlawanan, sementara di meja belakang, buku-buku tertutup debu—kitab Marx, Pramoedya, Freire—menjadi latar estetika yang ironis.

"Lihat kami! Kami hidup sederhana, tapi pikiran kami membara!" Kau teriak ke layar, sambil menyorotkan secangkir kopi instan yang diatur aesthetic.

Tagar #DaruratDemokrasi mengudara, tapi di rak buku, halaman-halaman Das Kapital belum terbuka sejak tahun lalu. 

Kau lebih memilih endorsan kaos bertuliskan "Revolusi atau Mati" ketimbang membeli kertas untuk menulis manifesto.

"Kami adalah suara yang tak terdengar!" katamu dalam live, tapi suara itu hanya bergema di antara algoritma yang membatasi jangkauan. 

Kau menangis di depan kamera saat bercerita tentang petani yang digusur, tapi kau tak pernah menginjakkan kaki di tanah mereka. Kau mengutuk kemiskinan sambil memajang gadget terbaru di feed.

Di asrama, diskusi digantikan oleh content schedule. 

Rapat koordinasi adalah pertemuan untuk memilih filter yang paling revolution-chic. Kau bersaing dengan sesama aktivis: siapa yang lebih viral, siapa yang lebih banyak dapat like. 

"Ini demi perluasan gerakan!" katamu. Tapi gerakanmu hanya meluas di layar—di dunia nyata, ia mengerut seperti kertas yang dibakar.

Pertanyaanku: Jika kamar sekretarismu adalah panggung, lalu di mana pabrik tempat buruh berkeringat? Jika protesmu adalah tontonan, lalu di mana ruang untuk diam dan berpikir?

Untuk Para Penghuni Sekretariat yang Lupa Membaca

Kami mengeja revolusi dengan jari yang menari di atas keyboard,

Sementara buku-buku di sudut kamar merintih, terkurung dalam gelap.

Kata-kata kami terjual dalam paket data,

Dikonsumsi, lalu dilupakan—seperti sampah yang hanyut di sungai viralitas.

Apakah kami pemberontak, atau sekadar penjual mimpi yang lupa mimpi sendiri?

Endorsan atau Pembebasan? Saat Ideologi Dijual sebagai Produk

Idealisme dalam Kemasan Diskon 50%

Kau menyebut diri pejuang, tapi perjuanganmu diukur dari jumlah sponsor yang membayar feed. 

Kau marah ketika ada yang menyebutmu influencer, tapi kau tak menolak tawaran endorsan kaos bertuliskan "Bebaskan Palestina" dengan margin untung 200%.

"Ini untuk dana gerakan!" katamu. 

Tapi gerakan apa yang kau bangun selain daftar wishlist di bio? 

Kau menggugat kapitalisme, tapi kapitalisme itu kini memakai baju kau: 

ia menjual kemarahanmu, mengemas perlawanan jadi komoditas, dan membungkus solidaritas dalam plastik limited edition.

Di sekretariat, kau sibuk mengemas merchandise—tas belanja katun dengan slogan "Sistem Harus Rubah!". 

Tapi kau lupa: sistem tak akan rubah oleh desain yang instagrammable, melainkan oleh pikiran yang merdeka. 

Kau menolak membaca buku karena "terlalu berat", tapi tak ragu membeli course content creator seharga tiga juta rupiah.

Pertanyaanku: Jika revolusi adalah merek dagang, apa bedamu dengan iklan sabun di televisi?

Untuk yang Terjebak dalam Siklus Like dan Lupa

Kami bersorak saat notifikasi berbunyi,

Seperti anak kecil mengejar permen di tengah karnaval.

Setiap like adalah obat, setiap share adalah pengakuan,

Tapi di balik layar, kami masih sendiri—

dengan pikiran yang kosong, dan hati yang terjual.

Surat dari Buku yang Tak Pernah Terbaca

Suara dari Rak yang Bisu

Aku adalah buku yang kau beli tahun lalu, sampulnya masih terbungkus plastik. Kau memotretku untuk story bertajuk "Bacaan Wajib Aktivis", lalu membiarkanku mati lemas di antara debu. 

Kau sibuk berkoar di live, tapi tak pernah bertanya: apa yang kutulis tentang revolusi sejati?

Di sekretariat, kau menggantung poster "Buku adalah Senjata". 

Tapi senjatamu kini adalah smartphone—kamera, aplikasi edit, dan daftar follower. 

Kau menyebut diri intelektual organik, tapi organikmu adalah pupuk palsu: subur di permukaan, tapi keropos di akar.

Pertanyaanku terakhir: Jika kau mati besok, akankah yang tersisa hanya arsip story yang terhapus otomatis?

Atau adakah pemikiran yang tertanam, mengakar, dan tumbuh menjadi pohon tempat kami berteduh?

Nyanyian untuk yang Masih Percaya Kata Bukan Sekadar Caption

Di ujung zaman yang menjual segala,

Kita adalah pedagang yang lupa menimbang makna.

Jika revolusi hanya jadi tagar,

Lalu apa beda kita dengan algoritma?

Mungkin hanya debu yang tertinggal, ketika layar akhirnya retak.

Musim Politik: Ketika Aktivisme Jadi Baju Pantasi untuk Pesta Popularitas

Cinta, Uang, Kuasa—Trinitas Suci di Balik Topeng Revolusi

Setiap lima tahun, kau menjelma pejuang demokrasi. Feed-mu yang biasanya dipenuhi selfie dan kuliner mendadak penuh kutipan Soe Hok Gie yang dipelintir. 

Kau live dari lokasi debat caleg, teriak "Lawan Oligarki!", sambil menyisipkan kode QR donasi di bio. Tapi begitu pemilu usai, kau kembali ke rutinitas: jualan skincare dan posting workout progress.

"Ini momentum untuk perubahan!" katamu. 

Tapi perubahan yang kau maksud adalah jumlah follower yang meroket, atau tiket jadi relawan tim sukses yang dijanjikan mobilisasi duit. 

Kau pamer foto berjabat tangan dengan calon bupati, lalu caption-nya: "Bersama Rakyat!". 

Padahal rakyat yang kau maksud adalah calon mertua yang punya saham tambang.

Kau mengutuk korupsi sambil mengirim DM ke politisi: "Pak, saya siap membantu kampanye. Apa ada proyek sosial yang bisa di-endorse?". 

Kau menyebut diri aktivis lingkungan, tapi saat musim panas tiba, feed-mu berganti jadi promosi resort mewah milik pengusaha yang meratakan hutan.

Di musim politik, cintamu pada revolusi menggebu—tapi seperti hujan musiman, ia menguap sebelum sempat membasahi akar. 

Kau berkoar tentang kesetaraan gender, tapi diam-diam mengirim flirty chat ke donatur kaya yang bisa membiayai studimu. 

Kau menyebut diri feminis, tapi di dating apps, kau menulis: "Cari pasangan yang punya visi ke depan (dan rekening berlebih)".

Pertanyaanku: Apakah tagar #Revolusi itu cinta pertamamu, atau sekadar backup plan saat pacar sugar daddy-mu kabur?

Untuk Para Penari Politik di Panggung Sementara

Kami bersumpah di atas kitab hashtag,

Tapi sumpah itu menguap seperti asap rokok di lobi hotel.

Kami mencintai rakyat dalam 280 karakter,

Sementara hati kami terbagi: untuk pacar, kuota internet, dan masa depan.

Apakah ini pemberontakan, atau katalog pernikahan yang terselubung?

FOMO dan Senyap yang Dijual sebagai Solidaritas

Like, Love, Share—Ritual Pengakuan Diri yang Palsu

Kau panik jika tak ikut trending topic. Isu Papua, UU Ciptaker, konflik Timur Tengah—kau retweet semuanya, meski tak paham konteksnya. 

Kau takut dianggap tidak update, tidak woke, tidak layak diikuti. 

Tapi seperti pedagang asongan, kau hanya menjajakan isu, bukan memahaminya.

"Kami harus solidaritas!" Katamu sambil posting bendera Palestina. 

Tapi solidaritasmu berhenti di double tap. Kau tak tahu nama anak yang mati di Gaza, tapi hafal jumlah like yang kau dapat dari foto itu. 

Kau mengutuk rasialisme, tapi di group chat kampus, kau tertawa melihat meme rasis.

Kau sibuk mengumpulkan screenshot unggahanmu untuk dilampirkan di CV: "Aktivis sosial media berpengalaman mengkampanyekan isu global". Kau berharap startup unicorn atau LSM internasional melirikmu. 

Tapi ketika ditanya, "Apa solusi konkretmu untuk kemiskinan?", kau gagap, lalu mengalihkan pembicaraan ke jumlah followers-mu.

Di tengah malam, kau membuka apps kencan, menggeser-geser wajah sambil berharap jodohmu adalah CEO muda atau anak pejabat. 

Kau tulis di bio: "Mencintaimu seperti mencintai keadilan: tulus dan membara". 

Tapi di balik itu, kau berhitung: berapa followers-nya, berapa gajinya, apakah dia bisa membawamu ke afterparty para elit?

Pertanyaanku: Jika revolusi adalah panggung, apakah cinta juga hanya pertunjukan?

Untuk yang Menjual Diri dalam Bungkus Tagar

Kami menulis puisi tentang laut,

tapi tak pernah melepas sandal di tepian.

Kami berteriak "Ganyang Kapitalisme!",

tapi menghitung like seperti menghitung saham.

Di mana batas antara aktivis dan pelacur ideologi?

Bunga yang Mekar di Layar, Layu di Tanah

Apakah Kita Akan Dikenang sebagai Pejuang atau Sekadar Konten Kreator?

Kau mungkin akan jadi meme suatu hari nanti: wajahmu di-edit jadi poster ironis dengan tulisan "Dulu Aktivis, Sekarang Influencer MLM". 

Atau mungkin kau akan masuk politik, jadi caleg yang dulu kau kritik, sambil berkata: "Saya masuk sistem untuk mengubahnya!"—kalimat sakti yang membius suara hati.

Tapi di sudut gelap sejarah, ada pertanyaan yang tak akan pernah usai:

Apakah tagar-tagarmu akan jadi prasasti untuk generasi depan,

atau hanya sampah digital yang dikubur algoritma?

Apakah cintamu pada like lebih besar daripada cintamu pada kata-kata yang membebaskan?

Dan saat listrik padam, akankah kau tetap bersinar atau redup seperti layar yang retak?

Nyanyian untuk yang Masih Percaya (atau Pura-Pura Percaya)

Kami adalah generasi yang mengeja cinta dengan emoji,

menjual amarah sebagai konten,

menyembah algoritma seperti dewa baru.

Di panggung ini, semua boleh jadi pahlawan—

asal tak lupa pasang tarif di bio.

—Lalu, apa yang akan kita wariskan: revolusi atau feed yang terkurasi rapi?

Posting Komentar untuk "Panggil Aku Aktivis Sosial Media : Bukan Intelektual Organik"