Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

"Zaman Letih: Ketika Ideologi Besar Menjadi Reruntuhan dalam Pikiran Modern"

 

Ilustrasi Zaman Letih: Ketika Ideologi Besar Menjadi Reruntuhan Dalam Pikiran Modern Gambar : gorbysaputra.com
Ilustrasi Zaman Letih: Ketika Ideologi Besar Menjadi Reruntuhan Dalam Pikiran Modern
Gambar : gorbysaputra.com

Ruang Kosong di Antara Tumpukan Buku

Di sudut kamar yang remang, tumpukan buku bersampul gelap—Marx, Nietzsche, Foucault, Habermas—berjejal seperti nisan-nisan tua. 

Setiap jilid menganga, halaman-halamannya tercabik oleh stabilo kuning dan biru, seolah tubuh-tubuh ideologi itu sedang dibedah hidup-hidup. 

Lelaki itu duduk terpaku, matanya menyapu deretan kata-kata yang telah menjadi mantra: dialektika, dekonstruksi, revolusi. 

Tapi di luar sana, di warung kopi tempat ia biasa nongkrong, obrolan tentang isme-isme itu hanya menggantung seperti asap rokok yang segera lenyap ditelan angin malam.

"Apa gunanya menggali kuburan ideologi jika yang kita temukan hanya debu?" tanya Albert Camus dalam The Myth of Sisyphus, tapi lelaki ini belum sampai pada kesadaran itu. 

Ia masih percaya bahwa dengan memamerkan referensi-referensi filsafat, ia bisa menjadi nabi kecil di tengah gurun makna.

Kematian Narasi Besar: Dari Lyotard Hingga TikTok

"Apakah Kita Semua Hanya Mayat Berjalan di Kuburan Ideologi?"

Jean-François Lyotard, dalam The Postmodern Condition (1979), menggugat mitos grand narratives—kisah-kisah agung seperti Marxisme, Kapitalisme, atau Pencerahan—yang dianggapnya telah runtuh menjadi pecahan-pecahan kecil. "Zaman ini adalah zaman ketidakpercayaan," tulisnya. 

Tapi apa yang terjadi ketika pecahan-pecahan itu kini terlempar ke dalam pusaran algoritma media sosial?

Generasi muda hari ini tidak lagi menggenggam Das Kapital; mereka menelannya dalam bentuk reel 30 detik. 

Ideologi bukan lagi sesuatu yang diperdebatkan di ruang kuliah, tapi direduksi menjadi caption Instagram yang dipenuhi hashtag: #AntiKapitalisTapiBeliStarbucks, #FeminismeTapiGaslighting. 

Slavoj Žižek menyindir, "Kita menyukai kopi tanpa kafein, politik tanpa risiko, dan kritik tanpa konsekuensi."

Di warung kopi, lelaki itu mencoba memaksakan obrolan tentang alienasi proletar, tapi teman-temannya sibuk membandingkan harga motor second. "Kita hidup di era pasca-ideologi," bisik Byung-Chul Han, "di mana yang tersisa hanyalah kelelahan akan segala sesuatu yang bernama 'kebenaran'."

Absurditas Pasca-Pembacaan: Camus di Tengah Generasi Burnout

"Apakah Membaca Das Kapital Masih Relevan Ketikan Cicilan KPR Menghimpit?”

Ada ironi yang getir: semakin mudah akses ke pemikiran besar, semakin sedikit yang peduli. "Kita dikepung oleh informasi, tapi kelaparan makna," tulis Yuval Noah Harari. 

Lelaki itu mungkin telah menghabiskan 300 halaman Being and Time Heidegger, tapi kepalanya masih penuh dengan pertanyaan pragmatis: kapan naik gaji? kapan menikah?

Albert Camus mungkin akan tertawa melihat paradoks ini. "Absurditas lahir dari konfrontasi antara panggilan manusia akan makna dan kesunyian alam semesta yang tak peduli," katanya

Tapi bagaimana jika absurditas itu justru lahir dari konfrontasi antara hasrat akan ideologi dan tuntutan hidup yang serba instan?

Søren Kierkegaard pernah memperingatkan: "Kehidupan yang tidak direfleksikan adalah kehidupan yang sia-sia." Tapi di era burnout, refleksi adalah kemewahan.

Ekosistem yang Mandul: Lahir di Tengah Pusaran Hiperrealitas

"Apakah Desa Kelahiranmu adalah Kuburan bagi Pemikiran Kritis?"

Tidak semua orang dilahirkan di tengah lingkaran cafĂ© philosophique Paris atau kampus-kampus bergengsi. 

Lelaki itu mungkin berasal dari kota kecil di mana perpustakaan umum masih dipenuhi buku pelajaran tahun 1990-an. 

"Ekosistem intelektual bukanlah vakum," tulis Pierre Bourdieu, "ia dibentuk oleh modal kultural yang turun-temurun."

Di sini, obrolan tentang poskolonialisme atau feminisme interseksional terdengar seperti bahasa alien. 

"Mereka yang terlahir di gurun tak akan pernah mengerti kegelisahan akan hujan," ujar penyair Sapardi Djoko Damono. Tapi bukankah kegelisahan itu sendiri adalah hak istimewa?

Zygmunt Bauman menggambarkan dunia modern sebagai liquid modernity—cair, tak berbentuk. Tapi di beberapa tempat, cairan itu telah membeku menjadi es.

Realitas vs. Ironi: Ketika Marcuse Bertemu Meme Politik

"Apakah Revolusi Hanya Ada di Timeline Twitter?"

Herbert Marcuse, dalam One-Dimensional Man (1964), mengecam masyarakat kapitalis yang telah membunuh kemampuan berpikir kritis melalui konsumerisme. 

Tapi hari ini, kritik itu sendiri menjadi komoditi. Kaum muda membeli kaos bergambar Che Guevara sambil berutang untuk membeli iPhone terbaru.

"Ironi adalah senjata terakhir yang dimiliki generasi yang kehilangan kepercayaan pada segala sesuatu," tulis David Foster Wallace. Tapi ketika segala sesuatu dijadikan bahan meme, bahkan ironi kehilangan taringnya.

Di layar ponsel, ideologi-ideologi besar diremas menjadi konten clickbait: "5 Alasan Kapitalisme Bikin Kamu Depresi, Nomor 3 Bikin Melongo!". Jean Baudrillard pasti akan berkata: "Kita telah menggantikan realitas dengan hiperrealitas—tiruan tanpa asal-usul."

Mencari Makna Baru: Dari Cyborg Haraway hingga Spiritualitas Tiruan

"Apakah Kita Akan Menemukan Filsafat di Dalam ChatGPT?"

Donna Haraway, dalam A Cyborg Manifesto, membayangkan manusia masa depan sebagai cyborg—fusi antara organik dan teknologi. 

Tapi apakah cyborg ini masih membutuhkan ideologi? Ataukah algoritma telah menggantikan peran filsuf?

Generasi Z mungkin tidak lagi berdebat tentang Marx vs Smith, tapi mereka menciptakan bahasa baru: aktivisme cancel culture, spiritualitas self-care, dan etika flexing. "Kita adalah generasi yang membangun katedral makna dari reruntuhan ideologi," tulis penyair Ocean Vuong.

Namun, kata Emil Cioran, "Sejarah adalah rangkaian kekalahan yang dibumbui dengan beberapa kemenangan palsu." Apakah kita sedang menciptakan kekalahan baru?

Lelaki Itu Akhirnya Menutup Bukunya

Malam semakin larut. Lelaki itu menatap deretan buku-bukunya, lalu memejamkan mata. Di luar, langit tanpa bintang. Ia teringat kata-kata Nietzsche: "Jika kau menatap jurang terlalu lama, jurang itu akan menatap balik."

Tapi mungkin, yang ia butuhkan sekarang bukan lagi menatap jurang ideologi, tapi belajar berdialog dengan keheningan.

"Apakah kita kelelahan oleh ideologi," tanya Hannah Arendt, "atau justru oleh ketakutan kita sendiri untuk berpikir tanpa jaring pengaman?"

Pertanyaan itu menggantung, tak terjawab.

Posting Komentar untuk ""Zaman Letih: Ketika Ideologi Besar Menjadi Reruntuhan dalam Pikiran Modern""